Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 7 – Selesai)


 Bukan Sebuah Akhir







Fitri Nurul Aulia


Hari itu Jumat tanggal 16 Februari tahun 1996, bulan Ramadhan, beberapa hari menuju Idul Fitri. Pagi hari kira-kira pukul tujuh tangisan pertamaku menggelegar. Setelah mendengar cerita Ibu, barangkali seharusnya aku tidak dilahirkan pada tanggal tersebut. Ibu disuntik induksi. Aku dipaksa keluar dari rahim Ibu. Katanya, kalau tidak segera dilahirkan, aku terancam meninggal dalam kandungan. Alasannya karena bobot berat badanku kurang. Saat bercerita Ibu lupa-lupa ingat. Tapi berkali-kali Beliau bilang disuntik induksi itu sangat menyakitkan. Sakitnya melebihi lahiran normal. Diantara anak-anaknya yang lain, akulah yang paling menyusahkan, paling membuat Ibu payah. Dua adikku keluar tanpa hambatan. Kalau kakak, aku kurang tahu. Tapi faktanya memang aku yang paling berbeda dari bayi hingga sekarang.

Waktu kecil, aku sering sakit-sakitan, hingga pernah absen dari sekolah selama dua minggu. Tingkahku juga banyak. Aku pernah tercebur ke sebuah kali kecil karena bermain ayunan pada akar pohon yang menggantung. Lalu berbohong pada Ibu bahwa saat itu aku sedang mengejar tasku yang hanyut di kali itu. Kakak penurut, dan aku pembangkang. Aku keras kepala atas segala keinginanku. Sampai-sampai aku pernah membuat semacam strategi agar Ibu mengizinkanku mendaftar beasiswa S1 di Turki. Aku menulis di lembar-lembar kertas HVS tentang alasan-alasan mengapa aku inginkan Turki. Kutempel semua kertas itu di kamar, dengan harapan Ibu akan membacanya sewaktu dua hari aku tidak ada di rumah. Tujuannya tentu satu; agar Ibu paham dan memberikan izin buatku. Maaf untuk mimpiku yang satu itu. Tapi aku benar-benar ingin ke sana.  

Dan, apa menjadi berbeda itu buruk? Kurasa tidak. Dunia ini pun disesaki dengan perbedaan-perbedaan.

***

Aku gugup. Selalu gugup. Usia 22 akan segera berlalu. Seperti sebuah perpisahan, ini menyakitkan. Dua puluh dua seperti sudah di sebuah pintu keluar, berdiri di sana,bersiap pamit lalu melambaikan tangan. Barangkali dia akan bilang, “selamat tinggal, dan selamat datang di kehidupan yang baru, di usia 23.”

Saat ini pikiran sedang berkelana. Memahami semua yang telah terjadi tentang cerita hidupku. Jatuh dan bangun. Tangis dan tawa, lalu tawa dan tangis. Kecewa dan terluka. Kalah dan menang. Dulu, aku sempat protes, kenapa harus begini, kenapa harus begitu, kenapa semuanya rumit, dan kenapa tidak bisa disederhanakan saja. Lalu aku sadar, aku sedang menjalani kehidupan. Aku sedang menjalani kenyataan. Tak ubahnya main game, bukan? Banyak rintangan yang harus ditakhlukkan agar bisa mencapai garis finish.  

Kepada yang Akan Berlalu

Kepada engkau 22, angka yang tak akan kembali lagi, semoga aku berkesan bagimu. Sejarah hebat telah aku ciptakan dengan bantuan Allah dan doa-doa yang melangit. Dua buku anak itu adalah buktinya. Sebuah bukti bahwa aku hidup. Dua puluh dua, dirimu bukan akhir.  Kau sebagai pengantarku menuju awal. Masih banyak pintu-pintu yang harus kuketuk. Tidak akan mudah memang, tapi aku akan mencoba. Semoga aku selalu bisa menakhlukkan diriku. Sebab satu-satunya yang seharusnya bekerja atas mimpiku adalah diriku sendiri, kemudian biarkan Semesta mengiya.

Diriku, aku mencintaimu.


Bogor, 15 Februari 2019
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...