Seperti biasa, setiap usai kuliah, aku
selalu menyempatkan diri ke Red Square— yang merupakan alun-alun Kota Moskow,
Rusia. Aku senang berkunjung ke sini untuk menikmati pesona Moskow yang disihir
oleh sihir duniawi dan sihir keagungan Sang Maha Pencipta jagat raya. Sering kuabadikan
momen-momen cantik dengan kamera digitalku, walau sudah berkali-kali kutampakkan
ragaku di sini. Red square—yang didominasi oleh bangunan-bangunan berwarna
merah bata, sering dijadikan tempat tongkrongan oleh pemuda-pemuda Moskow. Area
ini juga, merupakan salah satu tempat yang wajib hukumnya ditelusuri oleh
pelancong dari pelbagai negara. Walau aku bukan seorang pemudi asal Moskow,
namun alun-alun ini juga sudah menjadi tempat tongkronganku.
Sejauh mata memandang,
mataku menangkap begitu banyak turis-turis yang berlalulalang disekitar
alun-alun. Cuaca indah nan sejuk, dengan matahari musim semi yang menawan,
menjadi salah satu faktor pendukung bagi turis-turis untuk menjamahi area Red
Square. Apalagi dengan diiringi tiupan angin yang berhembus di langit Moskow
yang menambah suasana menjadi syahdu.
Di area Red Square, banyak bangunan memesonakan
mata yang kaya akan sejarah. Salah satunya Katedral
Santo Basil. Dari alun-alun Moskow, kupapahkan kakiku dengan santai menuju
Katredal itu. Letaknya ada di selatan alun-alun Moskow. Aku suka bentuk
bangunan Katedral Santo Basil. Atap-atapnya dihiasi kubah-kubah warna-warni
bercorak. Malah, ketika pertama kali aku melihat bangunan Katredal ini, aku
seolah sedang melihat permen-permen warna-warni raksasa yang menjulang tinggi
menantang langit. Setiap kali aku memandang Katedral Santos Basil, aku selalu
teringat masjid yang sangat jarang kutemui
di kota besar ini—tapi justru banyak bertebaran di setiap sudut negaraku
tercinta, Indonesia.
Kulangkahkan kakiku menuju side walk di pinggiran Katedral. Tiba-tiba
saja aku mendengar suara lelaki yang memekik dari arah belakang kepadaku, “Hey! Wait! Tunggu!”
Cepat-cepat kutolehkan mukaku kearah
belakang. Rupanya lelaki itu adalah seorang anak kecil yang berusaha menahan
langkahku. Anak kecil berwajah tampan khas pemuda Rusia dan berambut pirang itu,
mendekatiku dengan menyeret papan skate-nya
sambil berkata, “Apakah ini punyamu?” Dia menyodorkan dompet berwarna hitam.
Aku merogoh tas selempangan coklatku
untuk memastikan apakah dompetku ada di dalam tas atau tidak. Aku menghela
nafas sambil mengusap dada. “Ah... Spasiba
balshoi.”[1]
“Da,”[2] katanya singkat sambil
tersenyum lucu.
Rupanya dompet hitamku terjatuh karena
tidak kuresletingkan tas selempanganku. Syukurlah, dompet hitam yang berisi
uang itu, masih rezekiku.
“Vi
Muslimah?”[3]
tanya anak lelaki itu. Matanya melirik singkat melihat hijab berwarna biru tua
yang aku kenakan.
“Da,
Alhamdulillah,” kataku padanya.
“Oh... senang bertemu denganmu. Sepertinya
kamu bukan warga asli sini. Wajahmu adalah wajah Asia. Apakah kau seorang
imigran? Benarkah begitu?”
“Benar. Aku dari Asia, tepatnya
Indonesia. Tapi, aku bukan seorang imigran. Aku seorang pelajar di sini.”
Ujarku padanya.
“Oh... aku kira kau seorang imigran. Maaf,”
dia membulatkan mulutnya, “By the way,
my name is Muhammad.” Dia
memperkenalkan diri sambil menyeringai senang padaku.
