Langsung ke konten utama

Jurnal Pagi: Keanehan

 Perasaan aneh atau bisa juga kebingungan menghampiri diri kemarin. Perasaan itu seperti menyelimuti perlahan seluruh tubuhku. Saat terbangun di pagi hari tadi, kurasa rasa aneh itu masih ada. 

Ini bermula ketika aku memutuskan untuk berubah. Kuganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru yang kuharap bermanfaat bagi jiwa dan raga. 

Saat memulai, sungguh tidak ada rintangan yang berarti. Godaan malas tidak menjadi bola besi yang merantai raga. Barangkali tekadku sudah kokoh hingga tidak ada yang bisa menggoyahkan. 

Kebiasaan pertama adalah aku sangat mengurangi konsumen media sosial instagram. Ini untuk mengurangi kecanduan, insecure, anxiety, dan overthinking ku. Kedua, membiasakan diri untuk mandi setelah pulang dari kantor. Tujuannya agar aku bisa tidur nyenyak dan berkualitas sehingga esoknya tidak mengantuk atau merasa kelelahan. Ketiga, membiasakan bangun pukul 4 pagi, dilanjutkan mandi, solat tahajjud dan witir, lalu solat subuh, membaca quran, setelahnya membaca buku. 

Tidak hanya itu, aku juga mulai membiasakan diri untuk rutin sedekah subuh dan menyisihkan uang terlebih dulu di pagi hari sebelum kupakai. Kebiasaan lainnya kusebut one day one trash. 

Hal ini berangkat dari kebiasaan burukku yang terlalu "sayang" membuang barang padahal barang tersebut sudah tidak terpakai lagi. Untuk mengurangi rasa bersalahku, kuputuskan untuk membuang satu barang dalam satu hari. 

Kebiasaan lainnya aku mulai memasukkan aktivitas olahraga, menulis di blog, menonton video berbahasa Inggris, dan belajar bahasa Turki ke dalam jadwal mingguan. 

Sekarang sudah memasuki hari ke-22. Jika kau bertanya bagaimana hari-hari itu dilewati, maka kujawab 80% aku cukup disiplin dengan komitmen yang kubuat. Ada hari-hari di mana aku tidak maksimal melakukannya atau bahkan sengaja terlewat karena rasa malas. 

Namun, bukan itu poin utama dari keanehan ini. Setelah 22 hari, aku merasa aneh. Otak dan tubuhku kebingungan. Semuanya seperti bertanya untuk apa aku melakukan ini semua. Barangkali karena aku belum merasakan hasilnya. 

Menurut video yang kutonton di kanal YouTube, dalam membangun kebiasaan setidaknya kita butuh kurang lebih 3 bulan. Dan katanya lagi, pada hari kedua puluhan tubuh kita akan merasa kebingungan. Baru setelahnya kebiasaan itu akan mulai otomatis tersetel. 

Apakah aku sedang merasa kebingungan itu? 

Dari sekian kebiasaan baru yang kulakukan, ada satu yang bisa kukatakan berhasil meski belum sampai 3 bulan, yaitu bangun pukul 4 pagi. Tubuhku seperti sudah mengerti untuk beranjak dari lelap meski tanpa alarm (namun begitu, aku tetap memasang alarm untuk berjaga-jaga). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

SYAHADAT CINTA DI UJUNG SENJA oleh Fitri Nurul Aulia

Detak jarum jam yang terus melangkah menggema ke seluruh ruangan bercat putih. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Seorang Gadis masih sibuk membenahi sebuah toko busana muslimah milik bibinya yang terletak di jalan Istiklal Street , daerah Taksim, Istanbul. Setelah selesai berbenah, Gadis berparas timur tengah itu bergegas meraih mantel berwarna coklatnya, yang tak jauh dari meja kasir tempat yang ia duduki sekarang. Tak lupa, ia juga melingkarkan syal tebal berwarna putih di lehernya yang senada dengan warna hijabnya. Maklum, di luar sana, salju di bulan Desember sedang turun dengan derasnya—hingga kota bak di selimuti dengan mantel putih nan bersih namun beraura kaku. Gadis itu tak akan rela jika tubuhnya diselimuti rasa dingin yang menusuk tulang dan membekukan persendian. Setelah menggembok rapi pintu pagar toko, segera ia melesat meniggalkan toko menuju apartemen yang ditinggalinya bersama paman dan bibinya. Turunnya salju yang disertai hembusan an...