Langsung ke konten utama

Patah - Tongsis - Episode 13


Beberapa hari sebelum Dion pulang, kami merencanakan akan pergi berwisata bersama. Awalnya, Ibu dan Bapak akan ikut serta. Namun, karena satu dan lain hal, akhirnya yang berangkat hanya aku, Dion, dan Yahya, adikku menggunakan sepeda motor di rumah.

Diantar oleh saudaraku, akhirnya kami pun pergi menuju salah satu tempat wisata yang berlokasi di kaki gunung Salak. Ditemani cuaca berawan, motor yang dikendarai Dion melaju mengikuti saudaraku. Jalan berkelok-kelok, naik dan turun. Sesekali kueratkan pegangan ketika harus melewati tanjakan curam. Bukan apa-apa, kungeri saja jika motor tidak kuat menanjak. Namun, Dion santai saja melewatinya.

Ini kali pertama aku mengunjungi tempat wisata ini. Sebuah tempat yang menjadi sasaran empuk buat para pemburu foto cantik. Berada di ketinggian yang entah berapa, pemandangan yang disajikan emang cukup lumayan. Namun bagi Dion, ternyata suasana seperti itu hal yang biasa. Ia sering pergi ke tempat semacam ini di Lampung sana. Aku sedikit kecewa karena tidak bisa memberikan sesuatu yang berbeda jelang kepulangannya. Kadung sudah di sana. Lama-lama akhirnya kami pun menikmatinya. Berfoto bersama, bermain ayunan bersama, sampai makan bersama. Kadang-kadang kami bergantian untuk mengambil foto masing-masing kami.

Waktu kami sedang duduk di ayunan yang menghadap ke pemandangan sana, Dion mengeluarkan sebuah tongsis yang kemudian menyerahkannya kepadaku. "Buat kamu foto-foto."
Aku mengernyit tak percaya. Lebih tepatnya tak percaya dia sengaja membeli tongsis itu untukku.
Saat ia mencoba mengambil gambar kami aku menyadari sesuatu. "Handphone kamu baru, ya?"
Dion sungkan mengakui. Tapi akhirnya mengangguk juga. Awal kami berjumpa, Dion sering meminta maaf perihal lama respons karena layar handphone tidak bisa bekerja lah, tidak bisa buka whatsapp lah dan masih banyak lagi. Jadi, beberapa masalah tersebut cukup kuat untuk membuatnya mengganti ponsel lamanya.

Benar kecurigaanku. Tongsis yang dia berikan barusan merupakan bonus dari handphone yang dibelinya. Dion memberikan benda itu dengan hati riang. Cuek saja meski itu merupakan bonus. Baginya, yang penting ada sesuatu yang bisa ia berikan sebagai kenang-kenangan. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...