Tuhan, bagaimana mungkin aku merasa kehilangan? Padahal, sejak awal aku tak pernah memiliki.
***
Tatapanku kosong. Lurus ke depan. Jika tidak malu pada Abang Supir Angkot, aku sudah menumpahkan seluruh air mata yang sudah ditahan sejak pagi tadi.
Dion ada di segala tempat yang aku lewati. Bayangannya muncul mengundang kenangan yang pernah kami alami.
Di jalan yang sedang kulewati ini, yang disepanjang jalannya berbaris pohon yang tidak kuketahui namanya, pada suatu malam, Dion pernah mengantarkan aku pulang menggunakan sepeda motor yang aku kendarai ke tempat kerja. Katanya, dia khawatir kalau ada perempuan pulang sendirian apalagi sudah malam begini. Padahal, justru aku mengkhawatirkannya sebab pada jam segitu, angkot sudah mulai jarang. Maksudku, kan tidak lucu kalau dia sampai tidak mendapatkan angkot pulang setelah mengantarku.
Tapi begitulah Dion. Dia selalu berhasil meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Aku tersenyum kecut menyadari telah dipermainkan kenangan dan perasaan yang sukar kukendalikan. Sambil mendongakkan kepala, aku kerjakan mata. Menarik napas dalam.
Aku melihatnya di mana-mana.
Di ruang tamu. Di ayunan teras. Di terminal. Di jalan menuju rumah saat kutemukan dia berjalan sendiri kala itu. Di gerbang istana. Di mal yang pernah kita kunjungi bersama untuk bertemu dengan temanku, Nia. Di toko buku. Di kebun raya. Di tugu kujang. Di perpustakaan. Di kedai es krim. Dan tempat-tempat yang lain. Bahkan, saat ku melihat gunung Salak pun, ia hadir begitu saja. Kami pernah ke sana meskipun hanya sebatas di kaki saja.
Aku kehilangan.
Namun, di waktu yang bersamaan juga aku sadar. Aku tak pernah memilikinya.
Komentar
Posting Komentar