Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?
Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.
Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan kisah hidupnya jelas berbeda.
Ketika menulis ini, kopiku sudah dingin dan nyaris habis. Hanya perlu satu tegukan untuk menandaskannya. Kisah yang aku ceritakan, merupakan perasaanku yang terjadi dulu.
Di hadapanku ada pantulan perempuan cantik yang kulihat lewat cermin berukuran sekitar 45 x 25 cm. Kulihat setiap lekuk yang terpahat di wajahnya. Ada cerita-cerita yang telah ia bingkai di dinding rumahnya. Masih ada perjalanan panjang ke dalam diri yang masih harus ia tapaki. Dulu sekali, rumahnya mudah jadi reyot kala ada pesta yang ia lihat di rumah orang lain. Namun sekarang, ia sadar bahwa hanya perlu merawat dengan baik rumah dan isinya untuk nyaman ditempattinggali. Bangunan dan isinya yang akan melewati seribu zaman, dengan riak tawa, tangis, canda, marah, langkah hingga akhir kehidupan.
Kopi itu sudah tandas. Kopi sachetan yang dengannya aku merayakan kehidupan.
Selamat merawat rumah!
Komentar
Posting Komentar