Langsung ke konten utama

Patah - Sebuah Kabar - Episode 1

 



Aku pikir semuanya telah selesai ketika  kami sudah jarang sekali saling sapa, berbasa-basi, bertukar foto dan mengobrol apa saja yang dilakukan via WhatsApp (karena jarak yang terlampau jauh), serta melakukan panggilan video. Hingga suatu hari, di bulan Desember tanggal dua, sebuah pesan WhatsApp darinya masuk secara tiba-tiba.

Saat itu, aku sedang melakukan sebuah pertemuan mengenai dokumentasi di acara pernikahan teman satu komunitas. Pertemuan yang diawali dengan haha-hihi, harus berakhir dengan hati yang terluka.Tentu saja aku tidak menunjukkan di depan temanku saat itu.

Sebelum pertemuan kecil itu selesai, pesan WhatsApp masuk darinya. Tanpa basa basi segera kubaca. Sejujurnya aku agak terkejut menerima pesan itu. Sebab, sudah jarang kami berkomunikasi sejak pandemi. Terakhir kali, ia memintaku untuk datang berkunjung ke kota kelahirannya di sebrang pulau sana. Dan itu kejadiannya di bulan November. Ia juga meminta untuk mengajak serta kedua orang tuaku yang sudah dikenalnya sejak. dua tahun lalu.

Menanggapi hal itu, aku tidak berpikir apa-apa. Tidak ada pikiran bahwa maksud dari ucapannya itu adalah sebuah kabar yang kuterima sore ini.

Awalnya kuhanya fokus pada ucapan salam pada pesan itu. Aku tak sempat fokus membaca detail isinya. Namun kemudian, dadaku mulai sesak. Ada sembilu tajam menikam. Duniaku hening tiba-tiba. Tidak ada suara yang kudengar.

Saat itu, betapa tidak nyamannya aku. Rasanya ingin segera berlari sambil berteriak. Atau paling tidak, segera menumpahkan tangis yang tertahan di ujung bola mata.

Namun, nyatanya aku seperti orang linglung. Berusaha menerjemahkan apa yang kurasa. Berkali-kali hati berteriak tidak mungkin. Tapi undangan pernikahan yang dikirimnya adalah kenyataan. Aku tidak sedang bermimpi.

Sebelum bubar, kami sempat berswa foto bersama. Yang bisa kulakukan hanya menahan sesak di dada. Berpura-pura senyum padahal hati sedang tidak baik-baik saja bukanlah sebuah perkara remeh. Sungguh sangat menyebalkan.

Ya Allah...

Pertemuan kecil itu selesai. Kami saling pamit. Dan saat pulang aku masih bersama kedua temanku Pinia (yang meminta diriku untuk mengabadikan momen indahnya nanti) dan Tiwi (teman satu kuliah dan juga satu komunitasku bersama Pinia). Kebetulan, Pinia dan Tiwi mengetahui soal lelaki ini.

Aku berjalan tak semangat. Gontai. Lemas. Hati yang tak keruan. Hingga akhirnya aku tak tahan untuk membuka suara. 

"Kalian masih ingat Dion?"

Kedua temanku mengangguk. Tentu saja mereka tahu. Sebab pernah aku kenalkan keduanya.

"Dia akan menikah," sambungku tak bertenaga.

Akhirnya, aku menangis di hadapan keduanya. Tersedu-sedu. Duniaku sedang tidak baik-baik saja.

Hari itu, aku baru sadar. Sejak pertama bertemu aku sudah menyukainya sampai detik ini. Perasaan itu ternyata tidak kemana-mana. Masih pada posisi yang sama. Tidak berubah. 

Perasaan yang sungguh terlambat. Penyesalan yang sungguh sia-sia. 

Dion, apakah kau menimbang bagaimana perasaanku kala kau memutuskan untuk mengirim undangan pernikahanmu itu padaku? 



Komentar

  1. Yg baca aja ngerasa sakit, apalagi yg nulis.
    Semoga Allaah segera mempertemukan jodohmu yg sehidup sesurga😘

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...