Waktu
sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru
saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan
maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam
tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan
buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah
satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah
bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku
menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?”
Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan.
Teman-teman
mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang
jalan sana.
Ketika
sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit
kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di
seberang jalan sana, berharap aku kembali dengan membawa makanan untuk santapan
berbuka. Aku menghela nafas. Tak sengaja mataku melihat seorang wanita berhijab
biru yang tengah memasukkan mangkuk-mangkuk plastik berisi kolak pisang ke dalam
wadah plastik persegi yang ukurannya lumayan besar di paling pojok tenda sana.
Tanpa basa-basi aku langsung menghampirinya, “Mbak, saya mau beli kolak
pisangnya!” ujarku dengan cepat.
“Assalamu’alaikum. Benarkah? Berapa?” katanya
sambil mengembangkan senyuman hingga matanya yang sipit hampir tak terlihat.
Aku tersenyum kikuk, malu, “Wa’alaikum salam. Iya Mbak, maaf seharusnya saya
yang mengucapkan salam terlebih dulu.” Aku menundukkan kepalaku singkat. “Tidak
apa-apa. Mau beli berapa Mas?” wanita itu membulatkan matanya.
“Beli
enam Mbak.” Jawabku.
“Waah...
banyak sekali. Terima kasih sudah mau beli kolak saya. Mas ini pembeli pertama
saya lho.” Dia kembali merekahkan senyumannya sambil memasukkan mangkuk-mangkuk
kolak kedalam plastik putih.
“Maaf
Mbak, jadi dari tadi belum ada yang beli?” Tanyaku hati-hati. Aku takut
menyinggung perasaannya.
Dia
melukiskan senyuman kecil tanpa beban mendengar pertanyaanku. “Iya Mas. Saya
sudah empat hari berjualan kolak pisang disini. Dan baru hari ini ada yang beli,
yaitu Mas sendiri. Maaf Mas, namanya siapa?”
“Nama saya Deniz. Mbak siapa? Chinese ya?”
“Saya
Naira. Benar, saya Chinese.”
Aku
melongo melihat wanita Chinese berkulit putih ini, “Jadi selama tiga hari
kemarin mubazir dong kolaknya?” Aku membenarkan tas selempanganku.
“Tidak
juga. Saya santap semangkuk kolaknya untuk berbuka puasa. Sisanya saya bagikan
untuk anak-anak jalanan yang saya temui sepanjang perjalanan pulang.
Alhamdulillah, Allah memberi rizki-Nya hari ini untuk saya.” Katanya panjang
lebar tanpa beban.
Aku
mengucapkan subhanallah berkali-kali dalam hati. Cantik wajahnya berbanding
lurus dengan akhlaknya. Walau dalam keadaan susah dia tetap mau berbagi.
Sabarnya terbalaskan hari ini. Ini yang
dinamakan wanita shalihah idaman suami. Aku bergumam dalam hati. “Mbak
Naira, kolaknya tambah empat lagi ya.” Aku tersenyum.
“Jangan
beli kolak saya kalau Mas Deniz kasihan. Saya hanya ingin uang yang saya
dapatkan adalah hasil dari jerih payah saya sendiri. Bukan atas dasar kasihan.”
Aku
diam kemudian menyudutkan bibirku, “Tidak, saya membeli sisanya untuk orang
tua, dan adik saya di rumah. Sebagai oleh-oleh buat disantap selepas shalat
tarawih. Bungkuskan ya Mbak.” Aku tertohok dengan kalimat yang diucapkannya.
Aku kembali mengucapkan kalimat subhanallah dalam hati. Duhai indah nian perangainya.
“Terima kasih banyak Mas Deniz. Ini
kolaknya.” Kata Naira sambil menyodorkan dua kantung plastik masing-masing berisi
enam mangkuk kolak pisang untukku dan teman-teman serta empat mangkuk kolak
pisang untuk orang tua dan adikku dirumah. “Semuanya jadi lima puluh ribu.”
Lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Aku
merogoh kantung celanaku kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribu
kepadanya. “Maaf Mbak. Mbak single?”
aku sadar dengan pertanyaan ngawurku.
“Iya.
Saya sedang kuliah semester akhir. Kenapa?” Dia balik bertanya.
“Ah tidak apa-apa. Oh ya Mbak, boleh minta
alamat rumahnya?” aku menyodorkan Naira kertas putih dan pulpen.
“Untuk
apa?” dia mengerutkan keningnya bingung.
“Nanti,
siapa tahu saya mampir ke rumah Mbak Naira buat pesan kolak pisangnya.” Naira
mengangguk sambil menyeringai senang, kemudian dia menuliskan alamat rumahnya.
Aku mengucapkan terima kasih pada Naira kemudian segera berpamitan meninggalkan
wajah Naira yang tersenyum sambil berjanji dalam hati, “Insya Allah tak hanya kolak pisangmu yang akan kupesan. Tapi hatimu
yang akan aku pesan dengan lamaran pernikahan.”
Komentar
Posting Komentar