Aku mengerti bagaimana rasanya ditinggal orang tersayang.
Aku pernah mengalaminya saat takdir menjemput Nenek tahun 2017 silam. Aku dan
keluarga sudah tahu, waktunya semakin dekat. Namun, Sebaik-baik apa pun
persiapannya, kita tidak akan pernah siap untuk kehilangan. Kalau iya, kenapa
harus ada duka? Kenapa harus ada air mata? Perpisahan dengan Nenek adalah bentuk dari kehilangan juga kan?
Tahun ini, begitu banyak kehilangan yang terjadi di muka
bumi. Banyak orang kehilangan pekerjaannya
kala pandemi sebab rapuhnya ekonomi. Para pedagang kehilangan
pundi-pundi ketika pelanggan-pelanggan mereka memutuskan untuk berdiam diri.
Salah satu yang menyedihkan adalah ketika para pedagang keliling memijakkan
kaki ke sana ke mari, berharap ada pembeli. Namun, ternyata tidak ia temui.
Andai saja, mereka punya gawai yang bisa digunakan untuk mencari informasi
kenapa hal itu terjadi. Tapi, urusan perut jauh lebih utama. Memangnya siapa peduli?
Aku, kamu, dia, mereka, kita, dan semua sedang tertatih
untuk bertahan hidup. Ah,mungkin barang kali tidak semua. Sebab si kaya dan si
miskin berbeda. Atau begini, yang membedakan adalah kreatif atau tidak dan mau
atau tidak untuk keluar dari situasi seperti ini. Ah, atau mungkin tidak begitu
juga. Yang miskin, tetap miskin. Bahkan semakin miskin.
Sebenarnya kehilangan terjadi pada setiap kita, tanpa
terkecuali . Setiap hari. Tidak saat pandemi kali ini saja. Kamu tahu apa itu?
Waktu. Suatu hal yang terus bergerak maju. Tak bisa berhenti meski berkali-kali
kita memintanya untuk menunggu. Ia akan berhenti ketika saatnya tiba. Ketika
Yang Esa memerintahkan malaikatNya bersua dengan setiap kita.
Setiap hari kita kehilangan waktu. Yang berbeda adalah,
bagaimana cara kita merayakannya.
Komentar
Posting Komentar