Hari ini, 7
Juni 2022, usai berdandan rapi, lalu siap pergi bekerja, ada benih perasaan
bahagia yang perlahan tumbuh. Pagi tadi, aku cukup bersemangat akan menjalankan
hari. Pikiran berasumsi bahwa hari ini semua akan baik-baik saja dan
menyenangkan. Pokoknya sempurna. Titik.
Namun,
beberapa langkah setelah meninggalkan rumah, aku memencet tombol cancel pada aplikasi ojek online yang
sudah kupesan sebelumnya tepat ketika si pengemudi tiba di depan mataku. Bukan tanpa
alasan aku menekan tomboh cancel itu.
Sebelum membatalkan pesanan, kulihat durasi menunggu yang awalnya tiga menit
menjadi lima menit. Kok malah menjauh,
ya? Kupikir. Jadi, kalau cancel
pun rasanya tidak apa-apa. Toh si pengemudi belum tiba. Aku tahu dan aku akui
ini adalah bentuk keegoisan. Pasalnya, seperti yang tadi aku ceritakan, ketika aku memencet tomboh cancel, pengemudi itu tiba. Tentu saja
beliau kecewa dan aku merasa bersalah. Setelah itu, aku meminta pesan ulang di
tempat kepadanya. Barulah kami menuju lokasi tujuan; stasiun.
Kejadian
tersebut tampak sepele dan mungkin saja aku bukan satu-satunya orang yang
pernah melakukan tindakan demikian. Tetapi ini soal adab dan empati terhadap
seseorang. Andai saja aku mau lebih bersabar menunggu dan meredam keegoisanku.
Sejujurnya
aku selalu tidak enak jika ‘berurusan’ dengan orang lain terlepas dari siapa yang
salah dan siapa yang benar. Drama kecil tadi cukup bikin aku merasa sedih dan
merasa sudah mencederai harapanku untuk menjalankan hari ini dengan sempurna. Dan
ditambah lagi aku tidak sengaja menumpahkan susu kedelai di mejaku yang hampir
membasahi laptop. Untung saja semuanya masih aman dan terkendali.
Aku tidak
merutuki diri atas kesalahan tersebut sepanjang hari. Dalam artian aku menerima
diriku yang berbuat kesalahan dan aku mengambil pelajaran darinya. Pikiranku melanglang
hingga mengetuk pintu perenungan bahwa kesempurnaan itu adalah omong kosong.
Kesempurnaan hanya milih Yang Kuasa. Manusia kerap lupa membuat ancang-ancang
apabila sesuatu yang dianggap sempurna itu tidak sesuai dengan kenyataan. Aku
pernah dengar bahwa masalah itu tergantung bagaimana reaksi kita kepadanya. Jadi,
kukira perlu kita ini belajar bagaimana mengendalikan diri atau bereaksi
terhadap suatu permasalahan.
Menjelang
sore, setelah berdamai dengan kejadian tadi pagi, aku kembali bersemangat. Otakku
sudah membuat rencana yang tidak biasa kulakukan ketika nanti diri ini tiba di
rumah; aku akan luluran, ngopi, dan menulis catatan yang sedang kamu baca ini. Jika
waktunya masih ada, mungkin aku akan melanjutkan dengan baca buku atau nonton
video hiburan/edukatif.
Kuakhiri
catatan ini setelah menyeruput kopi yang baru saja kuseduh, bahwa aku tidak
akan pernah memiliki kesempurnaan. Namun, bukan berarti aku tidak bisa
berbahagia karenanya. Aku bisa merayakan ketidaksempurnaan dan mendapatkan
kebahagiaan darinya dengan cara-cara sederhana.
Selamat
bertumbuh!
Komentar
Posting Komentar