Langsung ke konten utama

Pikiran: Kalimat Kuno yang Masih Harus Kita Percaya

 "Alah bisa karena biasa."

Saat pertama kali mendengar sebuah kalimat pribahasa tersebut, aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah pribahasa dengan makna yang sulit untuk dibantah. Sesuatu akan mudah dikerjakan ketika kita sudah terbiasa mengerjakannya. 

Pada suatu waktu belum lama ini, aku memastikan untuk rutin olahraga. Tidak perlu memakan waktu banyak, yang penting bisa berkeringat. Jadi kuputuskan untuk mencari "pelatih" lewat kanal YouTube (omong-omong bicara soal YouTube, media ini sungguh keren. Banyak hal yang bisa kita dapatkan dan pelajari. Menurutku, rugi sekali jika kita tidak bisa memaksimalkan manfaatnya). 

Sebenarnya aku bisa saja meluangkan waktu sekitar 30 menit setelah solat subuh untuk pergi keluar rumah, lalu lari pagi. Namun, karena akhir-akhir ini udara sedang dingin-dinginnya, kuputuskan untuk olahraga di rumah saja. 

Dengan panduan video di YouTube itu aku mulai beraksi. Aku ikuti setiap gerakan yang dicontohkan sang instruktur. Olahraga itu berfokus pada otot perut. Jadi, sangat cocok bagi siapa saja yang ingin meratakan perut. 

Karena aku belum pernah melakukannya, maka percobaan pertama di hari pertama itu cukup bikin aku kepayahan. Meski begitu, aku tetap menyelesaikan setiap gerakannya. 

Lelah bukan main! Padahal kalau ditotal, hanya membutuhkan kurang lebih 5 menit saja. 

Usai olahraga, aku beristirahat (a.k.a rebahan) hingga akhirnya tertidur. 

Karena tidak biasa melakukan olahraga tersebut, aku mulai merasakan sakit pada beberapa bagian tubuh, terutama otot perut. Haduuuh.... Berkali-kali ku menyemangati diri bahwa tidak apa-apa, sebab nanti juga terbiasa. 

Dua hari kemudian, aku melakukan olahraga yang sama. Memang benar aku masih kepayahan, tapi efek sakitnya tidak begitu terasa. Oh, mungkin tubuhku sudah mulai membiasakan diri. 

Kembali ke judul, memang benar kalimat "alah bisa karena biasa" merupakan mantra kuno yang harus diimani sepenuh hati. Dan ini berlaku untuk banyak hal di dunia ini. Mungkin segalanya. Tidak mudah memang, sebab untuk menjadi biasa pertama-tama harus mengalahkan rasa malas dalam diri. 

Selamat bertumbuh! 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

SYAHADAT CINTA DI UJUNG SENJA oleh Fitri Nurul Aulia

Detak jarum jam yang terus melangkah menggema ke seluruh ruangan bercat putih. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Seorang Gadis masih sibuk membenahi sebuah toko busana muslimah milik bibinya yang terletak di jalan Istiklal Street , daerah Taksim, Istanbul. Setelah selesai berbenah, Gadis berparas timur tengah itu bergegas meraih mantel berwarna coklatnya, yang tak jauh dari meja kasir tempat yang ia duduki sekarang. Tak lupa, ia juga melingkarkan syal tebal berwarna putih di lehernya yang senada dengan warna hijabnya. Maklum, di luar sana, salju di bulan Desember sedang turun dengan derasnya—hingga kota bak di selimuti dengan mantel putih nan bersih namun beraura kaku. Gadis itu tak akan rela jika tubuhnya diselimuti rasa dingin yang menusuk tulang dan membekukan persendian. Setelah menggembok rapi pintu pagar toko, segera ia melesat meniggalkan toko menuju apartemen yang ditinggalinya bersama paman dan bibinya. Turunnya salju yang disertai hembusan an...