Rupanya Dion tak hanya mengirimkan undangan pernikahannya kepadaku, akan tetapi juga pada orangtuaku. Iya, sedekat itu. Pernah suatu kali aku menemukan chattingan dia dan ibuku. Bertukar kabar dan perihal obrolan remeh. Iya, sedekat itu.
***
Sore itu, sebuah pesan WhatsApp kuterima dari kakak perempuanku. Ia memberitahu bahwa Nenek sedang kritis. Aku disuruh segera pulang. Sambil menunjukkan pesan WhatsApp dari Kakak, ku meminta izin untuk pulang lebih awal.
Aku tahu. Isyarat perpisahan sudah semakin jelas. Namun, serapi apapun, sepaham apa pun, perpisahan selalu berhasil merobohkan tembok hati. Selalu ada air mata. Entah itu yang benar jatuh dari pelupuk mata, atau jatuh tepat di dalam dada.
Setiba di rumah Nenek yang bisa ditempuh lima menit jalan kaki, aku segera menghampiri tubuh Nenek yang berbaring tak berdaya. Kurus. Mata terpejam. Namun, masih ada helaan napas di sana. Meskipun tersenggal-senggal. Anggota keluarga sudah berkumpul di sana. Mengerubungi tubuh Nenek. Ada yang sambil membaca ayat-ayat suci, ada yang terus membisikkan kalimat syahadat, ada yang hanya mampu duduk terpaku.
Kami semua tahu. Nenek akan segera pergi.
Dengan tetap memejamkan mata, Nenek kian kesusahan untuk bernafas. Adzan maghrib terdengar. Beberapa dari kami bergantian untuk solat. Kulihat Ibuku masih duduk di samping kanan Nenek sambil terus menggenggam tangan Nenek.
Nenek kian kesusahan mengambil napas. Saat itu, Izrail sepertinya sudah tiba. Meminta izin untuk membawa Nenek pulang.
Setelah selesai menunaikan solat, aku dan Kakak berdoa. Meminta agar dimudahkan, diikhlaskan, diberikan yang terbaik. Namun tak dapat dipungkiri juga aku meminta agar Nenek bisa sembuh sehingga aku masih punya kesempatan untuk membelikannya martabak.
Setelah selesai berdoa itu, aku segera melihat Nenek. Ia telah pulang....
Itu pertama kalinya aku melihat manusia dijemput pulang oleh Izrail.
Sekarang, suara tangisan yang terdengar. Aku menangis. Kakakku menangis. Cucu-cucu yang lain menangis.
Aku sulit berkata-kata. Tidak ada yang sanggup menghadapi perpisahan sebaik apa pun persiapannya. Kita selalu menangis. Entah itu yang jatuh dari pelupuk mata, atau hanya menyesakkan dada.
Secara spontan, aku segera mengabari Dion. Sambil tersedu-sedu aku bicara padanya bahwa Nenek sudah tiada. Aku rasa, saat itu aku seperti berbicara bahasa alien pada Dion. Dari sebrang sambungan telepon sana, Dion berusaha menenangkan. Aku masih ingat bagaimana suaranya yang lembut itu memberi dukungan.
"Besok pagi aku akan menghadiri upacara pemakamannya. Semoga aku dapat izin dari tempat PKL." Katanya.
Namun, pagi harinya dia mengabari bahwa dia tidak mendapatkan izin. Berkali-kali dia meminta maaf.
"Tidak apa-apa, kok." Kataku tanpa ada rasa kecewa.
Komentar
Posting Komentar