Langsung ke konten utama

Teruntuk Diriku, Terima Kasih


Teruntuk diriku... 


Barangkali kamu belum melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Namun, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk tidak memilih menyerah. 


Segala yang patah, segala yang lelah, bersyukurlah. Sebab itu yang menjadikan kamu manusia, sebab di sana terdapat hikmah. Allah memilihmu sebab kamu mampu, kamu bisa. Dan kamu sudah melewatinya. 


Memang tahun ini kamu memikul beban di pundak, ada saja yang membuatmu sesak, kepala dan hati terasa penat, seringkali kamu bersembunyi di balik topeng bahagia meski sebenarnya kamu ingin memaki dan membuat kata tercekat. Namun, sekali lagi aku ucapkan terima kasih sebab tidak memilih menyerah meski lelah. Aku bangga padamu. 


Cinta yang tak pulang, biarkan ia menghilang. Tuhan memang harus mematahkan hatimu agar kamu sadar, dia yang kau anggap seseorang, adalah seorang petualang. Dia punya rumah, dan kepadamu ia hanya singgah. Tak apa, esok lusa kamu akan belajar tentang melepas dengan ikhlas, tentang rencana Dia yang di luar batas pemikiran manusia. Tuhan Maha Penyayang.


Dan di atas segalanya, aku mencintaimu. Mari sekali lagi berjuang. 


Bogor, 31 Desember 2020

Komentar

  1. SANGAT RELATEEEEE
    Kalimatnya bagus banget, aku suka. Relate juga 😭. Mari sama sama berdoa menuju 2021 yang lebih baik

    BalasHapus
  2. Percayalah, apa yg menjadi takdirmu kelak, tidak akan menganggapmu hanya persinggahan. Dia akan tau ke mana akan menetap dan menjadikannya pun 'rumah' untuk segala gundah hatimu.

    BalasHapus
  3. Makjleb kata katanya...sederhana tapi mantap diksinya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...