Suatu malam, aku dan kamu pergi tidur sambil berharap esok
hari akan lebih baik dari hari ini. Tapi kemudian, kita malah terbangun di
suatu pagi yang samasekali asing. Seperti terlahir kembali di dunia yang
berbeda. Namun, kenyataannya kita masih ada di bumi. Matahari masih muncul dari
timur dan tenggelam di barat. Bumi masih beratap langit. Meski begitu, semuanya
terasa membingungkan.
Semua berubah dalam sekejap mata. Tanpa aba-aba. Seolah
dunia tidak memberikan waktu barang sedetik pun. Atau mungkin sebenarnya dunia
sudah memberikan, tetapi kita saja yang abai. Tidak peka. Acuh. Sebab merasa
semuanya akan baik-baik saja.
Lalu aku dan kamu tersadar. Di sinilah sekarang kita berada.
Di sebuah penjara terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Mulanya, kita adalah
seorang tahanan negara, berubah menjadi tahanan provinsi, berlanjut menjadi
tahanan kota, dan berakhir menjadi tahanan rumah. Tak ubahnya seorang kriminal
yang dijebloskan ke dalam ruang berjeruji. Barangkali kita semua memang seorang
kriminal. Tanpa terkecuali.
Pergerakan dibatasi. Aku
kesulitan melepas rindu yang kian hari kian menggebu. Tidak ada obatnya kecuali
bertemu. Namun, apa daya? Dunia sedang mencegah segala pertemuan terjadi. Aku dan
kamu tahu, ini semua demi kebaikan bersama. Meski berkali-kali pikiran kita
menolak, bilang bahwa semuanya tidak masuk akal. Di titik ini, akhirnya kita
sadar bahwa menghargai segala momen adalah segalanya.
Aku kerap bertanya, kenapa Yang Kuasa mengizinkan ini semua terjadi?
Tiba-tiba saja kita kehilangan kebebasan tanpa Dia memberi jeda untuk
bersiap-siap. Ah, tapi aku pernah bilang bahwa kita tidak akan pernah siap
menghadapi kehilangan.
Dan kurasa kita memang benar-benar kriminal. Karena itu kita
berada di titik ini. Barangkali kita dihukum karena seringkali protes, tak
menghargai segala hal yang kita miliki saat ini. Barangkali kita dihukum karena
seringkali merasa berkuasa atas semesta. Dengan mudahnya bisa menyakiti,
mencaci, memaki, merampas hak sesama, hingga menumpahkan darah demi ego semata.
Kita tidak punya kata “maaf” dan “memaafkan” laiknya kita paling mulia tanpa
dosa. Betapa menjijikkannya dan keterlaluannya kita.
Kita semua kriminal atas kesalahan yang kita lakukan. Kabar
baiknya, Yang Maha Penyayang memberikan kita akal. Pergerakan fisik memang
sedang dikurung, tapi tidak dengan hati dan pikiran kita. Meski sedang hidup di
dalam penjara, aku dan kamu masih bisa bermeditasi. Bermuhasabah diri.
Semoga setelah ini, aku dan kamu punya kelapangan hati yang
luas untuk meminta maaf dan memaafkan orang lain maupun diri sendiri atas
segala dosa. Namun, perlu diingat. Kata maaf tidak diciptakan untuk menebus kesalahan
yang berulang kali dilakukan.
Selamat menikmati hari-hari di penjara!
Komentar
Posting Komentar