Langsung ke konten utama

Patah - Dia Ada Di Mana-mana - Episode 8


 

Tuhan, bagaimana mungkin aku merasa kehilangan? Padahal, sejak awal aku tak pernah memiliki.

***

Tatapanku kosong. Lurus ke depan. Jika tidak malu pada Abang Supir Angkot, aku sudah menumpahkan seluruh air mata yang sudah ditahan sejak pagi tadi.

Dion ada di segala tempat yang aku lewati. Bayangannya muncul mengundang kenangan yang pernah kami alami.

Di jalan yang sedang kulewati ini, yang disepanjang jalannya berbaris pohon yang tidak kuketahui namanya, pada suatu malam, Dion pernah mengantarkan aku pulang menggunakan sepeda motor yang aku kendarai ke tempat kerja. Katanya, dia khawatir kalau ada perempuan pulang sendirian apalagi sudah malam begini. Padahal, justru aku mengkhawatirkannya sebab pada jam segitu, angkot sudah mulai jarang. Maksudku, kan tidak lucu kalau dia sampai tidak mendapatkan angkot pulang setelah mengantarku.

Tapi begitulah Dion. Dia selalu berhasil meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Aku tersenyum kecut menyadari telah dipermainkan kenangan dan perasaan yang sukar kukendalikan. Sambil mendongakkan kepala, aku kerjakan mata. Menarik napas dalam.

Aku melihatnya di mana-mana.

Di ruang tamu. Di ayunan teras. Di terminal. Di jalan menuju rumah saat kutemukan dia berjalan sendiri kala itu. Di gerbang istana. Di mal yang pernah kita kunjungi bersama untuk bertemu dengan temanku, Nia. Di toko buku. Di kebun raya. Di tugu kujang. Di perpustakaan. Di kedai es krim. Dan tempat-tempat yang lain. Bahkan, saat ku melihat gunung Salak pun, ia hadir begitu saja. Kami pernah ke sana meskipun hanya sebatas di kaki saja.

Aku kehilangan.

Namun, di waktu yang bersamaan juga aku sadar. Aku tak pernah memilikinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...