Membuka percakapan lama, membuat pikiranku berkelana. Namun setelahnya, aku ditampar habis-habisan dengan kenyataan. Dadaku kembali sesak. Kepala kembali berdenyut. Leher seperti ada yang mencekik. Mataku terasa panas.
Dion akan segera menikah.
***
Aku yang sedang kosong saat itu, menerima kehadiran Dion dengan mudah. Sebagai teman.
"Temenin aku keliling Bogor, dong? Sejak tiba di Bogor, aku belum kemana-mana." Pintanya.
Aku setuju begitu saja. Baiklah. Dia amat menyedihkan begitu. Tidak punya siapa-siapa di sini dan jauh dari orang tua. Tunggu dulu, apa? Keliling Bogor? Aku anak rumahan, kan. Tapi ya sudahlah. Kubawa dia ke tempat yang aku tahu saja.
Kenyataannya, yang dia kunjungi pertama kali setelah kami berjumpa adalah rumahku. Dia datang dengan membawa beberapa camilan dari sebuah minimarket.
Sungguh lelaki yang berani dan percaya diri.
Sebelumnya, telah kuceritakan pada orang tuaku soal Dion ini. Mereka tidak mempermasalahkan. Ibuku pun mempersilakan ketika diberi tahu bahwa Dion ingin silahturahmi ke rumah.
Kata "canggung" sepertinya tidak pernah ada di kamus Dion. Seperti air mengalir dan secepat lesatan anak panah, Dion dengan mudahnya menjadi akrab dengan keluargaku. Bahkan ia bisa akrab dengan tetanggaku. Memang kebetulan mereka berasal dari daerah yang sama. Pantas saja. Tapi memang begitulah dia. Pribadi yang supel. Bukan berlagak sok kenal. Mungkin itu sebuah anugerah yang Tuhan titipkan kepadanya. Di tempat asing pun ia bisa dengan mudah mendapatkan teman.
Dan itu salah satu yang aku sukai dari dia.
Terus terus 😁
BalasHapus