Arnold merapatkan mantel coklatnya yang
tebal. Walau tubuhnya berada di dalam bus merah dan dibalut dengan busana
tebal, udara musim dingin masih saja mampu menyelinap masuk ke dalam bus. Ia
menyandarkan tubuhnya sambil sesekali melirik jam raksasa yang menjadi ikon kebanggan negaranya,
Inggris—yang tepat berada di depan bus. Big ben menunjukkan pukul delapan
kurang lima belas menit. Arnold terdiam melihat suasana hening di dalam bus
yang dihuni sekitar lima belas orang saja. Semua orang berpakaian tebal seperti
dirinya.
Bus berlari dengan kecapatan sedang
memasuki jembatan yang membelah sungai Thamses. Lalu lintas di luar sana
lumayan lengang. Arnold memperhatikan seorang gadis yang tidak dikenlanya
sedang tertidur pulas disampingnya. Lalu Arnold membuang muka menatap sungai Thames
yang mulai membeku memantulkan cahaya dari kelap-kelipnya lampu-lampu kota. Dia
tersenyum. Ah... bukankah London itu kota
terindah yang pernah ada? Kota ini benar-benar membuatku selalu tersenyum.
Arnold bergumam dalam hati.
Tiba-tiba
saja gadis yang tertidur disamping Arnold terjaga. Nafasnya terengah-engah.
Wajahnya pucat. Wajahnya pula penuh dengan bulir-bulir keringat yang bercucuran
dari keningnya. Tiba-tiba saja gadis itu berdiri kemudian berteriak, “Hentikan
bus ini! Selamatkan diri kalian!” Sontak orang-orang yang berada dalam bus
melongok kearahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku penasaran
sambil memebelalakkan mataku. Aku mengernyitkan keningku di hadapannya.
“Ada apa?” tanya seorang lelaki berjas
rapi yang duduk di sebrangku.
“Hentikan! Bus ini akan meledak pada jam
delapan tepat!” Gadis itu terengah-engah sambil wajahnya terus melukiskan
kepanikan.
“Hey hey. Kau tahu dari mana?” lelaki
berjas itu bertanya lagi.
“Aku melihat dalam mimpiku. Itu terlihat
nyata. Tolong percayalah padaku!” Gadis itu berusaha membuat orang-orang
percaya padanya.
“Hey Nona! Bukankah Anda barusan sedang
tidur? mungkin Anda mimpi buruk. Atau mungkin, Anda terobsesi pada film final destination?” timpal seorang pria
bertubuh gemuk. Orang-orang menertawakan gadis itu.
Gadis itu kemudian berlari ke arah sang
supir tanpa memperdulikan yang lain yang sedang menertawakan dirinya. Gadis itu meminta untuk menghentikan busnya
dan menyuruh untuk menyelamatkan diri masing-masing. Namun, dia gagal, tetap
saja sang supir hanya menganggap sebagai lelucon saja. Memang ini terdengar
tabu. Tapi, entah kenapa Arnold berfirasat buruk. Jantungnya berdebar hebat, “Aku
rasa dia tidak bercanda.”
Orang-orang terdiam mendengar ucapan
Arnold. Gadis itu kemudian melangkah perlahan menghampiri Arnold. “Terima kasih
telah percaya...” Dia tersenyum, kemudian jatuh pingsan. Segera Arnold
menompang tubuh gadis itu.
“Hey anak muda, mungkin saja dia mabuk!”
kata pria bertubuh gemuk.
“Tidak! Aku berfirasat buruk. Apa kalian
tidak pernah mendengar tentang indigo? Sebuah kemampuan yang tidak dimiliki
banyak orang. Misalanya, mereka bisa melihat masa depan. Dan gadis ini baru
saja melihat masa depan yang akan terjadi sebenetar lagi. Aku berfirasat
begitu.”
“Itu hanya firasatmu. Aku tidak percaya
itu!”
“Tidak! Kalian harus mempercayaiku. Tolong
dengarkan aku! Pak supir tolong hentikan bus ini!” Arnold berteriak sekencang-kencangnya.
Teriakan Arnold sontak membuat orang-orang bungkam. Mereka terdiam. Sang supir
menepikan busnya di tengah jembatan. Arnold melirik kembali jam raksasa big ben.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Arnold menghampiri sang
supir. “Bus ini benar-benar akan meledak.”
“Omong kosong apa itu? Pak supir
lanjutkan perjalanannya. Aku akan terlambat sampai rumah!” kata lelaki berjas.
“Anak muda. Maaf aku tidak percaya pada
indigo atau semacamnya. Itu hanya lelucon yang diciptakan untuk menakuti
orang-orang saja.” Sang supir menginjak pedal gas. Dia benar-benar tidak
menghiraukan ucapan Arnold.
“Tidak!
Kita harus turun! Jika tidak, kita semua akan mati!” ujar Arnold menekan
kalimatnya. Keringat mulai turun dari kening Arnold. Entah kenapa firasat
Arnold begitu kuat kali ini. Jam sudah menunjukkan delapan kurang dua menit. Bus
sudah melewati tiga perempat jembatan. “Baiklah jika kalian tidak percaya,
turunkan aku sekarang juga!” Tiba-tiba saja api memercik dari bagian depan bus.
Sang supir terkejut. Ia menginjak pedal rem ketika bus berhenti di ujung
jembatan. Api menjalar kebagian sisi bus secepat kilat. Arnold kembali melirik
jam. Sekitar satu menit lagi menuju pukul delapan. Arnold membulatkan mata. Oh Tuhan...
“Cepat turun! Selamatkan diri kalian!” kata
sang supir berteriak kencang. Wajah orang-orang bertransformasi dengan cepat
menunjukkan kepanikkan. Mereka berhamburan keluar bus sambil berteriak histeris. Api
sudah ada dimana-mana. Hawa dingin yang membekukkan persendian, telah kalah
dengan kobaran api. Sekitar beberapa detik lagi menuju pukul delapan tepat.
Arnold melihat gadis indigo itu masih
belum sadarkan diri. Tanpa basa-basi ia bopong tubuhnya menuju keluar bus
dengan tergopoh-gopoh. Dada Arnold sesak, sulit bernafas. Asap sudah mengisi
penuh paru-parunya. Tapi Arnold terus melangkah sambil membopong tubuh gadis
itu untuk keluar dari bus. Sekitar tiga meter Arnold menjauh dari bus merah
itu, bus itu meledak dengan hebatnya. Arnold terpental beberapa meter bersama
gadis yang dibopongya. Beberapa orang menghampiri tubuh Arnold dan gadis itu. Arnold
melirik jam big ben. Jarum jam berhenti tepat menunjukkan pukul delapan malam. Nafas
Arnold tersenggal-senggal. Orang-orang berteriak kata oksigen berkali-kali. Pandangan
Arnold kabur. Semuanya gelap seketika. Perlahan ia menutup matanya tepat pukul
delapan malam.
Komentar
Posting Komentar