Mengenang Dulu dan Sekarang
Waktu masih kecil, perasaan akan
meletup-letup bak kembang api kalau sudah masuk bulan Februari, bulan di mana
aku berulang tahun. Meski belum pernah dirayakan, rasanya bagi bocah ingusan,
ulang tahun itu adalah sesuatu yang istimewa. Ada doa-doa yang bertaburan. Tak
peduli bahwa sebenarnya tanggung jawab, masalah dan rintangan hidup juga kian
bertambah. Waktu masih SD, aku pernah sengaja minta ditraktir pada Bapak jajan
di swalayan. Jajan makanan ringan, memilih apa saja yang aku mau asal tidak
memberatkan kantong Bapak.
Dunia begitu sederhana di kepala seorang
anak kecil—aku—waktu itu. Bermain hujan-hujanan atau kotor-kotoran menjelang
sore, pergi mengaji setelah ashar bersama teman-teman, mencari keong di sawah
yang nantinya dimasak oleh Ibu, atau bermain tanpa bilang-bilang hingga lupa
waktu, dan ketika pulang dimarahi Ibu. Lalu esoknya seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Sesederhana itu. Kalau bertengkar dengan teman main hari itu,
esoknya sudah seperti sedia kala. Memaafkan terasa begitu mudah. Sesederhanan
itu.
Sejak duduk di bangku SMA, ulang tahun
bagiku masih “istimewa”. Masih berlimpah doa dan ucapan, dari keluarga dan
teman-teman. Ada pula yang sengaja menyediakan bingkisan. Menjelang hari H nya
biasanya aku sengaja tidak tidur. Menunggu hingga tengah malam. Tidak ada
alasan yang kuat kecuali ingin menikmati masa-masa terakhir usia sebelum
bertambah angkanya. Jujur, penasaran juga apakah ada yang sengaja mengucapkannya
pada pukul 00:00. Jadi sekalian saja. Biasanya aku akan menangis saat itu.
Segala pertanyaan seperti hujan badai di kepalaku. Dan pertanyaan yang paling
sering muncul adalah “Sudah melakukan apa saja setahun belakangan?” Lalu malam
yang hening terasa begitu hampa ketika aku tahu bahwa “tidak ada” yang aku
lakukan, bahwa aku belum melakukan yang terbaik untuk hidupku, bahwa aku masih
sama saja, enggan menepi dari kubangan masa lalu.
Pada akhirnya aku akan menyeka air mata,
dan untuk kesekalian kalinya berjanji pada diri sendiri bahwa akan begini dan
begitu. Setahun berlalu, kembali sadar bahwa aku masih saja menjadi seorang
pengecut. Jangan-jangan pikiranku memang masih terjebak dalam diri seorang
bocah kemarin sore. Atau jangan-jangan aku terlampau payah sehingga lebih suka
berpegang erat pada zona nyaman.
Untuk apa aku menulis ini sekarang?
Barangkali tulisan ini sebagai hadiah yang aku persiapkan menjelang usia 23
(setelah tahun kemarin gagal memberikan hadiah sebanyak 22 puisi dan cerita
untuk diriku). Banyak keresahan-keresahan yang menyelimutiku. Banyak luka-luka
yang perlu disembuhkan. Ada beberapa yang ingin aku bagikan yang tak untuk
disimpan sendirian. Seringkali aku mendengar bahwa kata mereka menulis adalah
terapi dan kesenangan yang baik. Dan itu sedang aku lakukan.
Kita beranjak dewasa terlalu cepat, ya.
Aku sampai-sampai tak percaya bahwa yang kemarin sering memanjat pohon jambu
batu sekarang sudah berkepala dua, bahwa yang kemarin sering main kelereng
sekarang sudah mau berusia 23.
Aku ingin berterima kasih pada Allah yang masih
memberikan kesempatan hidup dan belajar, hidup dan bermimpi, hidup dan
bermasalah, hidup dan bermanfaat, hidup dan jatuh, hidup dan mencintai-Mu.
Bogor, 10 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar