Langsung ke konten utama

Jurnal Pagi: Topik yang Bikin Sensitif

Aku tidak tahu kapan tepatnya hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan menjadi sensitif. Ada rasa tidak nyaman, bahkan amarah yang perlahan naik jika dikaitkan dengan diriku. 

Pernah dengar seseorang bicara katanya kalau ada orang yang tersinggung karena suatu topik, sebenarnya orang tersebut tengah terluka. Dan tentu saja setiap luka berbeda. Ada yang masih basah, setengah kering, kering, atau sudah tak ada lagi bekas luka di sana. Setiap kondisi luka punya daya tahannya masing-masing.

Jika membicarakan luka yang kumiliki, mungkin bisa kukatakan lukanya masih basah, tetapi menuju kering (sebenarnya aku pun tidak yakin apakah benar menuju kering?) 

Otakku perlahan mencoba memanggil memorinya. Di mana pertama kali aku terjatuh hingga terluka sebegininya? 

Apakah saat perceraian kakakku? Apakah saat orang yang aku sukai tiba-tiba saja mengirimkan surat undangan pernikahan? Apakah keputusan egoisku saat membiarkan orang lain masuk padahal hatiku baru saja patah? Atau, apakah karena tekanan dari Ibu yang terus-terusan memintaku untuk segera menikah mengingat usiaku sudah 26? 

Atau, luka yang kudapat merupakan akumulasi dari segala hal yang kusebutkan di atas? 

Rasa tidak nyaman akan hadir ketika ada pembicaraan yang mengarah ke arah pernikahan. Hal itu bisa menjadi sumbu yang menyulut amarahku. Entah dari pertanyaan apakah sudah ada yang mengajak serius, atau ada seseorang yang ingin dikenalkan. 

Orang-orang hanya mampu bertanya kapan menikah atau sudahkah ada yang mendekati untuk serius, tetapi mereka lupa bertanya bagaimana perasaanku, bagaimana kabar hatiku. 

Aku tidak sanggup membayangkan ketika berada dalam suatu ikatan pernikahan, sementara aku masih belum berdamai dengan luka-luka di masa lalu. Mengerikan. 

Aku bukan diam saja. Sebenarnya beberapa kali mencoba membuka diri untuk berkenalan dengan orang baru. Tetapi, belum ada yang membuat diriku nyaman, entah dari obrolan, pemikiran, nilai kehidupan, atau beberapa hal lainnya. Intinya belum menemukan yang sefrekuensi. 

Kadang-kadang aku menyimpulkan sendiri bahwa diriku adalah orang yang tidak mudah jatuh cinta. Jika diingat-ingat, aku tertarik pada seseorang karena ada hal yang bisa membuat aku tertarik (tentu saja! hahaha. Bukankah semua orang begitu?) Dan aku tidak pernah bisa merencanakan jatuh cinta. Perasaan itu bisa hadir tanpa ada sebuah perencanaan. 

Jika ada orang bertanya apa yang ingin aku lakukan sekarang, jawabannya adalah menyembuhkan luka, lalu jatuh cinta. Atau keduanya bisa kulakukan secara bersamaan. Atau, aku bisa meningkatkan kualitas diri, memperbaiki apa yang bisa kuperbaiki, melakukan apa saja yang bermanfaat untuk kehidupanku, sambil berdoa pada Allah agar diberikan jodoh yang tepat. Aku ingin menjalaninya dengan ikhlas. Lepas. Itu saja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Mampir ke Rumah Orang Lain

Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?  Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.  Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan k...