Langsung ke konten utama

Menjadi Manusia : Lumba-lumba yang Berdoa

Banyak praduga berkelindan di kepalaku. Masih bertanya mengapa semuanya terjadi. Dan mungkin ini karena Yang Maha Adil telah mengabulkan doa yang lain. Yang tak pernah kita dengar karena serakah yang meraja.

Pada suatu waktu, di lautan, para lumba-lumba sedang asyik mengobrol.

Lumba-lumba A : Kalian tahu tentang sebuah kota bernama Istanbul? Kota yang kaya akan peradaban. Sebuah kota yang terbentang di dua benua. Kudengar kota itu indah sekali. Kata seseorang yang entah siapa, Istanbul adalah ibukota dunia. Aku ingin sekali ke sana. Berenang-renang. Membuktikan sendiri apakah yang kudengar itu benar atau tidak.

Lumba-lumba A nampak berhayal. Pikirannya terbang ke sebuah kota impiannya.

 Lumba-lumba B yang menyimak mulanya membenarkan. Namun, beberapa detik kemudian air wajahnya berubah. Murung. Ia berenang sedikit menjauh.

Lumba-lumba B : Hmmm, aku pernah hampir tiba di sana. Namun, tempat itu tak ubahnya sebuah tempat penuh teror. Makhluk macam kita tak perlu datang ke sana. Dari kejauhan aku melihat ramai sekali feri, kapal, boat, dan semacamnya berlalu-lalang. Di sana juga banyak kail-kail tajam yang mengerikan. Aku tidak mau terperangkap , lalu mati di sana.

Lumba-lumba A nampak tekejut. Wajahnya kecewa. Ia teringat Lumba-lumba C, sahabatnya, yang terjerat jala, lalu dinaikkan ke permukaan, dan tak pernah kembali lagi. Ia mati. Hari itu Lumba-lumba A menangis tersedu-sedu. Kehilangan sahabat baginya lebih sakit dibanding tergores jangkar di dasar laut. Sakitnya esok lusa akan hilang. Namun, kehilangan Lumba-lumba C adalah duka sepanjang masa.  

Malam harinya Lumba-lumba A nampak berkerut kening. Ia melompat ke permukaan berkali-kali. Bulan nampak membulat di angkasa sana. Di dalam hatinya ia bertanya-tanya, kenapa ia tidak punya kesempatan itu. Pergi ke kota yang cantik itu. Jika manusia bisa berkelana ke mana pun yang mereka mau, melakukan segala hal  yang mereka suka, mengapa ia tidak punya hak yang sama? Apakah benar begitu tingkah khalifah di muka bumi?

Malam itu Lumba-lumba A berdoa khusyuk sekali. Sampai-sampai alam begitu hening. Semesta meng-Aamiin-kan.

Hari itu tiba. Tanpa butuh waktu yang lama, Yang Maha Mendengar mengabulkan doa Lumba-lumba A. Ia bersama kelompoknya bergerak menuju Istanbul, sebuah kota yang pernah ditakhlukkan oleh sebaik-baiknya pemimpin.



 

(Kelompok) Lumba-lumba nampak muncul di Selat Bosphorus, Istanbul  saat lockdown

Sumber foto : @kadikoysokak









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Mampir ke Rumah Orang Lain

Barusan, aku mampir melihat kehidupan teman-temanku yang dibagikan lewat sosial media mereka. Banyak yang sudah terbang jauh. Melakukan A, B, C, dan D. Menemukan ini dan itu. Mencapai banyak sekali gemintang di angkasa. Tiba-tiba saja, aku mulai melihat ke dalam diri. Melakukan tindakan dzalim dengan membandingkan diriku dengan mereka. Sebelum pikiran negatif itu menyebar kemana-mana, lajunya segera kuhentikan. Bukankah aku juga melakukan perkembangan? Bukankah aku juga telah menempuh perjalanan panjang? Bukankah aku juga sudah menggapai gemintang? Bukankah aku juga telah menemukan yang hilang?  Tanpa sadar, aku kerap mampir ke rumah orang lain. Lalu pulang dari sana sambil membawa keresahan setelah melihat cerita-cerita mereka yang terbingkai manis di dinding rumah.  Rumahku dan rumah orang lain jelas berbeda. Desainnya tidak sama. Pemilihan material bangunannya pun boleh jadi tidak sama 100%. Lantas kenapa kita kerap sibuk melihat ke rumah orang lainlain yang isi rumah dan k...