Waktu itu beberapa hari setelah Nenek meninggal.
Aku bertemu dengan Dion. Aku lupa saat itu hari apa. Tapi yang pasti, hampir seharian aku bersama dia di luar rumah hingga berakhir mampir di rumah.
Rencananya, saat tiba di rumah kami akan battle memasak. Namun, malah berakhir dengan tidur siang. Ku menemukan Dion dengan adik laki-lakiku tidur di ruang tamu dengan posisi tengkurap. Diam-diam ku abadikan momen itu.
Tak mau mengganggu, akhirnya aku pergi ke kamar untuk rebahan. Tak lama, aku pun tertidur juga. Entah berapa jam aku tertidur. Saat terbangun, Dion dan adikku masih tertidur. Saat melihat keadaan rumah, rupanya Ayah dan Ibuku juga sedang tertidur.
Tak lama, Dion terbangun. "Tadi aku sempat bangun. Tapi ternyata semuanya lagi pada tidur siang juga. Termasuk kamu. Ya sudah, aku tidur lagi." Katanya santai.
Awalnya Dion hendak pulang setelah ashar. Namun, Ibu justru mengajaknya untuk ikut ke acara tahlilan Nenek. Tentu saja Dion tidak menolak.
"Kita naik angkot saja ke sananya. Barengan." Kata Ibu.
Wajah Dion jadi cerah. "Aku yang nyetir, ya?"
Aku cuma bisa melongo sebab tak percaya dia bisa menyetir. Kemudian, dia merogoh celananya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Rupanya itu SIM C miliknya. Dia perlu membuktikan itu agar aku percaya. Saat diteliti, rupanya memang benar nama yang tertera adalah nama Dion. Aku pun tersenyum kalah.
Akhirnya, mobil angkot itu diambil alih oleh Dion. Aku yang melihat kelakuannya, hanya tersenyum geli menggelengkan kepala. Ia benar-benar menyetir mobil angkot itu. Diam-diam, aku mengandaikan momen itu.
Tiba di rumah Nenek, tentu saudara-saudaraku bertanya-tanya tentang seorang lelaki yang turut serta bersama keluargaku itu.
"Oh, dia anak si Ibu yang baru pulang dari tanah rantau." Kataku santai. Dan tentu saja mereka tidak akan memercayai hal itu.
Sudah menjadi pembawaannya, Dion tiada rasa canggung di sana. Dia bisa berbaur dengan mudah. Sungguh makhluk hidup berkemampuan beradaptasi yang ulung.
Komentar
Posting Komentar