Langsung ke konten utama

Pikiran : Sesuatu yang Berisik dalam Sunyi




Ketika kau membaca judul ini, menurutmu suatu apa yang dimaksud? Benarkah ada yang berisik meski dalam kesunyian?

Jawabannya : Ada.

Barangkali sesuatu itu lebih berisik dibandingkan suara klakson kendaraan yang berbaris di jalanan saat macet. Lebih berisik daripada suara kereta yang memekakkan telinga tiba-tiba. Lebih berisik dibandingkan dengan gosipan di warung kopi. Lebih berisik dibandingkan sebuah omelan tiada henti. Karena kau tahu? Sesuatu yang berisik itu adalah yang membuatmu susah tidur pada malam hari. Mereka berbunyi di kepalamu saat hari sudah hening, sudah sunyi. Yang diam-diam bisa mengalirkan air mata, membuat garis lengkung di pipimu, lalu jatuh di atas bantalmu yang empuk. Sesuatu itu ada di kepalamu, yang menolak pergi meski tubuh sudah lelah sebab seharian bekerja.

Setiap malam mereka berdemo, beragumentasi, berteriak, menyalahi, bertanya, dan menangis tersedu. Mereka akan berhenti ketika kita mulai benar-benar lelah. Atau mungkin berhenti entah kapan, tahu-tahu kita sudah berada di alam mimpi. Tapi saat terbangun, kita sadar baha tidur hanyalah sebuah jeda, bukan sebuah akhir.

Pada siang hari, kita akan berlagak baik-baik saja. Menjadi manusia terkuat menurut versi kita sendiri. Namun, pada malam harinya, semua pertahanan menjadi runtuh. Suara-suara itu kembali berisik dalam kesunyian.

Aku tahu, itu cukup mengganggu. Sangat tidak nyaman. Namun ternyata, justru kita jauh lebih nyaman menyiksa diri. Barang kali kita harus pulang. Memulangkan kembali suara-suara berisik itu ke tempat asalnya dengan menyelesaikannya. Ah, tapi tidak mudah juga. Sulit juga. Pokoknya menyebalkan. Namun, begitulah kita sebagai manusia. Sampai sini, tulisan ini semrawut. Semakin tidak jelas dengan isi pikiran. Dan kau malah terus membaca. Sampai selesai malah.

Omong-omong, semoga berisikmu segera tenang. Kau, aku, kita akan baik-baik saja...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Mampir ke Rumah Orang Lain

Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?  Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.  Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan k...