Dua puluh tahun yang lalu...
Raihan, anak laki-laki berusia delapan tahun itu diam
saja. Pipinya mengembung. Cemberut. Kedua tangannya ia lipat di bingkai jendela
yang terbuka. Bingkai jendela itu nampak sudah berlubang di setiap sudutnya.
Kayunya sudah rapuh dimakan rayap. Mata Raihan terus memandang lurus ke luar.
Ke arah lapangan kecil, di depan rumah biliknya.
Beberapa anak laki-laki seumurannya terlihat begitu
asyik bermain bola. Mengoper bola ke sana-ke mari. Raihan bukan tak suka
bermain bola. Semua anak laki-laki suka bermain bola. Termasuk dirinya. Lagi
pula, bermain bola adalah hal yang menyenangkan bagi anak-anak seusianya.
Raihan
sebenarnya ingin sekali bergabung. Namun, kehadiran Adit--teman sekelas
sekaligus tetangganya--di sana, seolah menjadi penghalang buatnya untuk ikut
bermain. Ah, bukan! Tapi Raihan terlalu benci pada Adit! Raihan terlalu marah
pada Adit!
Tiba-tiba, tetesan-tetesan air langit jatuh bersamaan.
Memebasahi semuanya. Hujan turun. Deras seketika. Tanpa ada gerimis terlebih
dahulu. Tapi, anak-anak yang tengah bermain bola itu, tak bergeming. Masih
asyik bermain bola. Lagi pula, bermain bola sambil diguyur hujan, kan lebih
menyenangkan.
"Kalau Raihan mau main, tidak apa-apa, kok. Main
saja."
Suara itu membuyarkan pikiran dan pandangan Raihan.
Sontak, dia menoleh ke arah sumber suara.
"Bunda...? Tidak, ah, Bunda. Raihan benci hujan,
Bunda!" Dengusnya. Bibirnya manyun.
"Eh, Raihan tidak boleh berbicara seperti itu.
Hujan itu anugerah dari Allah untuk kita, juga untuk makhluk hidup yang
lain."
"Sebenarnya..., bukan hujan yang Raihan benci,
Bunda. Tapi Adit! Habisnya..., Adit terus-terusan mengejek Raihan, Bunda!
Raihan, kan kesal! Raihan terus dikatai anak miskin!"
Sang ibu nampak
mengerutkan keningnya. Berpikir. Tak lama ia tersenyum sambil menghela nafas.
"Sekarang Bunda ingin bertanya sama Raihan.
Menurut Raihan, kenapa hujan turun?"
"Karena tadi mendung, Bunda. Apa lagi?"
Jawabnya polos.
"Memang benar. Tapi, ada sebuah nasihat ketika
hujan."
"Apa itu, Bunda?" Raihan membalikkan
badannya.
"Hujan turun karena ada permintaan bumi.
Bumi ingin menghapus semua kebencian
dan kemarahannya dengan kesejukan setiap
tetesan air hujan, Sayang." Kata sang ibu pada anaknya. Tangan kanannya
mengelus lembut puncak kepala anaknya.
"Kebencian dan kemarahan? Raihan tidak mengerti,
Bunda. Memangnya bumi bisa benci dan marah, ya?"
"Tentu bisa! Bumi ini juga punya kedua perasaan
itu. Tetapi, bumi ini punya cara sendiri untuk menghapus dan memaafkan segala
kebencian dan kemarahannya.
"Kalau Raihan marah, berwhudulah. Kalau Raihan
membenci orang pun Raihan harus berwhudu. Pokoknya, kalau Raihan sedang marah
atau benci pada siapa pun, Raihan harus berwhudu."
"Kenapa harus berwhudu, Bunda?"
"Karena hujan adalah cara bumi ini berwhudu.
Berwhudu artinya bersuci. Bumi ini juga sama, memiliki kebencian juga kemarahan
seperti kebencian dan kemarahannya Raihan pada Adit. Bumi ini tak mau menyimpan
perasaan itu lama-lama. Sehingga bumi ini harus segera berwhudu, menyucikan
dirinya. Bayangkan, jika hujan tak pernah turun. Berapa banyak kebencian-kebencian
dan kemarahan-kemarahan bumi yang menumpuk di muka bumi ini yang tak
terhapuskan?
"Raihan, dari sana kita juga belajar tentang
memaafkan. Dan cara bumi ini memaafkan kebencian dan kemarahannya adalah dengan
memberikan pelangi yang tersenyum setelah hujan.
"Karena itu, jika bumi ini saja bisa memaafkan.
Mengapa Raihan tidak? Balaslah air tuba dengan air susu. Maka, manisnya
kehidupan akan Raihan nikmati kelak. Jangan pedulikan apa kata Adit. Abaikan
saja. Jadilah manusia yang pemaaf, bukan pemarah."
Raihan tersenyum mengangguk. Sebenarnya dia tak
mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud ibunya itu. Yang ia mengerti hanya
tentang memaafkan. Dan ia harus memaafkan Adit. Orang yang begitu senang
mengejeknya miskin baik di sekolah
maupun di rumah.
"Oh, ya, Bunda, memangnya bumi marah dan benci
pada siapa sehingga dia harus berwhudu?"
Ibunya tersenyum sambil memandang Raihan penuh cinta.
Dia berkata, "Suatu hari Raihan pasti mengerti."
Pikiran nostalgia Raihan berhenti begitu saja. Hujan
turun dengan derasnya sedari tadi. Bumi sedang berwhudu. Derasnya hujan
mungkin hampir sama dengan derasnya emosi Raihan saat ini. Namun, nasihat
ibunya dulu ketika hujan turun, adalah yang paling sempurna melekat dalam
otaknya.
Segeralah Raihan berlalu ke kamar mandi, memutar knop
keran, lalu mengambil whudu. Benar saja. Rasa marah yang tadi meletup-letup di
dada karena pertengkaran Raihan dengan istrinya barusan, kini memudar. Bahkan
hampir hilang.
Raihan diam.
Dia mengangguk. Menyadari suatu hal. Mungkin hujan ingin memberitahu Raihan
agar segera menghilangkan kemarahannya itu. Karena pertengkaran dia dan
istrinya adalah sebuah kebencian dan kemarahan Sang Bumi.
Oh, Bunda, rupanya kemarahan dan kebencian bumi itu
adalah dosa-dosa yang diperbuat manusia...
Bogor, 14
Januari 2015
Cerpen yang keren 👍.
BalasHapusRingan tapi menginspirasi dan mengedukasi 😊
Semangat nulis terus ya 😍😘
terharu. makasih kak. aku butuh belajar banyak. termasuk dari dirimu, yang istiqamah one day one post.
Hapussukses juga buat kak deasy
Hapus