Aku membulatkan mata seolah tak
percaya, sambil berujar, “Really? My name is Zahra.” Aku sangat senang ketika bertemu
dengan saudara seimanku di negeri minoritas muslim. Bagiku, itu merupakan
fenomenan yang indah, juga kebahagiaan tersendiri dari Allah. Tapi, ada yang
mengganjal dalam benakku. Kupandangi lekat-lekat wajah anak kecil itu. Aku
merasa pernah melihatnya dua hari yang lalu keluar dari Gereja St. Mitrofanyi
di Distrik Savloyovski.
“Indah bukan namaku?” Dia melontarkan
pertanyaan padaku dengan penuh kebanggaan.
“Sangat indah! Tapi... emmm, kalau
tidak salah, aku pernah melihatmu keluar dari Gereja St. Mitrofanyi. Apa yang
kau lakukan disana?” Tanyaku dengan mata penuh selidik pada Muhammad.
“Tentu saja untuk beribadah disana.
Kebetulan, sekolahku tak jauh dari geraja itu.” Muhammad mengibaskan rambut
pirangnya, ketika angin kecil usil mengusik tatanan rambutnya yang rapi.
Aku tertohok bukan main. Namanya Muhammad
tapi dia seorang Kristen. Bagaimana mungkin? Kuberanikan diri untuk bertanya
lebih jauh padanya. “Eh... kau seorang Kristen? Lalu, kenapa namamu Muhammad?”
“Sudah kuduga, kau pasti akan
terkejut. Nama Muhammad sangat indentik dengan Islam. Nama Muhammad adalah
pemberian dari mendiang kakekku. dikeluargaku ada tradisi dimana jika salah
satu anggota keluarga yang hendak melahirkan, maka anggota keluarga yang lain
menyumbang satu nama yang ditulis di kertas yang dimasukkan kedalam gelas, lalu
dikocok sampai satu kertas keluar. Dan saat aku terlahir, nama Muhammad
pemberian kakekku-lah yang keluar. Aku tahu nama Muhammad sangat populer
dikalangan umat Islam sepertimu, Zahra.” Muhammad bercerita panjang lebar. Wajahnya
menampakkan kebahagiaan yang nyata.
“Kalau begitu, kakekmu seorang
muslim?”
“Ya, benar. Tapi Nenek adalah seorang
Kristen. Aku senang Kakek memberi namaku Muhammad. Jujur saja, ada saja yang
mencemoohku di sekolah karena namaku Muhammad. Katanya aku seorang teroris. Tapi
tak pernah kuhiraukan ucapan mereka. Mereka tidak tahu hal sesungguhnya. Dan aku
bangga dengan namaku.” Wajah Muhammad berseri-seri. Kata-kata yang diucapkannya,
mengalir begitu saja tanpa beban dari bibir merahnya.
Dalam hati aku bertasbih berkali-kali
memuji nama Allah. Aku tersanjung. Sungguh. Pertama kali aku dengar seorang Kristen
yang bernama Muhammad. Aku hampir menitikan air mata. Namun, angin musim semi
bertitah padaku untuk menahan air mataku supaya tidak tumpah. Aku
menyunggingkan senyuman kecil. “Ngomong-ngomong, usiamu berapa, Muhammad?”
“Aku sepuluh tahun. Saat ulang tahunku
yang kelima, tepat dimana aku mulai bisa membaca buku, Kakek memberiku sebuah
buku biografi Muhammad, orang pertama yang bernama Muhammad. Muhammad adalah
seorang Nabi. Dan yang paling aku banggakan, ternyata banyak yang menulis biografinya
Muhammad diseluruh dunia ini. itu berarti namaku juga terkenal.” Dia tersenyum
lebar memamerkan susunan gigi serinya yang putih bersih.
Dengan
setia aku dengarkan kata-kata Muhammad yang membuatku kagum dan tak
kusangka-sangka. Aku dan Muhammad berjalan berdampingan menuju side walk sebelah barat Katedral. Kami
melihat banyak mobil dan bus yang terparkir di sebelah sana. Kami juga melihat
beberapa mobil yang didominasi warna hitam, terparkir rapi di sebelah selatan Katedral. Pasti semua kendaraan
itu milik orang-orang yang sedang berkunjung ke Katedral Santo Basil. Ah...
memang betul. Katedral Santo Basil sudah menjadi magnet yang kuat di bumi
Moskow, Rusia. Apalagi gereja ini sudah dinobatkan sebagai situs warisan dunia
oleh UNESCO.
“Bagiku,
dia, Nabi Muhammad adalah seorang lelaki yang agung. Dia sangat mencintai fakir
miskin. Dia sangat ramah pada semua orang. Dia sangat tekun beribadah. Dia yang
mengajari agar selalu menghormati orang tua. Dia yang mengajari agar selalu
menyayangi yang lemah. Dia yang mengajari agar tidak mengatakan kebohongan. Dia
yang menegakkan keadilan. Oleh karena itu, aku ingin memiliki sifat sepertinya.
Mudah-mudahan, akhlak agungnya tertular padaku.” Muhammad bercerita sangat
antusias sambil sesekali membenarkan jaket hitam yang dikenakannya.
“Benar
sekali, Muhammad.” Aku menahan haru, kemudian mengucapkan kata Aamiin dalam hati.
“Dan
yang terhebat, walau Nabi Muhammad seorang muslim, tapi dia tetap mengasihi
orang-orang non-Muslim. Aku pernah membaca kisah Nabi Muhammad dan
pengemis Yahudi buta yang selalu mencaci maki Nabi Muhammad, memfitnah, dan mengolok-olok dirinya setiap harinya. Namun, setiap pagi
Nabi Muhammad mendatangi dirinya sambil membawakan makanan,
kemudian menyuapi pengemis itu tanpa berbicara sedikit pun pada pengemis Yahudi itu. Kau tahu? Aku benar-benar terpesona dengan keindahan akhlaknya yang begitu
mulia.” Muhammad mengacungkan jempol kanannya ke langit, memuji akhlak
Rasulullah.
“Aku sulit berkata-kata,
Muhammad. Aku sangat terharu mendengar pujian untuk Nabi Muhammad dari mulut
seorang Kristen.” Dari bingkai mataku, setetes bulir bening terjun bebas.
Langkah kaki kami terhenti
di jalan Krasnaya Ploshad. Tak terasa kami sudah mengitari penuh kawasan
Katedral Santo Basil yang berbentuk seperemepat lingkaran. Angin kembali
berhembus, mengusap pepohonan di sekitar Katedral. Aku merapatkan sweater hitamku. Aku menolehkan mukaku
ke arah Muhammad. Rupanya dia masih ingin bercerita.
“Tapi ada saja yang bilang kalau Nabi Muhammad itu
adalah orang yang suka berpoligami.”
“Kau tahu tentang poligami?” tanyaku sambil
nyengir.
Muhammad terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang
tak merasa gatal, lalu berkata, “Ya, walaupun aku baru berusia sepuluh tahun,
tapi aku tahu tentang itu. Aku ,kan membaca semua tentang Nabi Muhammad juga
sedikit tentang poligami. Dan ternyata, banyak syarat yang harus dipenuhi
ketika seorang lelaki ingin berpoligami. Sungguh, aku tak akan sanggup
melakukan syarat-syaratnya itu. Tak bisa kubayangkan, Nabi Muhammad bisa
berbuat seadil-adilnya kepada isteri-isterinya. Sungguh sangat keren!” Mata
Muhammad berbinar.
Aku mengangkat kedua sudut bibirku, tersenyum. Aku
jadi berpikir, sebenarnya aku berbicara dengan seorang anak lelaki berusia
sepuluh tahun, atau dengan lelaki dewasa seusiaku? Kalimat-kalimat yang
diucapkan Muhammad sungguh terdengar sangat dewasa, jauh dari usianya. Aku hanya
terpaku diam. Entah harus berkata apa. Ada kekaguman yang membumbung tinggi
dalam jiwa seorang pemeluk Kristen pada manusia agung Muhammad SAW. Relung hatiku menggetarkan kalimat shalawat.
“Aku pun sudah baca
bahwa Nabi Muhammad itu adalah sosok manusia yang terpenting dalam kehidupan
umat Islam. Kalau tidak salah, namanya ada di dalam kalimat syahadat.”
Aku mengangguk, membenarkan pernyataan
Muhammad.
“Kalau tidak salah begini kalimatnya, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu
an-na Muhammadarrasulullah.” Muhammad menghela nafas panjang. Ia menutup
matanya seolah sedang merasakan kedamaian batin dalam ruang hatinya.
Aku tertohok seketika. Kalimat syahadat itu
meluncur dengan mulus tanpa terbata-bata dikumandangkan oleh Muhammad. Aku
berani bersumpah atas nama Allah Yang Maha Kuasa. Suasana tentram menyergap seketika
seusai Muhammad menggetarkan kalimat syahadat. Angin musim semi membelai
tubuhku dengan lembut. Moskow seolah meminta Muhammad untuk sekali lagi
mengucapkan kalimat syahadat itu. Aku meneteskan air mata. Kali ini, angin
musim semi tak bisa lagi menahan air mataku. Pesona Moskow yang selama ini
selalu aku puji, terkalahkan sudah oleh kalimat syahadat yang digetarkan lewat
bibir mungil merah Muhammad. Terlalu indah. Sungguh. Aku tahu, syahadat yang
diucapkan oleh Muhammad bukanlah suatu pernyataan bahwa dia memeluk Islam. Dia
hanya ingin memberi tahu bahwa ada nama Allah dan Muhammad, rahmat untuk
seluruh alam, disetiap jiwa orang-orang Islam.
Tiba-tiba saja suara handphone terdengar memekik keras dari dalam saku celana jeans Muhammad. Tanpa basa-basi Muhammad
segera menjawab panggilan telpon. “Ya, Ma?”
Rupanya mamanya menelpon. Kuberikan kesempatan
pada Muhammad untuk berbicara dengan mamanya. Satu menit berlalu, Muhammad
menyudahi pembicaraannya.
“Maaf, Zahra, Mama memintaku untuk segera pulang.”
“Oh, tentu. Kau bisa pergi sekarang. Aku bukan seorang
polisi yang sedang menilangmu, jadi aku takkan menahanmu.” Aku menggoda
Muhammad dengan lelucon renyah.
Muhammad terkekeh, kemudian dia mengambil
ancang-ancang untuk meluncur menggunakan papan skate-nya. “Aku tinggal di City Reality Moscow Apartements, di
jalan Devyatkin. Kapan-kapan, datanglah ke apartemenku. Kau tahu, kan?”
Aku mengangguk. “Dengan senang hati, Muhammad. Insya Allah, kapan-kapan aku akan mampir
ke apartemenmu,” kataku sambil membenarkan posisi tas selempanganku.
“Kalau begitu aku pergi dulu. Da svidaniya, Zahra!” [4]
Muhammad melambiakan tangannya ke arahku. Dia meluncur lihai dengan papan skate-nya, berlalu meninggalkanku yang mematung
anggun. Muhammad memilih jalan llyinka yang berada di antara Red Square dan
Katedral Santo Basil. Aku terhenyak diam menatap tubuh Muhammad yang semakin
lama menghilang dari pandanganku.
Kalimat
syahadat yang diucapkan Muhammad terngiang di kedua telingaku, membuatku
bergidig dahsyat. Pancaran hangat sang penguasa siang yang tepat di atas langit
Moskow, membalut seluruh tubuhku yang juga dipadu dengan semilir angin musim
semi, yang terus menerus berhembus mesra. Aku diam menatap langit Moskow yang membiru
laut. Cerah.
Moskow ingin bercerita, bahwa setiap sudut dunia
ada cahaya kasihNya dan ada keagunganNya yang Dia selipkan dalam untaian
perjalanan hidup yang agung. Ada setitik cahaya cinta yang dipancarkanNya,
sekalipun di negeri minoritas yang justru sangat menggugah jiwa. Angin musim
semi berhembus kencang, sehingga melambai-lambaikan hijab panjangku. Aku
memejamkan mata. Ya Allah... semoga
Engkau menyinari hati Muhammad dengan cahaya mesra yang selalu kau pancarkan
pada setiap orang yang bertaqwa...
Allaahumma shalli ‘alaa
sayyidinaa muhammad. Wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammad.
Komentar
Posting Komentar