Rencana Dia Begitu
Ajaib : Seni Seviyorum (Sebuah Kisah Sedih di Masa Lalu)
naskah asli dari Seni Seviyorum yang sudah dimakan rayap |
Percakapan beberapa
minggu yang lalu.
Kakak : Novel kemarin gak sekalian di terbitkan
juga?
Aku : Novel jelek begitu. Harus dirombak
ulang. Dan harus research dulu. Menyesuaikan dengan keadaan Turki sekarang,
lah....
Ibu : Yaudah, sana ke Turki.
Aku : (Dalam hati: duitnyaaaaa)
***
Target untuk menerbitkan buku mulai muncul seiring
perjalananku menulis sebuah novel bergenre religi. Sekitar tahun 2011 (kelas 10
SMA) kumulai iseng menulis kisah cinta antara Fadhil Alver dan Sela Annisa.
Tanpa rencana. Tanpa outline. Semua seperti mengalir begitu saja. Ilhamnya
sederhana bahkan boleh jadi sepele, yaitu dari lagu Maher Zain “For the Rest of
My Life”. Kuberi judul novel itu sama seperti lagu yang mengilhaminya. Namun seiring
berjalannya waktu, judulnya berubah menjadi berbahasa Turki yaitu “Seni Seviyorum” artinya
aku mencintaimu.
Yang susah dari
proses penulisan novel tersebut adalah dengan sok tahu aku—yang waktu itu
sedang jatuh cintanya pada Turki—mengambil latar Istanbul. Sementara ke luar
negeri saja belum pernah. Karena ingin
sama sesuai dengan keadaan sebenarnya seperti di Istanbul sana, setidaknya 80%,
setiap waktu istirahat belajarnaku pergi ke perpustakaan untuk melakukan research kecil-kecilan. Memanfaatkan fasilitas perpustakaan di
sana. Menghabiskan waktu untuk googling
informasi segala hal tentang tempat tersebut. Mengunduh beberapa video, mencari
apartemen dekat Blue Mosque, mengunduh foto-foto uang lira (uang Turki),
mencari alamat dan nama-nama orang Turki dan jalanan di Istanbul melalui google
map, dan masih banyak lagi. Karena pekerjaan itu, keinginan untuk menginjakkan
kaki di Negeri Dua Benua tersebut kian mengakar. (Semoga Allah meridhoi,
aamiin)
Butuh dua tahun untuk menyelesaikan novel itu. Lama sekali.
Segala “tragedi” mewarnai perjalanan
panjang Seni Seviyorum. Monitor
komputer sempat rusak. Aku khawatir bukan main. Bagaimana kalau file nya hilang? Sia-sia sudah! Kemudian
orangtua menggantinya dengan yang baru. Setahun kemudian, aku minta dibelikan
laptop. Alasannya adalah agar aku bisa dengan mudah menunjukkan langsung ke
guru Bahasa Indonesia tentang proyek yang sedang aku kerjakan. Hitung-hitung bimbingan.
Dan alhamdulillah, orangtua membelikan sebuah laptop Toshiba warna merah. Mereka
mendukung sekali apa yang sedang aku kerjakan. Mereka menaruh harapan
besar, itu sebabnya mereka selalu mengiyakan apa yang aku butuhkan. Seharusnya aku tidak mengecewakan
mereka. Seharusnya...
Alasan lain yang menyebabkan lamanya pengerjaan Seni Seviyorum adalah jalan buntu yang
kerap aku temui sehingga tak tahu mau dibawa ke arah mana jalan ceritanya.
Alasan-alasan yang lain adalah writer block, malas, hilang semangat, dan bosan.
Benar-benar alasan yang tak patut ditiru.
Sejak menulis Seni
Seviyorum, meneribitkan buku menjadi
sebuah impian dan harapan yang suatu saat akan menjadi nyata. Dan pikiran gila tiba-tiba saja muncul, kuyakin
bisa terbang ke Turki karena buku itu.
Apa mungkin? Konyol, ya?
Aku samasekali buta soal dunia penerbitan dan soal
perjanjian. Polos sekali. Sehingga dengan mudah untuk dibodoh-bodohi. Hingga suatu hari...
Di akhir tahun 2012 kabar gembira datang. Seniorku punya
kenalan seorang pengusaha yang katanya salah
satu perusahaannya berjalan dibidang penerbitan. Seni Seviyorum belum rampung dan aku sudah menyerahkan naskahnya
kepada orang si pengusaha itu. Tak berapa lama, naskahnya disetujui untuk
diterbitkan! Orang itu memberikanku waktu untuk menyelesaikan Seni Seviyorum. Surat perjanjian disodorkan.
Aku bahagia bukan main. Cita-cita yang selama ini diimpikan, sekarang menuju
menjadi kenyataan. Pengorbanan Ibu dan Bapak membelikan monitor baru dan laptop
baru akan segera terbayarkan. Maka tak sabar rasanya melihat raut muka mereka
berdua kala aku menyodorkan surat perjanjian penerbitan tersebut.
Dan ya... ada binar di bola mata Ibu. Ada bangga mekar di
hati Bapak.
Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama.
Di tahun 2013 tiga kabar menyakitkan datang menyambangi
kehidupanku. Salah satunya adalah...
Novel itu tidak pernah terbit.
Si Pengusaha itu pamit begitu saja tanpa penjelasan.
Seni Seviyorum
tidak pernah terbit.
Tanpa ada kejelasan, sebenarnya aku telah ditipu omongan
oleh si Pengusaha.
Aku mengecewakan Ibu dan Bapak. Mereka kecewa, terutama Ibu.
Aku? Seperti terpuruk bertahun-tahun. Luka itu menganga
saban hari. Kalau sedang sendiri lalu teringat kejadian itu, aku akan menangis.
Diam-diam. Tapi tak pernah kutunjukkan pada siapa pun. Sampai-sampai
teman-teman bilang aku ini nampak selalu bahagia, seolah tak ada beban hidup.
Tapi aku manusia yang juga punya potongan cerita sedih. Lalu dua kisah sedih yang lainnya apa? Maaf lain kali saja
ceritanya. Atau memang tidak perlu diceritakan. Entahlah...
Meski kecewa, Ibu tetap menyemangati, “Gak mungkin tiba-tiba
berada di nomor 10. Kamu harus mulai dari angka satu, dua, tiga....” Aku
mengerti apa yang Ibu maksud. Tidak ada hal besar terjadi dalam rentang waktu
yang amat singkat. Barangkali aku belum layak. Belum mampu memegang amanah
tersebut. Iya, cita-cita juga amanah.
Pernah kuminta Kakak membaca Seni
Seviyorum di suatu malam bertahun-tahun yang lalu. Pagi harinya matanya sembab.
Kemudian bercerita pada Ibu bahwa ia merasa kisah di dalam novel itu seperti
kisahnya. Aku tidak tahu.... Aku hanya menulis Seni Seviyorum setelah mendengar lagu For the Rest of My Life milik Maher Zain. Itu saja.
Bogor, 12 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar