Rasanya, aku ingin melarikan diri barang sejenak dari kota ini. Dan pernah terbesit dalam benakku untuk melakukan itu. Namanya, aku rasa itu bukan keputusan yang bijak. Sebab, sejauh apa pun melangkah, aku akan tetap terluka. Semuanya tidak akan berpengaruh apa-apa jika aku tak menyelesaikan masalahku terlebih dahulu. Iya, masalah itu ada di dalam diriku, di dalam hatiku yang dengan suka rela kubawa kemana pun raga bergerak.
Pada suatu pagi, aku menemukan pantulan diriku di sebuah cermin berbingkai warna merah muda. Kucermati sosok yang ada di sana. Dia begitu menyedihkan. Senyum hilang. Wajahnya redup tidak ada aura. Kusut sekali. Yang tampak, hanyalah guratan-guratan kesedihan. Aku melihat orang lain di sana. Bukan Ila yang selama ini aku kenal. Ceria, penuh canda.
Tapi aku manusia. Aku punya kesedihan. Aku bisa menangis.
"Ila, bagaimana kalau kita beli es krim saja?" tawar Gina, teman satu kantor yang pernah kuceritakan segala tentang Dion sebelum tragedi ini terjadi.
Apa? Es krim? Tidak untuk saat ini. Bahkan dengan menyebutkan kata itu
saja sudah membuatku mengingatnya. Aku dan Dion pernah sengaja pergi ke kedai es krim setelah aku pulang bekerja. Aku ingat dulu di sela-sela kaki sedang menikmati es krim kami, Dion berkomentar, "Enaknya masih kuliah sudah bekerja. Jadi bisa meringankan beban orangtua. Bisa traktir juga. Hahaha!"
"Alhamdulillah. Nanti kamu juga bekerja, kok. Pasti." Kataku menyemangati.
Komentar
Posting Komentar