Langsung ke konten utama

Sebab seumur hidup adalah waktu yang lama

Aku pikir sudah menyiapkan dengan baik dan cukup, ternyata belum. Maka, satu hari, satu jam, atau satu menit adalah waktu yang lama untuk sebuah ketidaknyamanannya. 

Kira-kira itulah pelajaran yang bisa aku ambil saat tidur di tenda sendirian dengan alas tidur berupa karpet yoga, bantalan kepala topi kupluk, dan penghangat badan berupa jaket tebal. Awalnya aku mau bawa bantal kecil untuk tidur, tetapi urung. Ku pikir hanya semalam dan barang bawaan sudah cukup. Nyatanya aku tidak bisa tidur dengan baik. Selain karena kondisi di atas, beberapa kali aku mendengar suara langkah kaki di luar tenda. Kadang-kadang aku merasakan ada seseorang yang sedang menyentuh tendaku. Berupaya untuk tetap positif ternyata menantang sekali ketika berada di posisi itu. Dalam hati terus bergumam bawa semua akan berlalu, sebentar lagi lagi dan bla bla bla. Dan ternyata jaket panjang yang kata Mamaku berbahan karpet ini, belum cukup menghalau dingin. Padahal celana sudah double, kaos kaki pun sudah double. 


Beruntung semuanya baik-baik saja sehingga pagi. Meski aku masih butuh tidur (karena tidur tak nyenyak). Tetapi pelajaran berharga bisa aku kemas untuk dibawa pulang. 


Situasi yang aku alami kurang lebih cukup menjawab sebuah pertanyaan yang sekitar beberapa hari lalu dilayangkan kepadaku oleh seorang kawan yang nun jauh di sana: are you afraid of marriage? 

Jawabannya adalah iya. Aku takut jika hidup dengan orang yang salah ketika memutuskan terburu-buru. Sebab seumur hidup adalah waktu yang lama jika hidup dengan orang yang salah. Untuk hal yang aku anggap sepele saja (camping), kenyataannya masih kurang persiapannya, apalagi hal besar, serius, dan sakral seperti pernikahan? Persiapannya tak seperti pergi camping satu malam. Butuh ilmu dan mental yang cukup. Butuh perbaikan diri sendiri sehingga kelak aku bisa menjadi rumah yang nyaman untuk pasanganku pulang. Iya, aku setuju bahwasanya tidak ada yang sempurna. Namun, persiapan yang baik adalah kewajiban. 


Jadi, selamat bertumbuh dan utuh seluruh 🌱

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Mampir ke Rumah Orang Lain

Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?  Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.  Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan k...