Langsung ke konten utama

MY NAME IS MUHAMMAD Oleh : Fitri Nurul Aulia



Seperti biasa, setiap usai kuliah, aku selalu menyempatkan diri ke Red Square— yang merupakan alun-alun Kota Moskow, Rusia. Aku senang berkunjung ke sini untuk menikmati pesona Moskow yang disihir oleh sihir duniawi dan sihir keagungan Sang Maha Pencipta jagat raya. Sering kuabadikan momen-momen cantik dengan kamera digitalku, walau sudah berkali-kali kutampakkan ragaku di sini. Red square—yang didominasi oleh bangunan-bangunan berwarna merah bata, sering dijadikan tempat tongkrongan oleh pemuda-pemuda Moskow. Area ini juga, merupakan salah satu tempat yang wajib hukumnya ditelusuri oleh pelancong dari pelbagai negara. Walau aku bukan seorang pemudi asal Moskow, namun alun-alun ini juga sudah menjadi tempat  tongkronganku.
Sejauh mata memandang, mataku menangkap begitu banyak turis-turis yang berlalulalang disekitar alun-alun. Cuaca indah nan sejuk, dengan matahari musim semi yang menawan, menjadi salah satu faktor pendukung bagi turis-turis untuk menjamahi area Red Square. Apalagi dengan diiringi tiupan angin yang berhembus di langit Moskow yang menambah suasana menjadi syahdu.
Di area Red Square, banyak bangunan memesonakan mata yang kaya akan sejarah. Salah satunya Katedral Santo Basil. Dari alun-alun Moskow, kupapahkan kakiku dengan santai menuju Katredal itu. Letaknya ada di selatan alun-alun Moskow. Aku suka bentuk bangunan Katedral Santo Basil. Atap-atapnya dihiasi kubah-kubah warna-warni bercorak. Malah, ketika pertama kali aku melihat bangunan Katredal ini, aku seolah sedang melihat permen-permen warna-warni raksasa yang menjulang tinggi menantang langit. Setiap kali aku memandang Katedral Santos Basil, aku selalu teringat masjid yang sangat jarang  kutemui di kota besar ini—tapi justru banyak bertebaran di setiap sudut negaraku tercinta, Indonesia.
Kulangkahkan kakiku menuju side walk di pinggiran Katedral. Tiba-tiba saja aku mendengar suara lelaki yang memekik dari arah belakang kepadaku, “Hey! Wait! Tunggu!”
Cepat-cepat kutolehkan mukaku kearah belakang. Rupanya lelaki itu adalah seorang anak kecil yang berusaha menahan langkahku. Anak kecil berwajah tampan khas pemuda Rusia dan berambut pirang itu, mendekatiku dengan menyeret papan skate-nya sambil berkata, “Apakah ini punyamu?” Dia menyodorkan dompet berwarna hitam.
Aku merogoh tas selempangan coklatku untuk memastikan apakah dompetku ada di dalam tas atau tidak. Aku menghela nafas sambil mengusap dada. “Ah... Spasiba balshoi.[1]
Da,”[2] katanya singkat sambil tersenyum lucu.
Rupanya dompet hitamku terjatuh karena tidak kuresletingkan tas selempanganku. Syukurlah, dompet hitam yang berisi uang itu, masih rezekiku.
Vi Muslimah?[3] tanya anak lelaki itu. Matanya melirik singkat melihat hijab berwarna biru tua yang aku kenakan.
Da, Alhamdulillah,” kataku padanya.
“Oh... senang bertemu denganmu. Sepertinya kamu bukan warga asli sini. Wajahmu adalah wajah Asia. Apakah kau seorang imigran? Benarkah begitu?”
“Benar. Aku dari Asia, tepatnya Indonesia. Tapi, aku bukan seorang imigran. Aku seorang pelajar di sini.” Ujarku padanya.
 “Oh... aku kira kau seorang imigran. Maaf,” dia membulatkan mulutnya, “By the way, my name is Muhammad.” Dia memperkenalkan diri sambil menyeringai senang padaku.
