Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 3)




Rencana Dia Begitu Ajaib : Seni Seviyorum (Sebuah Kisah Sedih di Masa Lalu)

naskah asli dari Seni Seviyorum yang sudah dimakan rayap


Percakapan beberapa minggu yang lalu.

Kakak   : Novel kemarin gak sekalian di terbitkan juga?
Aku        : Novel jelek begitu. Harus dirombak ulang. Dan harus research dulu. Menyesuaikan dengan keadaan Turki sekarang, lah....
Ibu         : Yaudah, sana ke Turki.
Aku        : (Dalam hati: duitnyaaaaa)

***

Target untuk menerbitkan buku mulai muncul seiring perjalananku menulis sebuah novel bergenre religi. Sekitar tahun 2011 (kelas 10 SMA) kumulai iseng menulis kisah cinta antara Fadhil Alver dan Sela Annisa. Tanpa rencana. Tanpa outline. Semua seperti mengalir begitu saja. Ilhamnya sederhana bahkan boleh jadi sepele, yaitu dari lagu Maher Zain “For the Rest of My Life”. Kuberi judul novel itu sama seperti lagu yang mengilhaminya. Namun seiring berjalannya waktu, judulnya berubah menjadi berbahasa Turki yaitu “Seni Seviyorum” artinya aku mencintaimu.

Yang susah dari proses penulisan novel tersebut adalah dengan sok tahu aku—yang waktu itu sedang jatuh cintanya pada Turki—mengambil latar Istanbul. Sementara ke luar negeri saja belum pernah.  Karena ingin sama sesuai dengan keadaan sebenarnya seperti di Istanbul sana, setidaknya 80%, setiap waktu istirahat belajarnaku pergi ke perpustakaan untuk melakukan research kecil-kecilan. Memanfaatkan fasilitas perpustakaan di sana. Menghabiskan waktu untuk googling informasi segala hal tentang tempat tersebut. Mengunduh beberapa video, mencari apartemen dekat Blue Mosque, mengunduh foto-foto uang lira (uang Turki), mencari alamat dan nama-nama orang Turki dan jalanan di Istanbul melalui google map, dan masih banyak lagi. Karena pekerjaan itu, keinginan untuk menginjakkan kaki di Negeri Dua Benua tersebut kian mengakar. (Semoga Allah meridhoi, aamiin)

Butuh dua tahun untuk menyelesaikan novel itu. Lama sekali. Segala “tragedi” mewarnai  perjalanan panjang Seni Seviyorum. Monitor komputer sempat rusak. Aku khawatir bukan main. Bagaimana kalau file nya hilang? Sia-sia sudah! Kemudian orangtua menggantinya dengan yang baru. Setahun kemudian, aku minta dibelikan laptop. Alasannya adalah agar aku bisa dengan mudah menunjukkan langsung ke guru Bahasa Indonesia tentang proyek yang sedang aku kerjakan. Hitung-hitung bimbingan. Dan alhamdulillah, orangtua membelikan sebuah laptop Toshiba warna merah. Mereka mendukung sekali apa yang sedang aku kerjakan. Mereka menaruh harapan besar, itu sebabnya mereka selalu mengiyakan apa yang aku butuhkan. Seharusnya aku tidak mengecewakan mereka. Seharusnya...

Alasan lain yang menyebabkan lamanya pengerjaan Seni Seviyorum adalah jalan buntu yang kerap aku temui sehingga tak tahu mau dibawa ke arah mana jalan ceritanya. Alasan-alasan yang lain adalah writer block, malas, hilang semangat, dan bosan. Benar-benar alasan yang tak patut ditiru.
Sejak menulis Seni Seviyorum,  meneribitkan buku menjadi sebuah impian dan harapan yang suatu saat akan menjadi nyata.  Dan pikiran gila tiba-tiba saja muncul, kuyakin bisa terbang ke Turki karena buku itu. Apa mungkin?  Konyol, ya?

Aku samasekali buta soal dunia penerbitan dan soal perjanjian. Polos sekali. Sehingga dengan mudah untuk dibodoh-bodohi. Hingga suatu hari...

Di akhir tahun 2012 kabar gembira datang. Seniorku punya kenalan seorang pengusaha yang katanya salah satu perusahaannya berjalan dibidang  penerbitan. Seni Seviyorum belum rampung dan aku sudah menyerahkan naskahnya kepada orang si pengusaha itu. Tak berapa lama, naskahnya disetujui untuk diterbitkan! Orang itu memberikanku waktu untuk menyelesaikan Seni Seviyorum. Surat perjanjian disodorkan. Aku bahagia bukan main. Cita-cita yang selama ini diimpikan, sekarang menuju menjadi kenyataan. Pengorbanan Ibu dan Bapak membelikan monitor baru dan laptop baru akan segera terbayarkan. Maka tak sabar rasanya melihat raut muka mereka berdua kala aku menyodorkan surat perjanjian penerbitan tersebut.

Dan ya... ada binar di bola mata Ibu. Ada bangga mekar di hati Bapak.
Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Di tahun 2013 tiga kabar menyakitkan datang menyambangi kehidupanku. Salah satunya adalah...

Novel itu tidak pernah terbit.

Si Pengusaha itu pamit begitu saja tanpa penjelasan.

Seni Seviyorum tidak pernah terbit.

Tanpa ada kejelasan, sebenarnya aku telah ditipu omongan oleh si Pengusaha.

Aku mengecewakan Ibu dan Bapak. Mereka kecewa, terutama Ibu.

Aku? Seperti terpuruk bertahun-tahun. Luka itu menganga saban hari. Kalau sedang sendiri lalu teringat kejadian itu, aku akan menangis. Diam-diam. Tapi tak pernah kutunjukkan pada siapa pun. Sampai-sampai teman-teman bilang aku ini nampak selalu bahagia, seolah tak ada beban hidup. Tapi aku manusia yang juga punya potongan cerita sedih. Lalu dua kisah sedih yang lainnya apa? Maaf lain kali saja ceritanya. Atau memang tidak perlu diceritakan. Entahlah...

Meski kecewa, Ibu tetap menyemangati, “Gak mungkin tiba-tiba berada di nomor 10. Kamu harus mulai dari angka satu, dua, tiga....” Aku mengerti apa yang Ibu maksud. Tidak ada hal besar terjadi dalam rentang waktu yang amat singkat. Barangkali aku belum layak. Belum mampu memegang amanah tersebut. Iya, cita-cita juga amanah.

***

Pernah kuminta Kakak membaca Seni Seviyorum di suatu malam bertahun-tahun yang lalu. Pagi harinya matanya sembab. Kemudian bercerita pada Ibu bahwa ia merasa kisah di dalam novel itu seperti kisahnya. Aku tidak tahu.... Aku hanya menulis Seni Seviyorum setelah mendengar lagu For the Rest of My Life milik Maher Zain. Itu saja.  


Bogor, 12 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...