Langsung ke konten utama

Patah - Episode 5 - Di Persimpangan Jalan, Pada Suatu Malam


Si patah hati akan terus membuat kebodohan-kebodohan yang membuat dirinya kian terpuruk. Mendengarkan lagu-lagu sedih, juga lagu romantis yang entah dengan kekuatan semacam apa bisa mengubah liriknya begitu penuh duka. Selain itu, ia akan masih dan terus mencari segala informasi tentang orang yang dicintainya sampai ia muak dengan kesedihan yang mencabik hati. 


Dan aku melakukannya. 


Ku gulir ke atas segala percakapan lama sebelum Dion mengirimkan surat undangan. 


Bodoh. Aku tahu. Namun, entah kenapa hal tersebut memiliki kepuasan tersendiri. Barangkali begitulah cara menikmati duka ini. 


Aku menemukan sebuah foto yang kukirim pada Dion pada bulan Oktober. Sebuah foto persimpangan jalan tempat dulu aku dan dia bertemu pada suatu malam. Segala tempat yang berkaitan dengannya, entah kenapa selalu kuabadikan kalau kebetulan lewat dan sempat. Tapi mayoritas, aku selalu memotretnya, lalu dikirimkan kepada Dion. Tujuannya tak lain untuk mengenang. 


Waktu itu, aku sedang berjalan pulang bersama Ali. Kami bekerja di sebuah tempat kursus dengan jam kerja mulai pukul satu siang hingga sembilan malam. Butuh naik angkot sekali sebelum aku tiba di rumah. Namun Ali yang rumahnya dekat dengan tempat kursus, rupanya berbaik hati "mengantar" ku ke tempat menunggu angkot. Ya, di persimpangan jalan itu. 


Aku belum menyadari sepenuhnya keberadaan Dion yang telah lebih dulu berdiri di sana. Setelah tampak angkot jurusan menuju rumah tiba, aku dan Ali berpisah dan segera masuk ke dalam angkot, lalu di susul Dion. 


Entah kenapa, aku tiba-tiba saja menundukkan kepala saat dia masuk. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan saat sekilas melihat wajah Dion. 


Angkot berjalan. Hanya ada suara mesin dan angin yang masuk lewat celah jendela dan pintu angkot yang tidak ditutup sehingga mengibarkan kerudungku. Di dalam sana, cuma ada aku dan Dion saja. Hingga tak berselang lama, "Betul ini angkot ke arah Pasir Kuda?" tanya Dion tiba-tiba. 


Kujawab iya. Dari pertanyaan yang diajukan, sepertinya dia bukan orang sini. 


Dari sanalah semeseta menuliskan takdir. Kami berkenalan dan dengan mudahnya sekaligus cepat tanpa menaruh curiga, kami bertukar nomor handphone. Dion yang memintanya dan aku memberikannya begitu saja. Sekali lagi, tanpa rasa curiga. 


Sesederhana itu. Klasik sekali bukan? Tak ada yang istimewa. Biasa saja. Barangkali, di dunia ini ada jutaan cerita pertemuan macam itu. 


Apakah aku sudah menyukai Dion sejak pertama bertemu? Aku tidak tahu. Yang jelas ada sesuatu yang bergemuruh. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

SYAHADAT CINTA DI UJUNG SENJA oleh Fitri Nurul Aulia

Detak jarum jam yang terus melangkah menggema ke seluruh ruangan bercat putih. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Seorang Gadis masih sibuk membenahi sebuah toko busana muslimah milik bibinya yang terletak di jalan Istiklal Street , daerah Taksim, Istanbul. Setelah selesai berbenah, Gadis berparas timur tengah itu bergegas meraih mantel berwarna coklatnya, yang tak jauh dari meja kasir tempat yang ia duduki sekarang. Tak lupa, ia juga melingkarkan syal tebal berwarna putih di lehernya yang senada dengan warna hijabnya. Maklum, di luar sana, salju di bulan Desember sedang turun dengan derasnya—hingga kota bak di selimuti dengan mantel putih nan bersih namun beraura kaku. Gadis itu tak akan rela jika tubuhnya diselimuti rasa dingin yang menusuk tulang dan membekukan persendian. Setelah menggembok rapi pintu pagar toko, segera ia melesat meniggalkan toko menuju apartemen yang ditinggalinya bersama paman dan bibinya. Turunnya salju yang disertai hembusan an...