Langsung ke konten utama

Menjadi Manusia : Kita Baik-baik Saja




“I lost my mom and my job, too. But, it’s okay.” Tukas Willy, teman lamaku saat kami mengobrol lewat whatsapp. Obrolan yang semula soal cinta dan mantan, akhirnya melebar kemana-mana. Kami berbagi cerita, berbagi saran dan nasihat tentang pernikahan yang padahal kami berdua masih jomblo. Menyenangkan sekali ketika kita bisa mengambil sesuatu dari perbincangan santai. Dan aku suka terlibat di dalamnya.

“Hope things get better. Karena kita semua sedang tidak baik-baik saja,” balasku dengan perasaan yang aneh. Aku tahu, temanku itu sedang tidak baik-baik saja. Dia sedang hancur.

“Iya, Gw mikir bukan cuma Gw yang lagi susah sekarang. Gw bersyukur masih ada rumah buat tidur.” Katanya lagi.

Aku bisa menangkap, tidak hanya sebuah rumah saja yang Willy syukuri, tetapi juga para sahabat yang juga selalu mengelilingi.

Saat itu, aku sadar. Saat segala hal sedang tidak baik-baik saja, ada hal-hal lain yang patut kita syukuri. Dan itu membuat kita baik-baik saja.

***

Esoknya matahari menggeliat di timur. Ia tak pernah alpa dari tugasnya. Kurekahkan mata. Mengerjap beberapa kali. Kutatap sekeliling kamar. Semua benda ada pada posisinya dengan warna yang beraneka. Kedua tanganku menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa masih kaku. Tubuhku bergerak seperti biasanya. Aku bernapas tanpa hambatan (tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan. Rasakanlah saat udara masuk dan keluar lewat hidungmu). Kaki-kakiku masih bisa melangkah keluar kamar. Kulihat Ibu, Bapak, dan dua adikku. Masih utuh.

Kututap sosok yang sedang berdiri di hadapan cermin. Ia memakai baju lengkap. Ia masih bisa melebarkan bibirnya, tersenyum. Ia masih bisa melihat jelas tanpa ada halangan. Ia masih bisa merasakan denyut jantung yang berdetak beraturan. Dan di hatinya, ia masih punya cinta.

Barangkali segala hal yang baru saja disebutkan adalah hal yang remeh. Hal yang kerap alpa kita sadari kehadirannya. Hingga karena terlalu abai, kita jadi lupa bagaimana caranya untuk mengapresiasinya. Seolah kehidupan kita masih serba kekurangan.

Saat itu, aku sadar bahwa semuanya baik-baik saja. Masih ada rumah untuk berlindung. Masih ada makanan yang masuk ke perut. Masih ada tenaga untuk berusaha. Kita masih punya segalanya. Meski itu sebuah sisa. Dan yang tersisa... adalah yang patut kita syukuri keberadaannya.

Semuanya akan baik-baik saja...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Mampir ke Rumah Orang Lain

Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?  Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.  Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan k...