Langsung ke konten utama

Curhatan Bermedia Sosial - Insecure VS Feeling Motivated



Ada dua perasaan yang muncul ketika aku scrolling up timeline di Instagram; insecure dan feeling motivated. Apakah keduanya bisa dirasakan bersamaan? Atau justru sebaliknya? Entah, aku sendiri belum bisa menjawab. Namun, aku menyadari suatu hal, saat perasaanku sedang tidak baik-baik saja, rasa insecure seperti membakar habis seluruh jiwaku. Ini pernah terjadi. Perasaanku sedang kacau, dan melihat segala informasi yang melimpah di beranda media sosial bikin aku mabuk. Akhirnya, seminggu aku kabur dari beberapa media sosial, terutama instagram. 

Saat perasaanku baik-baik saja, aku bisa termotivasi dengan beberapa postingan yang lewat di mataku. Aku bisa menata rasa bahwa kelak aku akan begini dan begitu. Dan ketika kamu terbius dengan perasaan itu, ada sesuatu yang membawa jiwamu melihat yang kamu impikan begitu dekat. 

Jika aku bisa mengajukan saran--saran ini pun sedang aku lakukan dan upayakan dalam bermedia sosial instagram--ikuti akun-akun yang memberi nutrisi untuk jiwamu, memberi kebahagiaan untukmu, dan memanjakan matamu. Jika ada akun yang membuat dirimu insecure, kamu sah-sah saja unfollow. Oh, ya, aku berusaha untuk tidak membaca aku gossip karena takut memberi asupan buruk untuk otakku. 

Sebenarnya aku tidak tahu pasti mengapa aku menulis seperti ini. Mungkin hanya sekadar berbagi, dan mungkin kamu juga pernah ada di posisi ini. Namun, semoga ada kebaikan yang aku tulis. 

Terima kasih sudah baca. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...