Sejak patah hati, rupanya tubuhku terasa lebih lelah. Mungkin, ini dampak dari berpura-pura bahagia di depan banyak orang. Berakting bahwa semuanya baik-baik saja.
Kumatikan lampu kamar, lalu berbaring di atas ranjang. Mataku menatap ke atas, ke langit-langit kamar. Keadaan seperti ini sangat cocok untuk menikmati sebuah kemalangan. Air mataku meleleh tanpa sadar bersama hadirnya segala hal tentang dia. Tak ubahnya seperti film dokumenter yang diputar tepat di depanmu. Bedanya, film yang sedang kutonton ini sedang mencabik-cabik hati dan pikiran. Kepalaku sakit sekali rasanya. Seperti dihantam benda berukuran besar.
Tuhan, aku mengalami kebingungan yang cukup hebat. Aku tidak tahu untuk apa air mata ini mengalir. Apakah ini sebuah penyesalan karena tidak pernah mencoba mengungkapkan perasaanku atau karena merindukan kenangan bersamanya semata?
Aku tersedu-sedu.
Atau, apakah aku sedang menangisi kebodohanku sebab masih saja memupuk tentangnya meski perpisahan itu sudah terjadi dua tahun silam?
Aku tidak tahu.
Malam itu, untuk kesekian kalinya bantal dan selimut menjadi teman terbaikku menumpahkan kesedihan. Rela kubasahi tanpa kata "tapi".
Komentar
Posting Komentar