Langsung ke konten utama

8 PM oleh Fitri Nurul Aulia



Arnold merapatkan mantel coklatnya yang tebal. Walau tubuhnya berada di dalam bus merah dan dibalut dengan busana tebal, udara musim dingin masih saja mampu menyelinap masuk ke dalam bus. Ia menyandarkan tubuhnya sambil sesekali melirik jam  raksasa yang menjadi ikon kebanggan negaranya, Inggris—yang tepat berada di depan bus. Big ben menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Arnold terdiam melihat suasana hening di dalam bus yang dihuni sekitar lima belas orang saja. Semua orang berpakaian tebal seperti dirinya.
Bus berlari dengan kecapatan sedang memasuki jembatan yang membelah sungai Thamses. Lalu lintas di luar sana lumayan lengang. Arnold memperhatikan seorang gadis yang tidak dikenlanya sedang tertidur pulas disampingnya. Lalu Arnold membuang muka menatap sungai Thames yang mulai membeku memantulkan cahaya dari kelap-kelipnya lampu-lampu kota. Dia tersenyum. Ah... bukankah London itu kota terindah yang pernah ada? Kota ini benar-benar membuatku selalu tersenyum. Arnold bergumam dalam hati.
 Tiba-tiba saja gadis yang tertidur disamping Arnold terjaga. Nafasnya terengah-engah. Wajahnya pucat. Wajahnya pula penuh dengan bulir-bulir keringat yang bercucuran dari keningnya. Tiba-tiba saja gadis itu berdiri kemudian berteriak, “Hentikan bus ini! Selamatkan diri kalian!” Sontak orang-orang yang berada dalam bus melongok kearahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku penasaran sambil memebelalakkan mataku. Aku mengernyitkan keningku di hadapannya.
“Ada apa?” tanya seorang lelaki berjas rapi yang duduk di sebrangku.
“Hentikan! Bus ini akan meledak pada jam delapan tepat!” Gadis itu terengah-engah sambil wajahnya terus melukiskan kepanikan.  
“Hey hey. Kau tahu dari mana?” lelaki berjas itu bertanya lagi.
“Aku melihat dalam mimpiku. Itu terlihat nyata. Tolong percayalah padaku!” Gadis itu berusaha membuat orang-orang percaya padanya.
“Hey Nona! Bukankah Anda barusan sedang tidur? mungkin Anda mimpi buruk. Atau mungkin, Anda terobsesi pada film final destination?” timpal seorang pria bertubuh gemuk. Orang-orang menertawakan gadis itu.
Gadis itu kemudian berlari ke arah sang supir tanpa memperdulikan yang lain yang sedang menertawakan dirinya.  Gadis itu meminta untuk menghentikan busnya dan menyuruh untuk menyelamatkan diri masing-masing. Namun, dia gagal, tetap saja sang supir hanya menganggap sebagai lelucon saja. Memang ini terdengar tabu. Tapi, entah kenapa Arnold berfirasat buruk. Jantungnya berdebar hebat, “Aku rasa dia tidak bercanda.”
Orang-orang terdiam mendengar ucapan Arnold. Gadis itu kemudian melangkah perlahan menghampiri Arnold. “Terima kasih telah percaya...” Dia tersenyum, kemudian jatuh pingsan. Segera Arnold menompang tubuh gadis itu.
“Hey anak muda, mungkin saja dia mabuk!” kata pria bertubuh gemuk.
“Tidak! Aku berfirasat buruk. Apa kalian tidak pernah mendengar tentang indigo? Sebuah kemampuan yang tidak dimiliki banyak orang. Misalanya, mereka bisa melihat masa depan. Dan gadis ini baru saja melihat masa depan yang akan terjadi sebenetar lagi. Aku berfirasat begitu.”
“Itu hanya firasatmu. Aku tidak percaya itu!”
“Tidak! Kalian harus mempercayaiku. Tolong dengarkan aku! Pak supir tolong hentikan bus ini!” Arnold berteriak sekencang-kencangnya. Teriakan Arnold sontak membuat orang-orang bungkam. Mereka terdiam. Sang supir menepikan busnya di tengah jembatan. Arnold melirik kembali jam raksasa big ben. Jarum jam menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Arnold menghampiri sang supir. “Bus ini benar-benar akan meledak.”
“Omong kosong apa itu? Pak supir lanjutkan perjalanannya. Aku akan terlambat sampai rumah!” kata lelaki berjas.
“Anak muda. Maaf aku tidak percaya pada indigo atau semacamnya. Itu hanya lelucon yang diciptakan untuk menakuti orang-orang saja.” Sang supir menginjak pedal gas. Dia benar-benar tidak menghiraukan ucapan Arnold.
            “Tidak! Kita harus turun! Jika tidak, kita semua akan mati!” ujar Arnold menekan kalimatnya. Keringat mulai turun dari kening Arnold. Entah kenapa firasat Arnold begitu kuat kali ini. Jam sudah menunjukkan delapan kurang dua menit. Bus sudah melewati tiga perempat jembatan. “Baiklah jika kalian tidak percaya, turunkan aku sekarang juga!” Tiba-tiba saja api memercik dari bagian depan bus. Sang supir terkejut. Ia menginjak pedal rem ketika bus berhenti di ujung jembatan. Api menjalar kebagian sisi bus secepat kilat. Arnold kembali melirik jam. Sekitar satu menit lagi menuju pukul delapan. Arnold  membulatkan mata. Oh Tuhan...
 “Cepat turun! Selamatkan diri kalian!” kata sang supir berteriak kencang. Wajah orang-orang bertransformasi dengan cepat menunjukkan kepanikkan. Mereka berhamburan  keluar bus sambil berteriak histeris. Api sudah ada dimana-mana. Hawa dingin yang membekukkan persendian, telah kalah dengan kobaran api. Sekitar beberapa detik lagi menuju pukul delapan tepat.
Arnold melihat gadis indigo itu masih belum sadarkan diri. Tanpa basa-basi ia bopong tubuhnya menuju keluar bus dengan tergopoh-gopoh. Dada Arnold sesak, sulit bernafas. Asap sudah mengisi penuh paru-parunya. Tapi Arnold terus melangkah sambil membopong tubuh gadis itu untuk keluar dari bus. Sekitar tiga meter Arnold menjauh dari bus merah itu, bus itu meledak dengan hebatnya. Arnold terpental beberapa meter bersama gadis yang dibopongya. Beberapa orang menghampiri tubuh Arnold dan gadis itu. Arnold melirik jam big ben. Jarum jam berhenti tepat menunjukkan pukul delapan malam. Nafas Arnold tersenggal-senggal. Orang-orang berteriak kata oksigen berkali-kali. Pandangan Arnold kabur. Semuanya gelap seketika. Perlahan ia menutup matanya tepat pukul delapan malam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...