Aku membulatkan mata seolah tak percaya, sambil berujar, “Really? My name is  Zahra.” Aku sangat senang ketika bertemu dengan saudara seimanku di negeri minoritas muslim. Bagiku, itu merupakan fenomenan yang indah, juga kebahagiaan tersendiri dari Allah. Tapi, ada yang mengganjal dalam benakku. Kupandangi lekat-lekat wajah anak kecil itu. Aku merasa pernah melihatnya dua hari yang lalu keluar dari Gereja St. Mitrofanyi di Distrik Savloyovski.
“Indah bukan namaku?” Dia melontarkan pertanyaan padaku dengan penuh  kebanggaan.
“Sangat indah! Tapi... emmm, kalau tidak salah, aku pernah melihatmu keluar dari Gereja St. Mitrofanyi. Apa yang kau lakukan disana?” Tanyaku dengan mata penuh selidik pada Muhammad.
“Tentu saja untuk beribadah disana. Kebetulan, sekolahku tak jauh dari geraja itu.” Muhammad mengibaskan rambut pirangnya, ketika angin kecil usil mengusik tatanan rambutnya yang rapi.
Aku tertohok bukan main. Namanya Muhammad tapi dia seorang Kristen. Bagaimana mungkin? Kuberanikan diri untuk bertanya lebih jauh padanya. “Eh... kau seorang Kristen? Lalu, kenapa namamu Muhammad?”
“Sudah kuduga, kau pasti akan terkejut. Nama Muhammad sangat indentik dengan Islam. Nama Muhammad adalah pemberian dari mendiang kakekku. dikeluargaku ada tradisi dimana jika salah satu anggota keluarga yang hendak melahirkan, maka anggota keluarga yang lain menyumbang satu nama yang ditulis di kertas yang dimasukkan kedalam gelas, lalu dikocok sampai satu kertas keluar. Dan saat aku terlahir, nama Muhammad pemberian kakekku-lah yang keluar. Aku tahu nama Muhammad sangat populer dikalangan umat Islam sepertimu, Zahra.” Muhammad bercerita panjang lebar. Wajahnya menampakkan kebahagiaan yang nyata.
“Kalau begitu, kakekmu seorang muslim?”
“Ya, benar. Tapi Nenek adalah seorang Kristen. Aku senang Kakek memberi namaku Muhammad. Jujur saja, ada saja yang mencemoohku di sekolah karena namaku Muhammad. Katanya aku seorang teroris. Tapi tak pernah kuhiraukan ucapan mereka. Mereka tidak tahu hal sesungguhnya. Dan aku bangga dengan namaku.” Wajah Muhammad berseri-seri. Kata-kata yang diucapkannya, mengalir begitu saja tanpa beban dari bibir merahnya.
Dalam hati aku bertasbih berkali-kali memuji nama Allah. Aku tersanjung. Sungguh. Pertama kali aku dengar seorang Kristen yang bernama Muhammad. Aku hampir menitikan air mata. Namun, angin musim semi bertitah padaku untuk menahan air mataku supaya tidak tumpah. Aku menyunggingkan senyuman kecil. “Ngomong-ngomong, usiamu berapa, Muhammad?”
“Aku sepuluh tahun. Saat ulang tahunku yang kelima, tepat dimana aku mulai bisa membaca buku, Kakek memberiku sebuah buku biografi Muhammad, orang pertama yang bernama Muhammad. Muhammad adalah seorang Nabi. Dan yang paling aku banggakan, ternyata banyak yang menulis biografinya Muhammad diseluruh dunia ini. itu berarti namaku juga terkenal.” Dia tersenyum lebar memamerkan susunan gigi serinya yang putih bersih.
            Dengan setia aku dengarkan kata-kata Muhammad yang membuatku kagum dan tak kusangka-sangka. Aku dan Muhammad berjalan berdampingan menuju side walk sebelah barat Katedral. Kami melihat banyak mobil dan bus yang terparkir di sebelah sana. Kami juga melihat beberapa mobil yang didominasi warna hitam, terparkir rapi  di sebelah selatan Katedral. Pasti semua kendaraan itu milik orang-orang yang sedang berkunjung ke Katedral Santo Basil. Ah... memang betul. Katedral Santo Basil sudah menjadi magnet yang kuat di bumi Moskow, Rusia. Apalagi gereja ini sudah dinobatkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.
