Tentang Seorang
Pengecut yang Bermimpi Besar
Suatu hari teman SMA bernama Fikriyyah pernah bilang sesuatu
padaku, “Fitri, motivasinya luar biasa. Gak kendor-kendor. Gimana ya biar
semangatnya kayak kamu?”
Waktu itu aku sedang semangat-semangatnya mendaftar beasiswa
S1 ke Turki.
Ah, Fik...
Lalu Seli, teman kuliahku pernah “cemburu” padaku sebab aku
punya impian—yang bagiku itu—besar.
Ah, Sel...
Aku tidak sehebat itu. Aku payah. Yang ingin kukatakan
adalah bahwa orang yang kalian puji itu tak ubahnya seorang pengecut. Orang
yang kalian puji punya banyak sekali ketakutan dan keraguan di dalam dirinya.
Segala impian itu seperti sebuah tirai untuk menutupi siapa diriku. Nyaliku
kecil sekali untuk mengubah semua jadi nyata. Aku telah kalah sejak dulu. Dan sayangnya
raga ini terlampau menikmatinya. Mengkerdilkan
diri sendiri dan meringkuk di zona nyaman. Disaat yang bersamaan, tangan ini
tidak mau melepaskannya. Mimpi-mimpi itu masih dalam genggaman. Tidak ada
bedanya dengan jalan di tempat bukan? Semuanya sekadar wacana saja.
Surat dari Fila, teman sebangku waktu di SMA dulu seperti
sebuah pembenaran bagiku. Dia bilang, “Kalau mau menyerah, coba lihat kebelakang
seberapa jauh kamu telah melangkah.” Aku gagal mengartikannya. Berapa banyak peluang
yang sengaja aku lewatkan dengan alasan “aku belum siap”, “aku harus belajar
dulu”, “aku harus begini dulu”, “aku harus begitu dulu”. Omong kosong! Aku terlampau malas untuk berlari hingga garis
finish. Dengan sengaja aku membangun penjara di sekeliling, lalu menderita
sendiri. Sungguh itu tidak nyaman. Kalau sedang sendirian di kamar, sambil
menatap langit-langit, aku sering bertanya, “Ada apa? Kenapa? Kenapa susah
sekali untuk bergerak?” Tidak akan seseorang sampai ke puncak gunung kalau
terus menerus merasa takut dan menolak lelah. Aku sadar betul bahwa sampai
kapan pun tidak akan pernah menggapai impian kalau begini terus. Aku seperti depresi
berada di situasi seperti ini. Tidak punya jawaban. Lalu menangis dalam hening.
Setelah puas, baru bisa tersenyum kembali. Hal itu tidak terjadi satu atau dua
kali. Tapi berkali-kali.
Melayakkan Diri
Maka ketika dua buku anak solo pertama terbit, aku bahagia
bukan main. Sampai sekarang masih tak menyangka bahwa itu semua nyata. Tapi kemudian,
aku melontar tanya untuk diri, apakah
sudah layak? Apakah aku sudah pantas dengan semua ini?
Barangkali Allah bukan mengabulkan keinginanku, tapi
keinginan Bapak dan Ibu. Lewat doa-doa selepas shalat dan di malam-malam
panjang yang menyentuh pintu langit. Sering kulihat Ibu berdoa sebegitu
khusyuknya. Untuk siapa lagi kalau bukan anak-anaknya.
Akhir-akhir ini baru kusadari. Ini titik baliknya. Ini waktunya
untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku layak. Aku layak berdiri
tegak. Aku layak merobohkan rasa
takutku. Aku layak bangun dari tidur panjangku. Aku layak melayakkan diri
menggapai impian.
Bukankah Allah akan memberikan sesuatu itu ketika kita memang
benar-benar layak mendapatkannya?
Bogor, 14 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar