Aku pikir semuanya telah selesai ketika kami sudah jarang sekali saling sapa, berbasa-basi, bertukar foto dan mengobrol apa saja yang dilakukan via WhatsApp (karena jarak yang terlampau jauh), serta melakukan panggilan video. Hingga suatu hari, di bulan Desember tanggal dua, sebuah pesan WhatsApp darinya masuk secara tiba-tiba.
Saat itu, aku sedang melakukan sebuah pertemuan mengenai dokumentasi di acara pernikahan teman satu komunitas. Pertemuan yang diawali dengan haha-hihi, harus berakhir dengan hati yang terluka.Tentu saja aku tidak menunjukkan di depan temanku saat itu.
Sebelum pertemuan kecil itu selesai, pesan WhatsApp masuk darinya. Tanpa basa basi segera kubaca. Sejujurnya aku agak terkejut menerima pesan itu. Sebab, sudah jarang kami berkomunikasi sejak pandemi. Terakhir kali, ia memintaku untuk datang berkunjung ke kota kelahirannya di sebrang pulau sana. Dan itu kejadiannya di bulan November. Ia juga meminta untuk mengajak serta kedua orang tuaku yang sudah dikenalnya sejak. dua tahun lalu.
Menanggapi hal itu, aku tidak berpikir apa-apa. Tidak ada pikiran bahwa maksud dari ucapannya itu adalah sebuah kabar yang kuterima sore ini.
Awalnya kuhanya fokus pada ucapan salam pada pesan itu. Aku tak sempat fokus membaca detail isinya. Namun kemudian, dadaku mulai sesak. Ada sembilu tajam menikam. Duniaku hening tiba-tiba. Tidak ada suara yang kudengar.
Saat itu, betapa tidak nyamannya aku. Rasanya ingin segera berlari sambil berteriak. Atau paling tidak, segera menumpahkan tangis yang tertahan di ujung bola mata.
Namun, nyatanya aku seperti orang linglung. Berusaha menerjemahkan apa yang kurasa. Berkali-kali hati berteriak tidak mungkin. Tapi undangan pernikahan yang dikirimnya adalah kenyataan. Aku tidak sedang bermimpi.
Sebelum bubar, kami sempat berswa foto bersama. Yang bisa kulakukan hanya menahan sesak di dada. Berpura-pura senyum padahal hati sedang tidak baik-baik saja bukanlah sebuah perkara remeh. Sungguh sangat menyebalkan.
Ya Allah...
Pertemuan kecil itu selesai. Kami saling pamit. Dan saat pulang aku masih bersama kedua temanku Pinia (yang meminta diriku untuk mengabadikan momen indahnya nanti) dan Tiwi (teman satu kuliah dan juga satu komunitasku bersama Pinia). Kebetulan, Pinia dan Tiwi mengetahui soal lelaki ini.
Aku berjalan tak semangat. Gontai. Lemas. Hati yang tak keruan. Hingga akhirnya aku tak tahan untuk membuka suara.
"Kalian masih ingat Dion?"
Kedua temanku mengangguk. Tentu saja mereka tahu. Sebab pernah aku kenalkan keduanya.
"Dia akan menikah," sambungku tak bertenaga.
Akhirnya, aku menangis di hadapan keduanya. Tersedu-sedu. Duniaku sedang tidak baik-baik saja.
Dion, apakah kau menimbang bagaimana perasaanku kala kau memutuskan untuk mengirim undangan pernikahanmu itu padaku?
Yg baca aja ngerasa sakit, apalagi yg nulis.
BalasHapusSemoga Allaah segera mempertemukan jodohmu yg sehidup sesurga😘