Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 5)


 Sebuah Renungan Diri



Tentang Seorang Pengecut yang Bermimpi Besar

Suatu hari teman SMA bernama Fikriyyah pernah bilang sesuatu padaku, “Fitri, motivasinya luar biasa. Gak kendor-kendor. Gimana ya biar semangatnya kayak kamu?”

Waktu itu aku sedang semangat-semangatnya mendaftar beasiswa S1 ke Turki.

Ah, Fik...  

Lalu Seli, teman kuliahku pernah “cemburu” padaku sebab aku punya impian—yang bagiku itu—besar.

Ah, Sel...

Aku tidak sehebat itu. Aku payah. Yang ingin kukatakan adalah bahwa orang yang kalian puji itu tak ubahnya seorang pengecut. Orang yang kalian puji punya banyak sekali ketakutan dan keraguan di dalam dirinya. Segala impian itu seperti sebuah tirai untuk menutupi siapa diriku. Nyaliku kecil sekali untuk mengubah semua jadi nyata. Aku telah kalah sejak dulu. Dan sayangnya raga ini terlampau menikmatinya.  Mengkerdilkan diri sendiri dan meringkuk di zona nyaman. Disaat yang bersamaan, tangan ini tidak mau melepaskannya. Mimpi-mimpi itu masih dalam genggaman. Tidak ada bedanya dengan jalan di tempat bukan? Semuanya sekadar wacana saja.  

Surat dari Fila, teman sebangku waktu di SMA dulu seperti sebuah pembenaran bagiku. Dia bilang, “Kalau mau menyerah, coba lihat kebelakang seberapa jauh kamu telah melangkah.” Aku gagal mengartikannya. Berapa banyak peluang yang sengaja aku lewatkan dengan alasan “aku belum siap”, “aku harus belajar dulu”, “aku harus begini dulu”, “aku harus begitu dulu”. Omong kosong!  Aku terlampau malas untuk berlari hingga garis finish. Dengan sengaja aku membangun penjara di sekeliling, lalu menderita sendiri. Sungguh itu tidak nyaman. Kalau sedang sendirian di kamar, sambil menatap langit-langit, aku sering bertanya, “Ada apa? Kenapa? Kenapa susah sekali untuk bergerak?” Tidak akan seseorang sampai ke puncak gunung kalau terus menerus merasa takut dan menolak lelah. Aku sadar betul bahwa sampai kapan pun tidak akan pernah menggapai impian kalau begini terus. Aku seperti depresi berada di situasi seperti ini. Tidak punya jawaban. Lalu menangis dalam hening. Setelah puas, baru bisa tersenyum kembali. Hal itu tidak terjadi satu atau dua kali. Tapi berkali-kali.

Melayakkan Diri

Maka ketika dua buku anak solo pertama terbit, aku bahagia bukan main. Sampai sekarang masih tak menyangka bahwa itu semua nyata. Tapi kemudian, aku melontar tanya untuk diri, apakah sudah layak?  Apakah aku sudah pantas dengan semua ini?

Barangkali Allah bukan mengabulkan keinginanku, tapi keinginan Bapak dan Ibu. Lewat doa-doa selepas shalat dan di malam-malam panjang yang menyentuh pintu langit. Sering kulihat Ibu berdoa sebegitu khusyuknya. Untuk siapa lagi kalau bukan anak-anaknya.

Akhir-akhir ini baru kusadari. Ini titik baliknya. Ini waktunya untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku layak. Aku layak berdiri tegak.  Aku layak merobohkan rasa takutku. Aku layak bangun dari tidur panjangku. Aku layak melayakkan diri menggapai impian.

Bukankah Allah akan memberikan sesuatu itu ketika kita memang benar-benar layak mendapatkannya?  


Bogor, 14 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...