Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing.
Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sama.
Menurut kesimpulan yang aku tarik dari ucapannya, kebahagiaan seolah-olah hanya terletak pada pernikahan, uang, dan pencapaian duniawi lainnya. Sama seperti definisi sukses yang kuceritakan di awal, kebahagiaan pun punya definisi masing-masing menurut setiap orang. Bagi laki-laki tua itu mungkin begitulah cara bahagia. Namun, kami juga punya cara bahagia masing-masing. Tidak salah berpendapat seperti itu. Hanya saja, kenapa harus memaksakan definisi tentang sesuatu yang dianutnya itu kepada orang lain?
Bukankah kita bisa merayakan perbedaan tanpa harus memaksakan pendapat kita kepada orang lain? Bisa, sebenernya sangat bisa. Asal punya pikiran terbuka dan menyadari bahwa kehidupan tidak hanya tentang definisi kita.
Tulisan ini sekonyong-konyong kutulis setelah curhat kepada temanku, yang sebelum percakapan dengan laki-laki tua itu, dia sudah pulang duluan.
Katanya, kebahagiaan bertumpu pada sate ayam Madura.
Komentar
Posting Komentar