Hari ini, seorang temanku dari Kenya mengatakan bahwa dia telah kehilangan seseorang yang ia cintai. Aku bertanya kepadanya, apakah dia adalah kekasihmu? Dia menjawab, "Bukan. Ayahku telah meninggal dunia."
Barangkali saat dia mengatakan hal itu, pundaknya kembali rapuh, langit seolah runtuh. Atau sebutir air mata kembali turun lihai meninggalkan jejak di pipinya. Meskipun dia berkali-kali meyakinkanku bahwa dirinya kuat dan baik-baik saja.
Kebohongan macam apa itu? Tidak ada satu pun orang yang siap dan kuat atas kehilangan sesuatu, terlebih lagi seorang yang begitu dekat hubungan darahnya dengan kita. Apalagi posisi temanku ini sedang berada di luar Kenya, tepatnya dia sedang bekerja di Istanbul, Türkiye. Aku bisa merasakan bagaimana raganya meminta pulang untuk memberikan peluk yang terakhir, tetapi kenyataan menolaknya mentah-mentah.
Kukatakan padanya bahwa tidak apa-apa merasakan sedih. Tidak berdosa merasakan rapuh. Bukankah perasaan sedih juga perlu dirayakan kehadirannya di hati kita?
Jujur saja. Aku payah dalam beraksi atas kesedihan yang dialami orang lain. Tetapi, aku bisa merasakan bagaimana rasanya terluka, apalagi hanya dinikmati sendirian.
Dalam perjalanan hidup yang telah dilalui bertahun-tahun ini, aku belajar bahwa 'sendirian' itu tidak menyenangkan. Aku pernah berbahagia pada suatu momen, tetapi seseorang yang kuharap kedatangannya, tak kunjung tiba hingga acara selesai. Jadi, berbahagia sendirian pun tidak enak rasanya. Apalagi merasakan sedih.
(Aku harap kamu bisa mengerti maksud dari sendirian dalam konteks ini. Aku menganggap maknanya sangat dalam. Dan aku ingin menambahkan catatan tambahan bahwa hanya orang-orang spesiallah yang mampu merubah ini menjadi maha karya.)
Kepada temanku dari Kenya itu aku menawarkan sesuatu. Ini bukan solusi, tetapi sepertinya oke juga untuk dicoba.
"Ketika aku bersedih, aku selalu menatap langit. Langit luas. Ia selalu menerima segala luka yang kita punya tanpa alpa. Aku merasa tidak sendirian di dunia ini. Ada ragam cerita yang tumpah ruah di bumi. Dan aku salah satu yang memiliki cerita itu." Kataku padanya. Kurasa itulah caraku merayakan kesedihan. Sebuah cara yang kutemukan pada tahun 2020 lalu saat patah hati hebat menerjangku.
"Aku tidak tahu cara melakukannya." Aku membayangkan wajahnya saat dia mengatakan kalimat ini. Jika aku bisa menerka, mungkin wajahnya seperti lampu yang perlahan kehilangan daya.
"Sebenarnya kamu tahu caranya. Baiklah, berikan waktu untuk dirimu sehingga kamu bisa merasakan, memahami, dan menerima semua ini. Tidak mudah dan tidak perlu cepat-cepat. Tapi aku yakin kamu bisa."
"Ya, aku cukup kuat." Senyum kecil terbit di bibirnyabibirnya, kuyakin.
Aku mengakhiri obrolan sendu itu karena ada sesuatu yang harus dikerjakan. Terakhir aku katakan padanya, "Saat kita bicara lagi nanti, berjanjilah untuk memberikan senyuman terbaikmu, ya?"
"Iya, aku janji."
Setelah menulis ini, aku tiba-tiba bertanya kepada entah. Terbuat dari apakah kesedihan itu?
Komentar
Posting Komentar