Rencana Dia Begitu Ajaib – Bukan seorang guru, tapi penari!
Cita-citamu
apa waktu SD dulu?
Di
sela-sela jam istirahat ini pelan-pelan kukerahkan pikiran
menuju masa lalu. Ramai teman-temanku dulu yang bilang bahwa mereka ingin menjadi guru (kebanyakan kaum
hawa). Seorang guru? Yang benar saja! Aku tak mau.
Menjadi guru adalah pekerjaan yang merepotkan di pikiranku waktu itu.
Bayangkan, kau harus mengatur anak-anak kecil, membuat mereka duduk diam
menyimak penjelasanmu, dan tentu saja
harus memberikan nilai dan mengisi raport untuk setiap anak. Duh! Baru membayangkan saja aku
sudah bergidik. Enggan sekali rasanya berurusan dengan anak-anak kecil!
Kataku waktu itu. Dan benar, cita-cita untuk menjadi guru tidak pernah terbesit
dalam benak hingga menginjak bangku
kuliah.
Lalu apa
cita-citamu?
Penari.
Iya, itu cita-citaku sewaktu SD dulu. Aku suka menari. Jika yang lain
menganggapnya sebuah beban sewaktu diberikan tes menari, maka bagiku
itu merupakan sebuah kesenangan. Bersama teman-teman aku bersemangat sekali
untuk latihan. Siapa koreografernya? Aku. Sambil sesekali dibantu teman-teman
satu grup kalau sudah stuck soal
gerakaan apalagi yang harus ditampilkan. Prestasi tertingginya adalah waktu
kelas lima dulu, aku dan teman-teman diundang untuk manari di atas
panggung—yang bagiku waktu itu—besar. Kami diminta tampil di panggung Taman Topi,
Bogor. Sebuah taman yang menjadi tujuan wisata favorit (selain kebun raya) pada zamannya kalau masa liburan tiba. Maka sejak itu cita-cita jadi seorang penari
kian menguat di jiwa seorang aku pada usia sepuluh tahun.
Belasan
tahun kemudian semuanya menjadi cukup jelas. Segala apa yang aku cita-citakan
berubah haluan. Aku tidak pernah menjadi penari. Cita-cita ingin jadi penari memudar kala memasuki bangku SMP. Selanjutnya aku tidak tahu besar nanti mau
jadi apa. Intinya bukan guru.
Tapatnya
pada tahun 2016, kalau tidak salah waktu itu baru semester lima kuliah, apa yang
dulu aku hindari malah diterima dengan sukarela. Sebuah
tawaran untuk menjadi relawan guru PAUD datang melalui sebuah pesan singkat. Mereka membutuhkan dua orang. Kuajak teman SMP sekaligus satu jurusanku, Nurul
untuk bergabung—yang memang kebetulan
ada di dekatku saat pesan tersebut masuk ke ponsel.
Guru PAUD,
anak-anak usia 4-6 tahun, sempurna! Pekerjaan ini tidak mudah. Adakalanya
anak-anak itu menggemaskan tingkahnya, adakalanya kewalahan untuk mengaturnya.
Mereka bergerak aktif ke sana-ke mari. Tingkahnya ada-ada saja. Tidak boleh
jijik ketika mereka belepotan makannya, berliur mulutnya, atau bahkan muntah. Disamping itu, aku merasa ini luar biasa dan lucu.
Luar biasa sebab perlu diakui menjadi guru itu pekerjaan yang tidak mudah. Selama ini kukira hanya sekadar
mentransfer ilmu saja. Sudah. Tapi lebih dari itu. Menanamkan nilai positif
pada anak merupakan tindakan mulia yang harus dilakukan oleh seorang guru.
Menjadi guru adalah sebuah tekhnik. Dan Lucu sebab ini seperti kutukan, hahaha!
Aku yang begitu menghindari pekerjaan ini, malah sengaja menceburkan diri
secara sukarela. Dan itu menyenangkan.
Kepada Cinta Baca,
kuhaturkan terima kasih
karena telah memberikan kesempatan yang begitu luar
biasa untuk menjadi seorang guru PAUD di sana. Meskipun
statusnya sebagai relawan. Khususnya kepada Ibu Magda.
Terima kasih atas kesabaran juga ilmu dan bimbingannya selama ini. Di Cinta Baca aku begitu diterima. Sungguh tiga tahun bersama,
Cinta Baca tak ubahnya sebuah rumah kedua setidaknya bagiku.
O ya, selain menjadi Guru PAUD, menjelang
semester 8 aku memutuskan untuk bekerja menjadi guru Bahasa Inggris di sebuah
lembaga kursus bersama dua teman dekatku, Ridwan dan Seli. Anak-anakku
bertambah. Selain bocah-bocah kecil nan imut, aku juga punya anak-anak usia
sekolah SMA, bahkan kuliah! Hanya bertahan sampai tiga bulan di sana, setelah kontrak habis, aku dan teman-teman tidak lagi memperpanjangnya. Meski singkat, saat itu aku
seperti punya keluarga baru, teman-teman baru, dan jelas pengalaman baru yang
tidak bisa dilupakan oleh waktu. Dan alhamdulillah,
sampai saat ini aku masih menjalin komunikasi dengan beberapa murid di
sana.
Menjadi
guru (meski bukan minatku 100%) merupakan pengalaman yang berharga
(barangkali menjadi jalan Allah sehingga
aku diterima kerja saat
ini), berbagi ilmu dan cerita. Lebih-lebih kita punya kesempatan menjadi
orangtua pengganti sementara mereka. Menjadi seorang guru buatku sadar, bahwa
beginilah susah dan senangnya. Keinginannya cuma satu; melihat anak-anak
didiknya sukses. Baik sukses dalam bertingkah laku, maupun sukses dalam
menuntut ilmu. Hematnya, menjadi guru tak ubahnya belajar menjadi seorang ibu
buatku. Hormatku untuk semua guru di
mana pun berada. Kalian luar biasa.
Jakarta-Bogor, 11-12
Februari 2019
Komentar
Posting Komentar