Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Patah - Tongsis - Episode 13

Beberapa hari sebelum Dion pulang, kami merencanakan akan pergi berwisata bersama. Awalnya, Ibu dan Bapak akan ikut serta. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya yang berangkat hanya aku, Dion, dan Yahya, adikku menggunakan sepeda motor di rumah. Diantar oleh saudaraku, akhirnya kami pun pergi menuju salah satu tempat wisata yang berlokasi di kaki gunung Salak. Ditemani cuaca berawan, motor yang dikendarai Dion melaju mengikuti saudaraku. Jalan berkelok-kelok, naik dan turun. Sesekali kueratkan pegangan ketika harus melewati tanjakan curam. Bukan apa-apa, kungeri saja jika motor tidak kuat menanjak. Namun, Dion santai saja melewatinya. Ini kali pertama aku mengunjungi tempat wisata ini. Sebuah tempat yang menjadi sasaran empuk buat para pemburu foto cantik. Berada di ketinggian yang entah berapa, pemandangan yang disajikan emang cukup lumayan. Namun bagi Dion, ternyata suasana seperti itu hal yang biasa. Ia sering pergi ke tempat semacam ini di Lampung sana. Aku sedikit kecewa karen...

Patah - Tentang Dia 2 - Episode 12

Acara tahlil baru dimulai selepas maghrib. Dion bersama Bapak pergi ke musola bersama untuk solat maghrib.  Sekembalinya, acara tahlil pun digelar.  Kurasa acara tahlil itu memakan waktu yang sebentar. Tiga puluh menit kurang lebih. Tapi sepertinya juga kurang dari itu. Kudapati wajah Dion yang ingin protes kebingungan.  "Cepat sekali mereka membaca Yassin? Aku belum selesai, tiba-tiba yang lain sudah selesai. Ketinggalan aku."  Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli melihat ekspresi wajah Dion.  Kami tidak langsung pulang ke rumah. Beberapa jenak kami berkumpul sambil mengobrol. Kudapati wajah Dion yang lucu sebab tak sepatah kata pun ia mengerti. Aku tertawa kecil meledek. Dari sebrang tempat dia duduk, ia menggerakkan bibirnya. Katanya begini, "Ngomong apa? Aku enggak ngerti." Akhirnya aku pun tertawa. Kasihan melihat Dion bak di negeri antah berantah.  Itu hanya sepotong cerita yang masih aku simpan baik dalam memori tentang Dion. Ekspresi...

Patah - Tahlil - Episode 11

  Waktu itu beberapa hari setelah Nenek meninggal.  Aku bertemu dengan Dion. Aku lupa saat itu hari apa. Tapi yang pasti, hampir seharian aku bersama dia di luar rumah hingga berakhir mampir di rumah.  Rencananya, saat tiba di rumah kami akan battle memasak. Namun, malah berakhir dengan tidur siang. Ku menemukan Dion dengan adik laki-lakiku tidur di ruang tamu dengan posisi tengkurap. Diam-diam ku abadikan momen itu.  Tak mau mengganggu, akhirnya aku pergi ke kamar untuk rebahan. Tak lama, aku pun tertidur juga. Entah berapa jam aku tertidur. Saat terbangun, Dion dan adikku masih tertidur. Saat melihat keadaan rumah, rupanya Ayah dan Ibuku juga sedang tertidur.  Tak lama, Dion terbangun. "Tadi aku sempat bangun. Tapi ternyata semuanya lagi pada tidur siang juga. Termasuk kamu. Ya sudah, aku tidur lagi." Katanya santai.  Awalnya Dion hendak pulang setelah ashar. Namun, Ibu justru mengajaknya untuk ikut ke acara tahlilan Nenek. Tentu saja Dion tidak menolak....

Patah - Pulang - Episode 10

Rupanya Dion tak hanya mengirimkan undangan pernikahannya kepadaku, akan tetapi juga pada orangtuaku. Iya, sedekat itu. Pernah suatu kali aku menemukan chattingan dia dan ibuku. Bertukar kabar dan perihal obrolan remeh. Iya, sedekat itu. *** Sore itu, sebuah pesan WhatsApp kuterima dari kakak perempuanku. Ia memberitahu bahwa Nenek sedang kritis. Aku disuruh segera pulang. Sambil menunjukkan pesan WhatsApp dari Kakak, ku meminta izin untuk pulang lebih awal. Aku tahu. Isyarat perpisahan sudah semakin jelas. Namun, serapi apapun, sepaham apa pun, perpisahan selalu berhasil merobohkan tembok hati. Selalu ada air mata. Entah itu yang benar jatuh dari pelupuk mata, atau jatuh tepat di dalam dada. Setiba di rumah Nenek yang bisa ditempuh lima menit jalan kaki, aku segera menghampiri tubuh Nenek yang berbaring tak berdaya. Kurus. Mata terpejam. Namun, masih ada helaan napas di sana. Meskipun tersenggal-senggal. Anggota keluarga sudah berkumpul di sana. Mengerubungi tubuh Nenek. Ada yang ...

Patah - Es Krim - Episode 9

  Rasanya, aku ingin melarikan diri barang sejenak dari kota ini. Dan pernah terbesit dalam benakku untuk melakukan itu. Namanya, aku rasa itu bukan keputusan yang bijak. Sebab, sejauh apa pun melangkah, aku akan tetap terluka. Semuanya tidak akan berpengaruh apa-apa jika aku tak menyelesaikan masalahku terlebih dahulu. Iya, masalah itu ada di dalam diriku, di dalam hatiku yang dengan suka rela kubawa kemana pun raga bergerak.  Pada suatu pagi, aku menemukan pantulan diriku di sebuah cermin berbingkai warna merah muda. Kucermati sosok yang ada di sana. Dia begitu menyedihkan. Senyum hilang. Wajahnya redup tidak ada aura. Kusut sekali. Yang tampak, hanyalah guratan-guratan kesedihan. Aku melihat orang lain di sana. Bukan Ila yang selama ini aku kenal. Ceria, penuh canda.  Tapi aku manusia. Aku punya kesedihan. Aku bisa menangis.  "Ila, bagaimana kalau kita beli es krim saja?" tawar Gina, teman satu kantor yang pernah kuceritakan segala tentang Dion sebelum tragedi ini...

Patah - Dia Ada Di Mana-mana - Episode 8

  Tuhan, bagaimana mungkin aku merasa kehilangan? Padahal, sejak awal aku tak pernah memiliki. *** Tatapanku kosong. Lurus ke depan. Jika tidak malu pada Abang Supir Angkot, aku sudah menumpahkan seluruh air mata yang sudah ditahan sejak pagi tadi. Dion ada di segala tempat yang aku lewati. Bayangannya muncul mengundang kenangan yang pernah kami alami. Di jalan yang sedang kulewati ini, yang disepanjang jalannya berbaris pohon yang tidak kuketahui namanya, pada suatu malam, Dion pernah mengantarkan aku pulang menggunakan sepeda motor yang aku kendarai ke tempat kerja. Katanya, dia khawatir kalau ada perempuan pulang sendirian apalagi sudah malam begini. Padahal, justru aku mengkhawatirkannya sebab pada jam segitu, angkot sudah mulai jarang. Maksudku, kan tidak lucu kalau dia sampai tidak mendapatkan angkot pulang setelah mengantarku. Tapi begitulah Dion. Dia selalu berhasil meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku tersenyum kecut menyadari telah dipermainkan kenangan da...

Patah - Tentang Dia - Episode 7

Membuka percakapan lama, membuat pikiranku berkelana. Namun setelahnya, aku ditampar habis-habisan dengan kenyataan. Dadaku kembali sesak. Kepala kembali berdenyut. Leher seperti ada yang mencekik. Mataku terasa panas.  Dion akan segera menikah.    *** Aku yang sedang kosong saat itu, menerima kehadiran Dion dengan mudah. Sebagai teman.  "Temenin aku keliling Bogor, dong? Sejak tiba di Bogor, aku belum kemana-mana." Pintanya.  Aku setuju begitu saja. Baiklah. Dia amat menyedihkan begitu. Tidak punya  siapa-siapa di sini dan jauh dari orang tua. Tunggu dulu, apa? Keliling Bogor? Aku anak rumahan, kan. Tapi ya sudahlah. Kubawa dia ke tempat yang aku tahu saja.  Kenyataannya, yang dia kunjungi pertama kali setelah kami berjumpa adalah rumahku. Dia datang dengan membawa beberapa camilan dari sebuah minimarket.  Sungguh lelaki yang berani dan percaya diri.  Sebelumnya, telah kuceritakan pada orang tuaku soal Dion ini. Mereka tidak mempermasalahkan...

Patah - Nice to Meet You - Episode 6

  Bertukar nomor handphone dengan orang asing mungkin terdengar konyol. Seharusnya itu tidak dilakukan. Namun saat itu, tidak ada gelagat mencurigakan. Jika hewan punya insting, manusia punya firasat. Dan firasatku baik terhadap Dion. "Aku sedang PKL di sini dari salah satu universitas di Lampung." Dulu, aku tidak bertanya nama universitas tempat dia kuliah. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kuketahui juga. Jadi begini kira-kira percakapannya sebelum adegan tukar nomor handphone itu terjadi. "Saudara saya ada yang hendak kuliah di sini. Apakah kamu tahu universitas mana yang cocok? Tepatnya yang ada jurusan Bahasa Inggrisnya." "Sastra atau Pendidikan? kebetulan aku juga dari jurusan Bahasa Inggris. Lebih tepatnya Sastra Inggris." Jelasku. "Boleh saya tanya-tanya, Mbak soal universitas itu? Bisa minta nomor handphonenya?" Katanya lagi. "Oh, boleh." jawabku cepat. Tanpa berpikir panjang. Entah setan mana yang sudah memengaruhi se...

Patah - Episode 5 - Di Persimpangan Jalan, Pada Suatu Malam

Si patah hati akan terus membuat kebodohan-kebodohan yang membuat dirinya kian terpuruk. Mendengarkan lagu-lagu sedih, juga lagu romantis yang entah dengan kekuatan semacam apa bisa mengubah liriknya begitu penuh duka. Selain itu, ia akan masih dan terus mencari segala informasi tentang orang yang dicintainya sampai ia muak dengan kesedihan yang mencabik hati.  Dan aku melakukannya.  Ku gulir ke atas segala percakapan lama sebelum Dion mengirimkan surat undangan.  Bodoh. Aku tahu. Namun, entah kenapa hal tersebut memiliki kepuasan tersendiri. Barangkali begitulah cara menikmati duka ini.  Aku menemukan sebuah foto yang kukirim pada Dion pada bulan Oktober. Sebuah foto persimpangan jalan tempat dulu aku dan dia bertemu pada suatu malam. Segala tempat yang berkaitan dengannya, entah kenapa selalu kuabadikan kalau kebetulan lewat dan sempat. Tapi mayoritas, aku selalu memotretnya, lalu dikirimkan kepada Dion. Tujuannya tak lain untuk mengenang.  Waktu itu, aku seda...

Patah - Mereka Sudah Paham - Episode 4

Yang sedang patah hati sebenarnya tahu apa yang harus dia lakukan. Iya, move on, bertemu dengan yang baru, sabar, dan bla bla bla. Mereka paham itu. Sungguh.  Duniaku sedang tidak baik. Sedang goyah. Sedang rapuh. Dan aku paham apa yang harus aku lakukan. Seperti yang kukatakan sebelumnya di paragraf pertama.  Ada luka yang masih basah di dalam diri. Dan yang sedang aku butuhkan hanya telinga untuk mendengarkan dan "pelukan" untuk menenangkan.  Namun sayangnya, di luar sana masih banyak yang tak paham. Mereka masih menggunakan kacamata mereka dalam melihat masalah yang sedang dihadapi seseorang.  Allah Maha Baik. Dia mengirim orang-orang untukku meluahkan perasaan. Salah satunya Kak Shofy. Seorang teman jauh asal Surabaya yang kukenal lewat sebuah komunitas saat bertemu di Jogjakarta 2017 silam. "Menangislah sepuas-puasnya sampai lega. Banyakin olahraga dan ngobrol dengan banyak orang." Begitu katanya. Malah, dia sempat menyarankanku untuk mengambil cuti agar aku bi...

Patah - Sebenarnya, Untuk Apa Aku Menangis? - Episode 3

  Sejak patah hati, rupanya tubuhku terasa lebih lelah. Mungkin, ini dampak dari berpura-pura bahagia di depan banyak orang. Berakting bahwa semuanya baik-baik saja.  Kumatikan lampu kamar, lalu berbaring di atas ranjang. Mataku menatap ke atas, ke langit-langit kamar. Keadaan seperti ini sangat cocok untuk menikmati sebuah kemalangan. Air mataku meleleh tanpa sadar bersama hadirnya segala hal tentang dia. Tak ubahnya seperti film dokumenter yang diputar tepat di depanmu. Bedanya, film yang sedang kutonton ini sedang mencabik-cabik hati dan pikiran. Kepalaku sakit sekali rasanya. Seperti dihantam  benda berukuran besar.  Tuhan, aku mengalami kebingungan yang cukup hebat. Aku tidak tahu untuk apa air mata ini mengalir. Apakah ini sebuah penyesalan karena tidak pernah mencoba mengungkapkan perasaanku atau karena merindukan kenangan bersamanya semata?  Aku tersedu-sedu.  Atau, apakah aku sedang menangisi kebodohanku sebab masih saja memupuk tentangnya meski pe...

Patah - Lagu Kehilangan - Episode 2

  Mataku meninggalkan jejak kesedihan semalam. Lagu-lagu tentang cinta yang seharusnya membuat orang yang mendengar dibuai asmara, berubah menyedihkan. Semua liriknya mengundang duka sebab tidak seperti yang diharapkan. Sedangkan lagu-lagu tentang patah hati terdengar semakin suram. Setiap kata dalam liriknya menguarkan aroma kematian. Maafkan jika aku berlebihan. Yang sedang patah hati memang seringnya menjadi seorang yang paling menderita, berubah menjadi aneh dan bodoh dengan segala tingkahnya.  Aku membalas sekenanya saat Dion mengirim undangan lewat WhatsApp kemarin. Memberikan doa dan selamat, serta tersenyum. Lebih tepatnya pura-pura tersenyum. Sungguh melelahkan bukan ketika kau harus berpura-pura?  "Jangan lupa hadir, ya. Sekalian kamu bisa travelling." Balas Dion dengan menambahkan emoticon senyum di ujung pesannya.  Aku tidak lagi membalas apa-apa.  Meski sedang patah, hidup harus tetap berlanjut. Aku harus kembali bekerja. Sambil menunggu mobil teman...

Patah - Sebuah Kabar - Episode 1

  Aku pikir semuanya telah selesai ketika  kami sudah jarang sekali saling sapa, berbasa-basi, bertukar foto dan mengobrol apa saja yang dilakukan via WhatsApp (karena jarak yang terlampau jauh), serta melakukan panggilan video. Hingga suatu hari, di bulan Desember tanggal dua, sebuah pesan WhatsApp darinya masuk secara tiba-tiba. Saat itu, aku sedang melakukan sebuah pertemuan mengenai dokumentasi di acara pernikahan teman satu komunitas. Pertemuan yang diawali dengan haha-hihi, harus berakhir dengan hati yang terluka.Tentu saja aku tidak menunjukkan di depan temanku saat itu. Sebelum pertemuan kecil itu selesai, pesan WhatsApp masuk darinya. Tanpa basa basi segera kubaca. Sejujurnya aku agak terkejut menerima pesan itu. Sebab, sudah jarang kami berkomunikasi sejak pandemi. Terakhir kali, ia memintaku untuk datang berkunjung ke kota kelahirannya di sebrang pulau sana. Dan itu kejadiannya di bulan November. Ia juga meminta untuk mengajak serta kedua orang tuaku yang sudah di...