            “Bagiku, dia, Nabi Muhammad adalah seorang lelaki yang agung. Dia sangat mencintai fakir miskin. Dia sangat ramah pada semua orang. Dia sangat tekun beribadah. Dia yang mengajari agar selalu menghormati orang tua. Dia yang mengajari agar selalu menyayangi yang lemah. Dia yang mengajari agar tidak mengatakan kebohongan. Dia yang menegakkan keadilan. Oleh karena itu, aku ingin memiliki sifat sepertinya. Mudah-mudahan, akhlak agungnya tertular padaku.” Muhammad bercerita sangat antusias sambil sesekali membenarkan jaket hitam yang dikenakannya.
            “Benar sekali, Muhammad.” Aku menahan haru, kemudian mengucapkan kata Aamiin dalam hati.
            “Dan yang terhebat, walau Nabi Muhammad seorang muslim, tapi dia tetap mengasihi orang-orang non-Muslim. Aku pernah membaca kisah Nabi Muhammad dan pengemis Yahudi buta yang selalu mencaci maki Nabi Muhammad, memfitnah, dan mengolok-olok dirinya setiap harinya. Namun, setiap pagi Nabi Muhammad  mendatangi dirinya sambil membawakan makanan, kemudian menyuapi pengemis itu tanpa berbicara sedikit pun pada pengemis Yahudi itu. Kau tahu? Aku benar-benar terpesona dengan keindahan akhlaknya yang begitu mulia.” Muhammad mengacungkan jempol kanannya ke langit, memuji akhlak Rasulullah.
            “Aku sulit berkata-kata, Muhammad. Aku sangat terharu mendengar pujian untuk Nabi Muhammad dari mulut seorang Kristen.” Dari bingkai mataku, setetes bulir bening terjun bebas.
            Langkah kaki kami terhenti di jalan Krasnaya Ploshad. Tak terasa kami sudah mengitari penuh kawasan Katedral Santo Basil yang berbentuk seperemepat lingkaran. Angin kembali berhembus, mengusap pepohonan di sekitar Katedral. Aku merapatkan sweater hitamku. Aku menolehkan mukaku ke arah Muhammad. Rupanya dia masih ingin bercerita.
“Tapi ada saja yang bilang kalau Nabi Muhammad itu adalah orang yang suka berpoligami.”
“Kau tahu tentang poligami?” tanyaku sambil nyengir.
Muhammad terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tak merasa gatal, lalu berkata, “Ya, walaupun aku baru berusia sepuluh tahun, tapi aku tahu tentang itu. Aku ,kan membaca semua tentang Nabi Muhammad juga sedikit tentang poligami. Dan ternyata, banyak syarat yang harus dipenuhi ketika seorang lelaki ingin berpoligami. Sungguh, aku tak akan sanggup melakukan syarat-syaratnya itu. Tak bisa kubayangkan, Nabi Muhammad bisa berbuat seadil-adilnya kepada isteri-isterinya. Sungguh sangat keren!” Mata Muhammad berbinar.
Aku mengangkat kedua sudut bibirku, tersenyum. Aku jadi berpikir, sebenarnya aku berbicara dengan seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun, atau dengan lelaki dewasa seusiaku? Kalimat-kalimat yang diucapkan Muhammad sungguh terdengar sangat dewasa, jauh dari usianya. Aku hanya terpaku diam. Entah harus berkata apa. Ada kekaguman yang membumbung tinggi dalam jiwa seorang pemeluk Kristen pada manusia agung Muhammad SAW.  Relung hatiku menggetarkan kalimat shalawat.
Aku pun sudah baca bahwa Nabi Muhammad itu adalah sosok manusia yang terpenting dalam kehidupan umat Islam. Kalau tidak salah, namanya ada di dalam kalimat syahadat.”
Aku mengangguk, membenarkan pernyataan Muhammad.
“Kalau tidak salah begini kalimatnya, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-na Muhammadarrasulullah.” Muhammad menghela nafas panjang. Ia menutup matanya seolah sedang merasakan kedamaian batin dalam ruang hatinya.
Aku tertohok seketika. Kalimat syahadat itu meluncur dengan mulus tanpa terbata-bata dikumandangkan oleh Muhammad. Aku berani bersumpah atas nama Allah Yang Maha Kuasa. Suasana tentram menyergap seketika seusai Muhammad menggetarkan kalimat syahadat. Angin musim semi membelai tubuhku dengan lembut. Moskow seolah meminta Muhammad untuk sekali lagi mengucapkan kalimat syahadat itu. Aku meneteskan air mata. Kali ini, angin musim semi tak bisa lagi menahan air mataku. Pesona Moskow yang selama ini selalu aku puji, terkalahkan sudah oleh kalimat syahadat yang digetarkan lewat bibir mungil merah Muhammad. Terlalu indah. Sungguh. Aku tahu, syahadat yang diucapkan oleh Muhammad bukanlah suatu pernyataan bahwa dia memeluk Islam. Dia hanya ingin memberi tahu bahwa ada nama Allah dan Muhammad, rahmat untuk seluruh alam, disetiap jiwa orang-orang Islam.
Tiba-tiba saja suara handphone terdengar memekik keras dari dalam saku celana jeans Muhammad. Tanpa basa-basi Muhammad segera menjawab panggilan telpon. “Ya, Ma?”
Rupanya mamanya menelpon. Kuberikan kesempatan pada Muhammad untuk berbicara dengan mamanya. Satu menit berlalu, Muhammad menyudahi pembicaraannya.  
“Maaf, Zahra, Mama memintaku untuk segera pulang.”
“Oh, tentu. Kau bisa pergi sekarang. Aku bukan seorang polisi yang sedang menilangmu, jadi aku takkan menahanmu.” Aku menggoda Muhammad dengan lelucon renyah.
Muhammad terkekeh, kemudian dia mengambil ancang-ancang untuk meluncur menggunakan papan skate-nya. “Aku tinggal di City Reality Moscow Apartements, di jalan Devyatkin. Kapan-kapan, datanglah ke apartemenku. Kau tahu, kan?”
Aku mengangguk. “Dengan senang hati, Muhammad. Insya Allah, kapan-kapan aku akan mampir ke apartemenmu,” kataku sambil membenarkan posisi tas selempanganku.
“Kalau begitu aku pergi dulu. Da svidaniya, Zahra!” [4] Muhammad melambiakan tangannya ke arahku. Dia meluncur lihai dengan papan skate-nya, berlalu meninggalkanku yang mematung anggun. Muhammad memilih jalan llyinka yang berada di antara Red Square dan Katedral Santo Basil. Aku terhenyak diam menatap tubuh Muhammad yang semakin lama menghilang dari pandanganku.
            Kalimat syahadat yang diucapkan Muhammad terngiang di kedua telingaku, membuatku bergidig dahsyat. Pancaran hangat sang penguasa siang yang tepat di atas langit Moskow, membalut seluruh tubuhku yang juga dipadu dengan semilir angin musim semi, yang terus menerus berhembus mesra. Aku diam menatap langit Moskow yang membiru laut. Cerah.
Moskow ingin bercerita, bahwa setiap sudut dunia ada cahaya kasihNya dan ada keagunganNya yang Dia selipkan dalam untaian perjalanan hidup yang agung. Ada setitik cahaya cinta yang dipancarkanNya, sekalipun di negeri minoritas yang justru sangat menggugah jiwa. Angin musim semi berhembus kencang, sehingga melambai-lambaikan hijab panjangku. Aku memejamkan mata. Ya Allah... semoga Engkau menyinari hati Muhammad dengan cahaya mesra yang selalu kau pancarkan pada setiap orang yang bertaqwa...
Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa muhammad. Wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammad.



[1] Terima kasih
[2] Ya
[3] Anda Muslim?
[4] Sampai jumpa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...