SEPIRING
NASI PUTIH DAN DUKA DARI PESHWAR
(Dua
Renungan dalam Sekali Waktu)
Oleh
: Fitri Nurul Aulia
SEKITAR
pukul tujuh perutku sudah enggan kuajak
kompromi. Kuputuskan untuk keluar dari kamar lalu berlalu ke meja makan
kemudian menyiuk sepiring nasi putih. Kuraih sendok dari tempatnya. Ya, hanya
sepiring nasi putih saja. Padahal Ibuku sudah memasak lauknya sebagai pelengkap
nasi. Ada telur dan tahu balado sudah
tersedia. Namun, entah mengapa aku tak meliriknya. Aku termenung sekejap
memikirkan sesuatu. Bagaimana kalau kali ini aku makan sepiring nasi putih saja
tanpa lauk?
Aku ingin merasakan bagaimana mereka yang di luar sana makan seadanya,
bahkan tidak makan samasekali. Sekalipun nasi saja. Aku akui, hambar rasanya. Patutlah kita yang
senantiasa makan dengan 4 sehat 5 sempurna, harus selalu bersyukur. Aku tak
kuasa membayangkan mereka yang tak makan berhari-hari.
Sambil menikmati makan malam yang tanpa lauk itu,
tangan kananku sibuk dengan handphone-ku. Aku membuka facebook
lalu memerhatikan satu per satu status
yang muncul di beranda facebook-ku. Satu status berhasil membuatku ingin
membacanya dengan hati-hati. Itu
adalah status dari fanspage Maher
Zain. Dalam statusnya, dia menyampaikan duka atas penyerangan yang terjadi di Peshwar, Pakistan oleh Taliban. Ah tidak, lebih tepatnya adalah pembantaian
yang menelan korban jiwa sebanyak 140 orang lebih dan kebanyakan adalah anak-anak. Bagaimana tidak?
Penyerangan terjadi di sekolah ketika mereka sedang belajar. Menuntut ilmu!
Sebenarnya aku
sudah tahu berita itu kemarin dari teman Pakistan-ku. Selain itu berita-berita di tv juga sudah menayangkannya.
Sedih? Iya tentu!
Bagaimana pun tidak bisa kita tolerir perbuatan keji itu. Namun, baru hari ini
aku benar-benar merasakan pilu tiada tara ketika dalam status itu Maher Zain juga menyertakan salah
dua foto korban pembantaian tanggal 16
Desember 2014 kemarin itu.
Lalu kulihat komentar-komentar yang bemunculan.
Beberapa di antara mereka menyampaikan duka cita yang
juga melampirkan foto-foto korban pembantaian itu. Aku meyakini
orang-orang yang melampirkan foto-foto itu adalah orang-orang Pakistan.
Dari
foto-foto itu, kulihat
wajah-wajah lucu nan tampan khas Pakistan tersenyum tanpa
beban. Lalu ada sebuah kalimat yang begitu menyayat hatiku
hingga sepiring nasi putih yang tengah aku santap
pun rasanya
tak sanggup aku
habiskan. Kalimat itu bertuliskan dalam bahasa inggris: They went to school and never came back. Mereka pergi
ke sekolah dan tak pernah kembali. Bayangkan! Sebelum penyerangan mereka sedang asyik menuntut ilmu. Lalu tiba-tiba saja kelompok Taliban itu memasuki ruang kelas mereka, lalu menghujam mereka
dengan peluru. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana darah mulai mengalir dari
tubuh mereka! Aku tak sanggup membayangkan bagaimana
mereka berteriak ketakutan dan menatap kawan-kawannya di tembaki dengan peluru!
Tak sanggup! Dan takkan pernah sanggup aku
membayangkannya!
Aku
tak paham benar apa motif sesungguhnya di balik pembantaian yang terjadi di
sebuah sekolah di Peshwar oleh Taliban itu. Yang aku tahu berdasarkan informasi
dari teman Pakistan-ku, sebelum mereka melakukan penyerangan itu mereka
mengumandangkan takbir. Mereka menganggap tindakan mereka benar karena atas
nama Tuhan! Apa?! Sebagai manusia yang beragama, aku tidak bisa menerima
tindakan yang tak berperikemanusiaan itu. Itu terlalu gila! Tak bisa diterima
oleh akal sekali pun! Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Taliban atau
apakah itu adalah benar-benar teroris!
Mereka—yang meninggal—pantas mendapat gelar syahid. Tentu! Mereka meninggal ketika menuntut ilmu. Mencari ilmu
Allah. Seharusnya mereka bisa menjadi sosok hebat dan menjadi harapan bagi
orang tuanya, agama, dan negaranya ketika dewasa nanti. Namun Allah berkehendak
lain.
Aku bisa merasakan bagaimana hancurnya hati orangtua-orangtua mereka. Jika
di pagi hari
sebelum mereka berangkat ke sekolah mereka berpamitan, mencium tangan, lalu
mengucapkan salam sambil melambaikan tangan
pada kedua orang tuanya, dipastikan
semua itu telah
berakhir. Pagi itu adalah pamitan terakhir, ciuman tangan terakhir, ucapan
salam terakhir, juga lambaian tangan terakhir dari sang buah hati tercinta.
Aku terhenyak diam sambil menahan emosi karena tak
bisa menerma akan hal itu. Bingkai mataku mulai mengerjap-ngerjap menahan air
mata. Kupaksakan mulutku menelan satu suapan terakhir nasi putih sambil menahan
sesak di dada.
Ya Allah tempatkanlah mereka di JannahMu sebagaimana
telah Engkau janjikan bagi mereka yang syahid di jalanMu.
Bogor, 17 Desember 2014
Komentar
Posting Komentar