Langsung ke konten utama

Patah - Tahlil - Episode 11

 


Waktu itu beberapa hari setelah Nenek meninggal. 

Aku bertemu dengan Dion. Aku lupa saat itu hari apa. Tapi yang pasti, hampir seharian aku bersama dia di luar rumah hingga berakhir mampir di rumah. 


Rencananya, saat tiba di rumah kami akan battle memasak. Namun, malah berakhir dengan tidur siang. Ku menemukan Dion dengan adik laki-lakiku tidur di ruang tamu dengan posisi tengkurap. Diam-diam ku abadikan momen itu. 


Tak mau mengganggu, akhirnya aku pergi ke kamar untuk rebahan. Tak lama, aku pun tertidur juga. Entah berapa jam aku tertidur. Saat terbangun, Dion dan adikku masih tertidur. Saat melihat keadaan rumah, rupanya Ayah dan Ibuku juga sedang tertidur. 


Tak lama, Dion terbangun. "Tadi aku sempat bangun. Tapi ternyata semuanya lagi pada tidur siang juga. Termasuk kamu. Ya sudah, aku tidur lagi." Katanya santai. 


Awalnya Dion hendak pulang setelah ashar. Namun, Ibu justru mengajaknya untuk ikut ke acara tahlilan Nenek. Tentu saja Dion tidak menolak. 

"Kita naik angkot saja ke sananya. Barengan." Kata Ibu. 

Wajah Dion jadi cerah. "Aku yang nyetir,  ya?"

Aku cuma bisa melongo sebab tak percaya dia bisa menyetir. Kemudian, dia merogoh celananya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Rupanya itu SIM C miliknya. Dia perlu membuktikan itu agar aku percaya. Saat diteliti, rupanya memang benar nama yang tertera adalah nama Dion. Aku pun tersenyum kalah. 


Akhirnya, mobil angkot itu diambil alih oleh Dion. Aku yang melihat kelakuannya, hanya tersenyum geli menggelengkan kepala. Ia benar-benar menyetir mobil angkot itu. Diam-diam, aku mengandaikan momen itu. 


Tiba di rumah Nenek, tentu saudara-saudaraku bertanya-tanya tentang seorang lelaki yang turut serta bersama keluargaku itu. 

"Oh, dia anak si Ibu yang baru pulang dari tanah rantau." Kataku santai. Dan tentu saja mereka tidak akan memercayai hal itu. 


Sudah menjadi pembawaannya, Dion tiada rasa canggung di sana. Dia bisa berbaur dengan mudah. Sungguh makhluk hidup  berkemampuan beradaptasi yang ulung. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...