Langsung ke konten utama

FILOSOFI KETIKA HUJAN TURUN Oleh : Fitri Nurul Aulia



Dua puluh tahun yang lalu...
Raihan, anak laki-laki berusia delapan tahun itu diam saja. Pipinya mengembung. Cemberut. Kedua tangannya ia lipat di bingkai jendela yang terbuka. Bingkai jendela itu nampak sudah berlubang di setiap sudutnya. Kayunya sudah rapuh dimakan rayap. Mata Raihan terus memandang lurus ke luar. Ke arah lapangan kecil, di depan rumah biliknya.
Beberapa anak laki-laki seumurannya terlihat begitu asyik bermain bola. Mengoper bola ke sana-ke mari. Raihan bukan tak suka bermain bola. Semua anak laki-laki suka bermain bola. Termasuk dirinya. Lagi pula, bermain bola adalah hal yang menyenangkan bagi anak-anak seusianya.
 Raihan sebenarnya ingin sekali bergabung. Namun, kehadiran Adit--teman sekelas sekaligus tetangganya--di sana, seolah menjadi penghalang buatnya untuk ikut bermain. Ah, bukan! Tapi Raihan terlalu benci pada Adit! Raihan terlalu marah pada Adit!
Tiba-tiba, tetesan-tetesan air langit jatuh bersamaan. Memebasahi semuanya. Hujan turun. Deras seketika. Tanpa ada gerimis terlebih dahulu. Tapi, anak-anak yang tengah bermain bola itu, tak bergeming. Masih asyik bermain bola. Lagi pula, bermain bola sambil diguyur hujan, kan lebih menyenangkan.
"Kalau Raihan mau main, tidak apa-apa, kok. Main saja."
Suara itu membuyarkan pikiran dan pandangan Raihan. Sontak, dia menoleh ke arah sumber suara.
"Bunda...? Tidak, ah, Bunda. Raihan benci hujan, Bunda!" Dengusnya. Bibirnya manyun.
"Eh, Raihan tidak boleh berbicara seperti itu. Hujan itu anugerah dari Allah untuk kita, juga untuk makhluk hidup yang lain."
"Sebenarnya..., bukan hujan yang Raihan benci, Bunda. Tapi Adit! Habisnya..., Adit terus-terusan mengejek Raihan, Bunda! Raihan, kan kesal! Raihan terus dikatai anak miskin!"
 Sang ibu nampak mengerutkan keningnya. Berpikir. Tak lama ia tersenyum sambil menghela nafas.
"Sekarang Bunda ingin bertanya sama Raihan. Menurut Raihan, kenapa hujan turun?"
"Karena tadi mendung, Bunda. Apa lagi?" Jawabnya polos.
"Memang benar. Tapi, ada sebuah nasihat ketika hujan."
"Apa itu, Bunda?" Raihan membalikkan badannya.
"Hujan turun karena ada permintaan bumi. Bumi  ingin menghapus semua kebencian dan  kemarahannya dengan kesejukan setiap tetesan air hujan, Sayang." Kata sang ibu pada anaknya. Tangan kanannya mengelus lembut puncak kepala anaknya.
"Kebencian dan kemarahan? Raihan tidak mengerti, Bunda. Memangnya bumi bisa benci dan marah, ya?"
"Tentu bisa! Bumi ini juga punya kedua perasaan itu. Tetapi, bumi ini punya cara sendiri untuk menghapus dan memaafkan segala kebencian dan kemarahannya.
"Kalau Raihan marah, berwhudulah. Kalau Raihan membenci orang pun Raihan harus berwhudu. Pokoknya, kalau Raihan sedang marah atau benci pada siapa pun, Raihan harus berwhudu."
"Kenapa harus berwhudu, Bunda?"
"Karena hujan adalah cara bumi ini berwhudu. Berwhudu artinya bersuci. Bumi ini juga sama, memiliki kebencian juga kemarahan seperti kebencian dan kemarahannya Raihan pada Adit. Bumi ini tak mau menyimpan perasaan itu lama-lama. Sehingga bumi ini harus segera berwhudu, menyucikan dirinya. Bayangkan, jika hujan tak pernah turun. Berapa banyak kebencian-kebencian dan kemarahan-kemarahan bumi yang menumpuk di muka bumi ini yang tak terhapuskan?
"Raihan, dari sana kita juga belajar tentang memaafkan. Dan cara bumi ini memaafkan kebencian dan kemarahannya adalah dengan memberikan pelangi yang tersenyum setelah hujan.
"Karena itu, jika bumi ini saja bisa memaafkan. Mengapa Raihan tidak? Balaslah air tuba dengan air susu. Maka, manisnya kehidupan akan Raihan nikmati kelak. Jangan pedulikan apa kata Adit. Abaikan saja. Jadilah manusia yang pemaaf, bukan pemarah."
Raihan tersenyum mengangguk. Sebenarnya dia tak mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud ibunya itu. Yang ia mengerti hanya tentang memaafkan. Dan ia harus memaafkan Adit. Orang yang begitu senang mengejeknya miskin  baik di sekolah maupun di rumah.
"Oh, ya, Bunda, memangnya bumi marah dan benci pada siapa sehingga dia harus berwhudu?"
Ibunya tersenyum sambil memandang Raihan penuh cinta. Dia berkata, "Suatu hari Raihan pasti mengerti."
Pikiran nostalgia Raihan berhenti begitu saja. Hujan turun dengan derasnya sedari tadi. Bumi sedang berwhudu. Derasnya hujan mungkin hampir sama dengan derasnya emosi Raihan saat ini. Namun, nasihat ibunya dulu ketika hujan turun, adalah yang paling sempurna melekat dalam otaknya. 
Segeralah Raihan berlalu ke kamar mandi, memutar knop keran, lalu mengambil whudu. Benar saja. Rasa marah yang tadi meletup-letup di dada karena pertengkaran Raihan dengan istrinya barusan, kini memudar. Bahkan hampir hilang.
 Raihan diam. Dia mengangguk. Menyadari suatu hal. Mungkin hujan ingin memberitahu Raihan agar segera menghilangkan kemarahannya itu. Karena pertengkaran dia dan istrinya adalah sebuah kebencian dan kemarahan Sang Bumi.
Oh, Bunda, rupanya kemarahan dan kebencian bumi itu adalah dosa-dosa yang diperbuat manusia...
                                  

                                   Bogor, 14 Januari 2015

Komentar

  1. Cerpen yang keren 👍.
    Ringan tapi menginspirasi dan mengedukasi 😊

    Semangat nulis terus ya 😍😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. terharu. makasih kak. aku butuh belajar banyak. termasuk dari dirimu, yang istiqamah one day one post.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...