Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 2)

Rencana Dia Begitu Ajaib – Bukan seorang guru, tapi penari!








Cita-citamu apa waktu SD dulu?

Di sela-sela jam istirahat ini pelan-pelan kukerahkan pikiran menuju masa lalu. Ramai teman-temanku dulu yang bilang bahwa  mereka ingin menjadi guru (kebanyakan kaum hawa). Seorang guru? Yang benar saja! Aku tak mau. Menjadi guru adalah pekerjaan yang merepotkan di pikiranku waktu itu. Bayangkan, kau harus mengatur anak-anak kecil, membuat mereka duduk diam menyimak penjelasanmu, dan tentu saja harus memberikan nilai dan mengisi raport untuk setiap anak. Duh! Baru membayangkan saja aku sudah bergidik. Enggan sekali rasanya berurusan dengan anak-anak kecil! Kataku waktu itu. Dan benar, cita-cita untuk menjadi guru tidak pernah terbesit dalam benak hingga menginjak bangku kuliah.

Lalu apa cita-citamu?

Penari. Iya, itu cita-citaku sewaktu SD dulu. Aku suka menari. Jika yang lain menganggapnya sebuah beban sewaktu diberikan tes menari, maka bagiku itu merupakan sebuah kesenangan. Bersama teman-teman aku bersemangat sekali untuk latihan. Siapa koreografernya? Aku. Sambil sesekali dibantu teman-teman satu grup kalau sudah stuck soal gerakaan apalagi yang harus ditampilkan. Prestasi tertingginya adalah waktu kelas lima dulu, aku dan teman-teman diundang untuk manari di atas panggung—yang bagiku waktu itu—besar. Kami diminta tampil di panggung Taman Topi, Bogor. Sebuah taman yang menjadi tujuan wisata favorit (selain kebun raya) pada zamannya kalau masa liburan tiba. Maka sejak itu cita-cita jadi seorang penari kian menguat di jiwa seorang aku pada usia sepuluh tahun.

Belasan tahun kemudian semuanya menjadi cukup jelas. Segala apa yang aku cita-citakan berubah haluan. Aku tidak pernah menjadi penari. Cita-cita ingin jadi penari memudar kala memasuki bangku SMP.  Selanjutnya aku tidak tahu besar nanti mau jadi apa. Intinya bukan guru.
Tapatnya pada tahun 2016, kalau tidak salah waktu itu baru semester lima kuliah, apa yang dulu aku hindari malah diterima dengan sukarela. Sebuah tawaran untuk menjadi relawan guru PAUD datang melalui sebuah pesan singkat. Mereka membutuhkan dua orang.  Kuajak teman SMP sekaligus satu jurusanku, Nurul untuk bergabung—yang memang kebetulan ada di dekatku saat pesan tersebut masuk ke ponsel.

Guru PAUD, anak-anak usia 4-6 tahun, sempurna! Pekerjaan ini tidak mudah. Adakalanya anak-anak itu menggemaskan tingkahnya, adakalanya kewalahan untuk mengaturnya. Mereka bergerak aktif ke sana-ke mari. Tingkahnya ada-ada saja. Tidak boleh jijik ketika mereka belepotan makannya, berliur mulutnya, atau bahkan muntah. Disamping itu, aku merasa ini luar biasa dan lucu. Luar biasa sebab perlu diakui menjadi guru itu pekerjaan yang  tidak mudah. Selama ini kukira hanya sekadar mentransfer ilmu saja. Sudah. Tapi lebih dari itu. Menanamkan nilai positif pada anak merupakan tindakan mulia yang harus dilakukan oleh seorang guru. Menjadi guru adalah sebuah tekhnik. Dan Lucu sebab ini seperti kutukan, hahaha! Aku yang begitu menghindari pekerjaan ini, malah sengaja menceburkan diri secara sukarela.  Dan itu menyenangkan.

Kepada Cinta Baca, kuhaturkan terima kasih karena telah memberikan kesempatan yang begitu luar biasa untuk menjadi seorang guru PAUD di sana. Meskipun statusnya sebagai relawan. Khususnya kepada Ibu Magda. Terima kasih atas kesabaran juga ilmu dan bimbingannya selama ini. Di Cinta Baca aku begitu diterima. Sungguh tiga tahun bersama, Cinta Baca tak ubahnya sebuah rumah kedua setidaknya bagiku.

O ya, selain menjadi Guru PAUD, menjelang semester 8 aku memutuskan untuk bekerja menjadi guru Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus bersama dua teman dekatku, Ridwan dan Seli. Anak-anakku bertambah. Selain bocah-bocah kecil nan imut, aku juga punya anak-anak usia sekolah SMA, bahkan kuliah! Hanya bertahan sampai tiga bulan di sana, setelah kontrak habis, aku dan teman-teman tidak lagi memperpanjangnya. Meski singkat, saat itu aku seperti punya keluarga baru, teman-teman baru, dan jelas pengalaman baru yang tidak bisa dilupakan oleh waktu. Dan alhamdulillah, sampai saat ini aku masih menjalin komunikasi dengan beberapa murid di sana. 

Menjadi guru (meski bukan minatku 100%) merupakan pengalaman yang berharga (barangkali menjadi jalan Allah sehingga aku diterima kerja saat ini), berbagi ilmu dan cerita. Lebih-lebih kita punya kesempatan menjadi orangtua pengganti sementara mereka. Menjadi seorang guru buatku sadar, bahwa beginilah susah dan senangnya. Keinginannya cuma satu; melihat anak-anak didiknya sukses. Baik sukses dalam bertingkah laku, maupun sukses dalam menuntut ilmu. Hematnya, menjadi guru tak ubahnya belajar menjadi seorang ibu buatku. Hormatku untuk semua guru di mana pun berada. Kalian luar biasa.


Jakarta-Bogor, 11-12 Februari 2019  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...