Si patah hati akan terus membuat kebodohan-kebodohan yang membuat dirinya kian terpuruk. Mendengarkan lagu-lagu sedih, juga lagu romantis yang entah dengan kekuatan semacam apa bisa mengubah liriknya begitu penuh duka. Selain itu, ia akan masih dan terus mencari segala informasi tentang orang yang dicintainya sampai ia muak dengan kesedihan yang mencabik hati.
Dan aku melakukannya.
Ku gulir ke atas segala percakapan lama sebelum Dion mengirimkan surat undangan.
Bodoh. Aku tahu. Namun, entah kenapa hal tersebut memiliki kepuasan tersendiri. Barangkali begitulah cara menikmati duka ini.
Aku menemukan sebuah foto yang kukirim pada Dion pada bulan Oktober. Sebuah foto persimpangan jalan tempat dulu aku dan dia bertemu pada suatu malam. Segala tempat yang berkaitan dengannya, entah kenapa selalu kuabadikan kalau kebetulan lewat dan sempat. Tapi mayoritas, aku selalu memotretnya, lalu dikirimkan kepada Dion. Tujuannya tak lain untuk mengenang.
Waktu itu, aku sedang berjalan pulang bersama Ali. Kami bekerja di sebuah tempat kursus dengan jam kerja mulai pukul satu siang hingga sembilan malam. Butuh naik angkot sekali sebelum aku tiba di rumah. Namun Ali yang rumahnya dekat dengan tempat kursus, rupanya berbaik hati "mengantar" ku ke tempat menunggu angkot. Ya, di persimpangan jalan itu.
Aku belum menyadari sepenuhnya keberadaan Dion yang telah lebih dulu berdiri di sana. Setelah tampak angkot jurusan menuju rumah tiba, aku dan Ali berpisah dan segera masuk ke dalam angkot, lalu di susul Dion.
Entah kenapa, aku tiba-tiba saja menundukkan kepala saat dia masuk. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan saat sekilas melihat wajah Dion.
Angkot berjalan. Hanya ada suara mesin dan angin yang masuk lewat celah jendela dan pintu angkot yang tidak ditutup sehingga mengibarkan kerudungku. Di dalam sana, cuma ada aku dan Dion saja. Hingga tak berselang lama, "Betul ini angkot ke arah Pasir Kuda?" tanya Dion tiba-tiba.
Kujawab iya. Dari pertanyaan yang diajukan, sepertinya dia bukan orang sini.
Dari sanalah semeseta menuliskan takdir. Kami berkenalan dan dengan mudahnya sekaligus cepat tanpa menaruh curiga, kami bertukar nomor handphone. Dion yang memintanya dan aku memberikannya begitu saja. Sekali lagi, tanpa rasa curiga.
Sesederhana itu. Klasik sekali bukan? Tak ada yang istimewa. Biasa saja. Barangkali, di dunia ini ada jutaan cerita pertemuan macam itu.
Apakah aku sudah menyukai Dion sejak pertama bertemu? Aku tidak tahu. Yang jelas ada sesuatu yang bergemuruh.
Komentar
Posting Komentar