Pulang - Bagian Dua

sumber foto: @rijalkamaluddin "Assalamu'alaikum, sudah saatnya pergi."  "Wa'alaikum salam. Benarkah, Wahai? Cepat sekali. Aku belum berkemas menyiapkan bekal." Lelaki itu tampak terkejut dengan kedatangan dia yang asing. Samasekali asing.  "Jangan khawatir. Bekalmu sudah cukup. Lebih dari cukup. Semua penduduk di sana sudah bersiap menyambutmu dengan senyuman riang. Mereka berbahagia menyambutmu." Yang asing itu menenangkan.  "Tapi, bagaimana dengan orang-orang di sini? Mereka akan menangis bersedih atas kepergianku. Apakah tugasku sudah selesai? Apakah yang aku lakukan telah cukup?" Lelaki itu cemas.  "Kau tak sepenuhnya meninggalkan mereka. Apa yang sudah kau lakukan dan berikan, itu menjadi warisan untuk mereka. Kau tak pernah benar-benar meninggalkan mereka."  Suasana menjadi hening. Dia mengusap punggungnya perlahan dan berkata, "Sudah waktunya...." Dan hari itu ia pulang ke kampung halaman Adam dan Hawa, bertemu ...

Pulang

                     sumber foto : @rijalkamaluddin Kala itu penduduk di suatu tempat sedang sibuk. Salah satu diantaranya mengumumkan sebuah kabar tiba-tiba sekali.  "Wahai, yang manakah dia yang hendak pulang?" kata salah satu yang lain diantaranya.  Yang ditanya tersenyum manis sekali.  Melihat pemandangan itu, yang lain segera paham. Yang akan datang bukan orang sembarangan. Tak butuh waktu lama. Mereka semua sudah selesai dengan persiapan penyambutan.  "Sudah siap! Kami semua sudah siap menyambutnya." Kata salah satu yang lain dengan semangat. Senyumannya berseri-seri.  "Kalau begitu, aku akan segera turun ke bumi. Tepat pada jam 8:30 beliau akan datang."      

Jadi, Siapa yang Berbohong?

     Sumber foto : Twitter Seorang wanita duduk di depan layar kaca. Lampu ruangan dalam keadaan mati. Cahaya dari layar televisi seolah menjadi lampu sorot seperti untuk seorang penyanyi ketika ada pertunjukan.  Di sampingnya, seorang anak laki-laki usia empat setengah tahun duduk. Wajahnya polos. Tangan kanannya menyentuh tangan kiri Ibunya. Bola matanya bolak balik menatap Ibunya dan layar televisi yang sedang menayangkan sebuah berita menyedihkan. Ibunya sejak tadi berurai air mata. Tak henti-henti.  "Ma, mereka hilang.... " kata si anak pelan.  Air mata kian deras meluncur jatuh dari pipi si Ibu.  "Mereka pulang.... " Kata si Ibu menutup wajahnya sambil sesenggukan.                                    *** Jadi, siapa yang berbohong? Orang-orang yang ada di televisi atau Ibu? Mereka bilang ayah hilang bersama orang-orang. Tapi Ibu bilang ayah sudah pulang bersa...

Teruntuk Diriku, Terima Kasih

Teruntuk diriku...  Barangkali kamu belum melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Namun, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk tidak memilih menyerah.  Segala yang patah, segala yang lelah, bersyukurlah. Sebab itu yang menjadikan kamu manusia, sebab di sana terdapat hikmah. Allah memilihmu sebab kamu mampu, kamu bisa. Dan kamu sudah melewatinya.  Memang tahun ini kamu memikul beban di pundak, ada saja yang membuatmu sesak, kepala dan hati terasa penat, seringkali kamu bersembunyi di balik topeng bahagia meski sebenarnya kamu ingin memaki dan membuat kata tercekat. Namun, sekali lagi aku ucapkan terima kasih sebab tidak memilih menyerah meski lelah. Aku bangga padamu.  Cinta yang tak pulang, biarkan ia menghilang. Tuhan memang harus mematahkan hatimu agar kamu sadar, dia yang kau anggap seseorang, adalah seorang petualang. Dia punya rumah, dan kepadamu ia hanya singgah. Tak apa, esok lusa kamu akan belajar tentang melepas dengan ikhlas, tentang rencana Dia yang di l...