Kabar tentang dikabulnya doa Lumba-lumba A segera tersebar. Maka, flamingo di Albania sana, singa-singa di Afrika sana, para babi rusa di Israel sana, dan mungkin seluruh hewan di muka bumi, berdoa yang sama. Tuhan Yang Maha Pemurah pun mengabulkan tanpa terkecuali. Para hewan merayakan kebebasan penuh suka cita. Mereka turun ke kota, ada yang kembali memenuhi taman nasional, ada pula yang memilih rebahan di jalanan. Momen ini adalah hari raya para hewan atau hari kemerdekaan mereka atas kebebasan yang tanpa sadar telah dirampas.
***
Aku mengira, jauh sebelum pandemi ini terjadi, ada yang tekun berdoa setiap waktu—selain para hewan. Mereka lirih melangitkan kidung doa tanpa jeda.
1
Doa masjid kepada Allah :
“Ya Tuhan, setiap hari aku ramai dikunjungi. Aku rumah suci. Tempat manusia (yang seharusnya) menghamba padaMu. Tempat manusia menuhankan Engkau. Tempat manusia mengakui bahwa mereka begitu kerdil, lemah, dan tanpa daya. Namun, kenapa aku selalu merasa tidak suci ketika mereka menginjakkan kaki di tempatku?”
Masjid menangis sesenggukan.
“Aku menyadari bahwa mereka telah membohongiMu. Mereka menghamba pada pujian yang diterimanya, mereka menuhankan kecongkakkannya, mereka merasa besar dan hebat hanya karena sering bertandang ke padaku lima waktu.
“Kupikir saat azan berkumandang, mereka yang segera datang itu benar-benar mencintaiku dan Engkau. Saat itu, aku benar-benar gagal menerjemahkannya. Ternyata, pujian adalah sebuah nyanyian syahdu yang mereka harapkan saat melangkahkan kaki ke tempatku. Aku merasa dikhianati. Hanya segelintir saja yang benar mencintaiku dan Engkau dengan baik dan benar.
“Dengan apa aku bisa membasuh seperti manusia dengan air whudunya?”
Yang Maha Mendengar pun tersenyum, “Mudah saja bagiKu.”
2
Rupanya sebelum para hewan berdoa, mereka telah lebih dulu berkeluh kesah pada planet bumi tentang permasalah yang mereka abadi.
“Telah banyak dari golongan kami (hewan) yang sudah punah. Apakah kau akan membiarkan hal ini terjadi padaku dan yang lain juga?” kata seekor harimau sumatra.
Planet bumi malam itu menangis. Air matanya deras berjatuhan di atas genting-genting setiap rumah manusia. Sebenarnya, tak perlu para hewan memeberi tahu semua itu. Lagi pula, mana mungkin ia tidak tahu? Ia sendiri telah menyaksikannya. Ia berduka setiap kali itu terjadi. Setiap kali ada gajah mati karena ada yang menginginkan gadingnya, rasanya seperti sebilah pisau menancap di atas punggungnya. Sebilah pisau menancap lagi ketika para penyu tersedak mati sebab menyantap kantung plastik yang dikiranya ubur-ubur. Ia terbatuk kala udara kotor memenuhinya tanpa ampun. Planet bumi sudah berdarah. Tapi sakit yang ia rasa siapa peduli?
Maka, hari itu ia berdoa khusyuk sekali. Yang Maha Mendengar pun tersenyum. Sekali lagi Dia berkata, “Mudah saja bagiKu.”
***
Aku kira kenapa Yang Maha Kuasa mengizinkan ini semua terjadi, itu karena banyak yang sudah muak dengan tingkah kita yang menjijikkan. Mungkin dengan cara ini, mereka bisa membasuh, menyucikan dari segala tingkah buruk kita. Laiknya air yang membasuh debu-debu pada anggota tubuh.
Komentar
Posting Komentar