Langsung ke konten utama

Pikiran : Jendela Virtual




Akhir-akhir ini aku mulai memercayai bahwa setiap kita, di zaman sekarang ini, punya dua jendela. Satu jendela nyata dan satunya lagi jendela virtual. Sayangnya, kita justru fokus pada jendela virtual ini. Yang bikin stres, bikin insecure, bikin iri dengki, semua hal negatif bisa diborong malah. Iya, jendela virtual ini nama lain dari media sosial (setidaknya itu menurutku). Ketika kita membuka mata di pagi hari, buru-buru lah kita cari itu benda segi empat. Buka instagram, twitter, dan segala macamnya. Scroll ke bawah, lihat foto si A bagus, keren, lucu, jadi kepengen. Lihat pencapaian si B bikin panas, insecure, kapan aku kayak dia. Lihat story si C, kita dengki, ih apaan kayak gitu aja dipamerkan, dll. 

Satu kata: Capek. 
Aku mulai sadar. Kenapa kita tidak fokus saja pada jendela nyata kita. Suatu kondisi ketika bisa melihat pada diri kita, pencapaian yang sudah diraih, dan jalan-jalan yang masih harus dilewati. Sebenarnya tidak apa-apa melihat jendela virtual jika sebagai pecutan diri. Yang tidak boleh menurutku adalah melihat jendela virtual dan berusaha seperti mereka, menjadi orang lain. 
Kalau ada yang "pamerin" keberhasilan nya di media sosial, ya kita patut meniru semangatnya, pantang menyerahnya. Bukan lantas ngedumel, ih si ini sombongnya, ih si itu sok-sokan  banget. Kita tidak tahu jalan terjal bagaimana yang sudah dia lewati, air mata dan keringat sebanyak apa yang sudah jatuh menetes. 

Dan pada akhirnya, kita bisa melihat ke arah dua jendela yang kita miliki. Tapi untuk menjadi diri sendiri. Bukan orang lain. 

Sekarang, coba kamu buka jendela kamarmu, jendela nyatamu. Nikmati pagimu. Cerah atau mendung bukan masalah. Semuanya tergantung bagaimana responmu. Selamat hari Sabtu. 

*)Tulisan ini dibuat untuk menasihati diri sendiri :)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...