Langsung ke konten utama

Menjadi Manusia : Tentang Kehilangan



Hari ini, Jumat tanggal 15 Mei 2020 aku mendapatkan dua kabar duka . Pertama, ayah dari rekan kerjaku meninggal dunia. Entah sakit apa. Tetapi, yang pasti ialah itu sudah kehendak Tuhan. Beberapa jam kemudian, saat mata terbuka dari tidur siang, kucek ponselku. Beberapa pesan dari whatsapp masuk. Salah satunya dari seorang teman mengabarkan bahwa ibu dari teman kami meninggal. Beberapa waktu lalu pernah dirawat karena batu ginjal. Kemudian dipulangkan setelah dinyatakan sembuh. Namun, ternyata beliau kembali dibawa ke rumah sakit. Sempat muntah darah. Dan akhirnya, hari ini Yang Kuasa menjempunya pulang.

Aku mengerti bagaimana rasanya ditinggal orang tersayang. Aku pernah mengalaminya saat takdir menjemput Nenek tahun 2017 silam. Aku dan keluarga sudah tahu, waktunya semakin dekat. Namun, Sebaik-baik apa pun persiapannya, kita tidak akan pernah siap untuk kehilangan. Kalau iya, kenapa harus ada duka? Kenapa harus ada air mata? Perpisahan dengan Nenek  adalah bentuk dari kehilangan juga kan?

Tahun ini, begitu banyak kehilangan yang terjadi di muka bumi. Banyak orang kehilangan pekerjaannya  kala pandemi sebab rapuhnya ekonomi. Para pedagang kehilangan pundi-pundi ketika pelanggan-pelanggan mereka memutuskan untuk berdiam diri. Salah satu yang menyedihkan adalah ketika para pedagang keliling memijakkan kaki ke sana ke mari, berharap ada pembeli. Namun, ternyata tidak ia temui. Andai saja, mereka punya gawai yang bisa digunakan untuk mencari informasi kenapa hal itu terjadi. Tapi, urusan perut jauh lebih utama. Memangnya siapa  peduli?

Aku, kamu, dia, mereka, kita, dan semua sedang tertatih untuk bertahan hidup. Ah,mungkin barang kali tidak semua. Sebab si kaya dan si miskin berbeda. Atau begini, yang membedakan adalah kreatif atau tidak dan mau atau tidak untuk keluar dari situasi seperti ini. Ah, atau mungkin tidak begitu juga. Yang miskin, tetap miskin. Bahkan semakin miskin.      

Sebenarnya kehilangan terjadi pada setiap kita, tanpa terkecuali . Setiap hari. Tidak saat pandemi kali ini saja. Kamu tahu apa itu? Waktu. Suatu hal yang terus bergerak maju. Tak bisa berhenti meski berkali-kali kita memintanya untuk menunggu. Ia akan berhenti ketika saatnya tiba. Ketika Yang Esa memerintahkan malaikatNya bersua dengan setiap kita.

Setiap hari kita kehilangan waktu. Yang berbeda adalah, bagaimana cara kita merayakannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...