Langsung ke konten utama

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan.
Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana.
Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali dengan membawa makanan untuk santapan berbuka. Aku menghela nafas. Tak sengaja mataku melihat seorang wanita berhijab biru yang tengah memasukkan mangkuk-mangkuk plastik berisi kolak pisang ke dalam wadah plastik persegi yang ukurannya lumayan besar di paling pojok tenda sana. Tanpa basa-basi aku langsung menghampirinya, “Mbak, saya mau beli kolak pisangnya!” ujarku dengan cepat.
 “Assalamu’alaikum. Benarkah? Berapa?” katanya sambil mengembangkan senyuman hingga matanya yang sipit hampir tak terlihat. Aku tersenyum kikuk, malu, “Wa’alaikum salam. Iya Mbak, maaf seharusnya saya yang mengucapkan salam terlebih dulu.” Aku menundukkan kepalaku singkat. “Tidak apa-apa. Mau beli berapa Mas?” wanita itu membulatkan matanya.
“Beli enam Mbak.” Jawabku.
“Waah... banyak sekali. Terima kasih sudah mau beli kolak saya. Mas ini pembeli pertama saya lho.” Dia kembali merekahkan senyumannya sambil memasukkan mangkuk-mangkuk kolak kedalam plastik putih.
“Maaf Mbak, jadi dari tadi belum ada yang beli?” Tanyaku hati-hati. Aku takut menyinggung perasaannya.
Dia melukiskan senyuman kecil tanpa beban mendengar pertanyaanku. “Iya Mas. Saya sudah empat hari berjualan kolak pisang disini. Dan baru hari ini ada yang beli, yaitu Mas sendiri. Maaf Mas, namanya siapa?”
 “Nama saya Deniz. Mbak siapa? Chinese ya?”
“Saya Naira. Benar, saya Chinese.”  
Aku melongo melihat wanita Chinese berkulit putih ini, “Jadi selama tiga hari kemarin mubazir dong kolaknya?” Aku membenarkan tas selempanganku.
“Tidak juga. Saya santap semangkuk kolaknya untuk berbuka puasa. Sisanya saya bagikan untuk anak-anak jalanan yang saya temui sepanjang perjalanan pulang. Alhamdulillah, Allah memberi rizki-Nya hari ini untuk saya.” Katanya panjang lebar tanpa beban.
Aku mengucapkan subhanallah berkali-kali dalam hati. Cantik wajahnya berbanding lurus dengan akhlaknya. Walau dalam keadaan susah dia tetap mau berbagi. Sabarnya terbalaskan hari ini. Ini yang dinamakan wanita shalihah idaman suami. Aku bergumam dalam hati. “Mbak Naira, kolaknya tambah empat lagi ya.” Aku tersenyum.
“Jangan beli kolak saya kalau Mas Deniz kasihan. Saya hanya ingin uang yang saya dapatkan adalah hasil dari jerih payah saya sendiri. Bukan atas dasar kasihan.”
Aku diam kemudian menyudutkan bibirku, “Tidak, saya membeli sisanya untuk orang tua, dan adik saya di rumah. Sebagai oleh-oleh buat disantap selepas shalat tarawih. Bungkuskan ya Mbak.” Aku tertohok dengan kalimat yang diucapkannya. Aku kembali mengucapkan kalimat subhanallah dalam hati. Duhai indah nian perangainya.
            “Terima kasih banyak Mas Deniz. Ini kolaknya.” Kata Naira sambil menyodorkan dua kantung plastik masing-masing berisi enam mangkuk kolak pisang untukku dan teman-teman serta empat mangkuk kolak pisang untuk orang tua dan adikku dirumah. “Semuanya jadi lima puluh ribu.” Lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Aku merogoh kantung celanaku kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribu kepadanya. “Maaf Mbak. Mbak single?” aku sadar dengan pertanyaan ngawurku.
“Iya. Saya sedang kuliah semester akhir. Kenapa?” Dia balik bertanya.
 “Ah tidak apa-apa. Oh ya Mbak, boleh minta alamat rumahnya?” aku menyodorkan Naira kertas putih dan pulpen.
“Untuk apa?” dia mengerutkan keningnya bingung.

“Nanti, siapa tahu saya mampir ke rumah Mbak Naira buat pesan kolak pisangnya.” Naira mengangguk sambil menyeringai senang, kemudian dia menuliskan alamat rumahnya. Aku mengucapkan terima kasih pada Naira kemudian segera berpamitan meninggalkan wajah Naira yang tersenyum sambil berjanji dalam hati, “Insya Allah tak hanya kolak pisangmu yang akan kupesan. Tapi hatimu yang akan aku pesan dengan lamaran pernikahan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...