Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 1)


Mengenang Dulu dan Sekarang


Waktu masih kecil, perasaan akan meletup-letup bak kembang api kalau sudah masuk bulan Februari, bulan di mana aku berulang tahun. Meski belum pernah dirayakan, rasanya bagi bocah ingusan, ulang tahun itu adalah sesuatu yang istimewa. Ada doa-doa yang bertaburan. Tak peduli bahwa sebenarnya tanggung jawab, masalah dan rintangan hidup juga kian bertambah. Waktu masih SD, aku pernah sengaja minta ditraktir pada Bapak jajan di swalayan. Jajan makanan ringan, memilih apa saja yang aku mau asal tidak memberatkan kantong Bapak.

Dunia begitu sederhana di kepala seorang anak kecil—aku—waktu itu. Bermain hujan-hujanan atau kotor-kotoran menjelang sore, pergi mengaji setelah ashar bersama teman-teman, mencari keong di sawah yang nantinya dimasak oleh Ibu, atau bermain tanpa bilang-bilang hingga lupa waktu, dan ketika pulang dimarahi Ibu. Lalu esoknya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sesederhana itu. Kalau bertengkar dengan teman main hari itu, esoknya sudah seperti sedia kala. Memaafkan terasa begitu mudah. Sesederhanan itu.

Sejak duduk di bangku SMA, ulang tahun bagiku masih “istimewa”. Masih berlimpah doa dan ucapan, dari keluarga dan teman-teman. Ada pula yang sengaja menyediakan bingkisan. Menjelang hari H nya biasanya aku sengaja tidak tidur. Menunggu hingga tengah malam. Tidak ada alasan yang kuat kecuali ingin menikmati masa-masa terakhir usia sebelum bertambah angkanya. Jujur, penasaran juga apakah ada yang sengaja mengucapkannya pada pukul 00:00. Jadi sekalian saja. Biasanya aku akan menangis saat itu. Segala pertanyaan seperti hujan badai di kepalaku. Dan pertanyaan yang paling sering muncul adalah “Sudah melakukan apa saja setahun belakangan?” Lalu malam yang hening terasa begitu hampa ketika aku tahu bahwa “tidak ada” yang aku lakukan, bahwa aku belum melakukan yang terbaik untuk hidupku, bahwa aku masih sama saja, enggan menepi dari kubangan masa lalu.

Pada akhirnya aku akan menyeka air mata, dan untuk kesekalian kalinya berjanji pada diri sendiri bahwa akan begini dan begitu. Setahun berlalu, kembali sadar bahwa aku masih saja menjadi seorang pengecut. Jangan-jangan pikiranku memang masih terjebak dalam diri seorang bocah kemarin sore. Atau jangan-jangan aku terlampau payah sehingga lebih suka berpegang erat pada zona nyaman.

Untuk apa aku menulis ini sekarang? Barangkali tulisan ini sebagai hadiah yang aku persiapkan menjelang usia 23 (setelah tahun kemarin gagal memberikan hadiah sebanyak 22 puisi dan cerita untuk diriku). Banyak keresahan-keresahan yang menyelimutiku. Banyak luka-luka yang perlu disembuhkan. Ada beberapa yang ingin aku bagikan yang tak untuk disimpan sendirian. Seringkali aku mendengar bahwa kata mereka menulis adalah terapi dan kesenangan yang baik. Dan itu sedang aku lakukan.    
Kita beranjak dewasa terlalu cepat, ya. Aku sampai-sampai tak percaya bahwa yang kemarin sering memanjat pohon jambu batu sekarang sudah berkepala dua, bahwa yang kemarin sering main kelereng sekarang sudah mau berusia 23. 

Aku ingin berterima kasih pada Allah yang masih memberikan kesempatan hidup dan belajar, hidup dan bermimpi, hidup dan bermasalah, hidup dan bermanfaat, hidup dan jatuh, hidup dan mencintai-Mu.

Bogor, 10 Februari 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...