Langsung ke konten utama

Menjadi Manusia : Kita Sedang Tidak Baik-baik Saja



Rabu, 27 Mei 2020 kemarin adalah hari di mana akhirnya setelah kurang lebih tiga bulan diam di rumah saja, aku keluar rumah dengan jarak yang cukup jauh : Jakarta. Ada rapat penting yang harus dihadiri. Kalau boleh aku bilang, cukup darurat.

Saat tiba di stasiun, kutatap langit. Langit cerah biru. Awan menggantung menghias langit. Udara cukup baik. Bersih. Namun, suasana stasiun sepi. Ada tiga orang polisi yang berjaga di sana. Para petugas menggunakan face shield. Ada pengukuran suhu tubuh digital. Aku kembali menghampiri Commuter Vending Machine untuk mengisi ulang kartu KMT yang saldonya tinggal Rp3000 saja. Aku kembali melewati mesin tapping. Kulihat ada beberapa wastafel berjejer yang sebelumnya tidak ada samasekali, kecuali di toilet. Dan aku menyempatkan diri untuk mencuci tangan sebelum akhirnya melangkah menuju peron.  

Saat kereta melaju, perasaanku aneh. Gugup sekali. Laiknya baru pertama kali naik kereta. Pikiranku sibuk dengan dunianya. Tak terasa, mataku berkaca-kaca. Tidak pernah membayangkan sedetik pun bahwa kita akan hidup dengan kondisi seperti ini.

Kita sedang tidak baik-baik saja.

Sebelum mencapai stasiun, di angkot pikiranku merayap ke mana saja. Melompat ke sana ke mari. Yang aku tahu saat itu adalah kita sedang tidak baik-baik saja. Rasanya sedih sekali melihat para supir angkot ngetem, matanya awas ke kanan dan ke kiri, mencari-cari penumpang. Sayangnya, semua seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Setelah yang dicari belum juga nampak, mereka hanya bisa memeluk kemudi (saat itu aku membayangkan wajah bapak). Setoran tak dapat, tapi tetap harus isi bensin. Tekor! Lalu pedangan cilok sibuk mendentingkan suara botol sirup untuk memanggil para pembeli. Namun, yang dicari tak kunjung ada jua.  

Dua hal yang aku sebutkan barusan hanyalah sebuah gambaran kecil. Aku yang sedang mengetik ini dan mungkin kamu yang sedang membaca ini, juga sedang tidak baik-baik saja. Barangkali jika semua alasannya digambarkan dengan satu tetes air hujan, maka bumi ini sedang diguyur hujan deras. Setiap tetesnya adalah kesedihan, kehilangan, kekecewaan, kemarahan, kebingungan, kegundahan, yang mencoba ikhlas menerima takdir yang sulit untuk dilawan. Mereka jatuh begitu saja tanpa protes. Karena barangkali itu adalah satu-satunya jalan untuk melegakan hati yang terlanjur gulana. Bersedihlah dengan secukupnya. Kurasa  kata “sedih” itu sendiri pun tengah sedih sebab telah kehilangan pasangannya: kata “bahagia”. Saat ini mungkin Tuhan sedang mengambil sejenak kata bahagia dari kita. Agar kita tangguh. Agar kita tidak angkuh.

Kita sedang tidak baik-baik saja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...