Langsung ke konten utama

Patah - Pulang - Episode 10


Rupanya Dion tak hanya mengirimkan undangan pernikahannya kepadaku, akan tetapi juga pada orangtuaku. Iya, sedekat itu. Pernah suatu kali aku menemukan chattingan dia dan ibuku. Bertukar kabar dan perihal obrolan remeh. Iya, sedekat itu.

***

Sore itu, sebuah pesan WhatsApp kuterima dari kakak perempuanku. Ia memberitahu bahwa Nenek sedang kritis. Aku disuruh segera pulang. Sambil menunjukkan pesan WhatsApp dari Kakak, ku meminta izin untuk pulang lebih awal.

Aku tahu. Isyarat perpisahan sudah semakin jelas. Namun, serapi apapun, sepaham apa pun, perpisahan selalu berhasil merobohkan tembok hati. Selalu ada air mata. Entah itu yang benar jatuh dari pelupuk mata, atau jatuh tepat di dalam dada.

Setiba di rumah Nenek yang bisa ditempuh lima menit jalan kaki, aku segera menghampiri tubuh Nenek yang berbaring tak berdaya. Kurus. Mata terpejam. Namun, masih ada helaan napas di sana. Meskipun tersenggal-senggal. Anggota keluarga sudah berkumpul di sana. Mengerubungi tubuh Nenek. Ada yang sambil membaca ayat-ayat suci, ada yang terus membisikkan kalimat syahadat, ada yang hanya mampu duduk terpaku.

Kami semua tahu. Nenek akan segera pergi.

Dengan tetap memejamkan mata, Nenek kian kesusahan untuk bernafas. Adzan maghrib terdengar. Beberapa dari kami bergantian untuk solat. Kulihat Ibuku masih duduk di samping kanan Nenek sambil terus menggenggam tangan Nenek.

Nenek kian kesusahan mengambil napas. Saat itu, Izrail sepertinya sudah tiba. Meminta izin untuk membawa Nenek pulang.

Setelah selesai menunaikan solat, aku dan Kakak berdoa. Meminta agar dimudahkan, diikhlaskan, diberikan yang terbaik. Namun tak dapat dipungkiri juga aku meminta agar Nenek bisa sembuh sehingga aku masih punya kesempatan untuk membelikannya martabak.

Setelah selesai berdoa itu, aku segera melihat Nenek. Ia telah pulang....
Itu pertama kalinya aku melihat manusia dijemput pulang oleh Izrail.

Sekarang, suara tangisan yang terdengar. Aku menangis. Kakakku menangis. Cucu-cucu yang lain menangis.

Aku sulit berkata-kata. Tidak ada yang sanggup menghadapi perpisahan sebaik apa pun persiapannya. Kita selalu menangis. Entah itu yang jatuh dari pelupuk mata, atau hanya menyesakkan dada.

Secara spontan, aku segera mengabari Dion. Sambil tersedu-sedu aku bicara padanya bahwa Nenek sudah tiada. Aku rasa, saat itu aku seperti berbicara bahasa alien pada Dion. Dari sebrang sambungan telepon sana, Dion berusaha menenangkan. Aku masih ingat bagaimana suaranya yang lembut itu memberi dukungan.

"Besok pagi aku akan menghadiri upacara pemakamannya. Semoga aku dapat izin dari tempat PKL." Katanya.
Namun, pagi harinya dia mengabari bahwa dia tidak mendapatkan izin. Berkali-kali dia meminta maaf.
"Tidak apa-apa, kok." Kataku tanpa ada rasa kecewa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...