Bukan Sebuah Akhir
Fitri Nurul Aulia
Hari itu Jumat tanggal 16 Februari tahun 1996, bulan
Ramadhan, beberapa hari menuju Idul Fitri. Pagi hari kira-kira pukul tujuh
tangisan pertamaku menggelegar. Setelah mendengar cerita Ibu, barangkali
seharusnya aku tidak dilahirkan pada tanggal tersebut. Ibu disuntik induksi. Aku
dipaksa keluar dari rahim Ibu. Katanya, kalau tidak segera dilahirkan, aku
terancam meninggal dalam kandungan. Alasannya karena bobot berat badanku
kurang. Saat bercerita Ibu lupa-lupa ingat. Tapi berkali-kali Beliau bilang
disuntik induksi itu sangat menyakitkan. Sakitnya melebihi lahiran normal. Diantara
anak-anaknya yang lain, akulah yang paling menyusahkan, paling membuat Ibu
payah. Dua adikku keluar tanpa hambatan. Kalau kakak, aku kurang tahu. Tapi faktanya
memang aku yang paling berbeda dari bayi hingga sekarang.
Waktu kecil, aku sering sakit-sakitan, hingga pernah absen
dari sekolah selama dua minggu. Tingkahku juga banyak. Aku pernah tercebur ke sebuah kali kecil karena bermain ayunan pada akar pohon yang menggantung. Lalu
berbohong pada Ibu bahwa saat itu aku sedang mengejar tasku yang hanyut di kali
itu. Kakak penurut, dan aku pembangkang. Aku keras kepala atas segala
keinginanku. Sampai-sampai aku pernah membuat semacam strategi agar Ibu
mengizinkanku mendaftar beasiswa S1 di Turki. Aku menulis di lembar-lembar kertas HVS
tentang alasan-alasan mengapa aku inginkan Turki. Kutempel semua kertas itu di
kamar, dengan harapan Ibu akan membacanya sewaktu dua hari aku tidak ada di
rumah. Tujuannya tentu satu; agar Ibu paham dan memberikan izin buatku. Maaf
untuk mimpiku yang satu itu. Tapi aku benar-benar ingin ke sana.
Dan, apa menjadi berbeda
itu buruk? Kurasa tidak. Dunia ini pun disesaki dengan perbedaan-perbedaan.
***
Aku gugup. Selalu gugup. Usia 22 akan segera berlalu. Seperti
sebuah perpisahan, ini menyakitkan. Dua puluh dua seperti sudah di sebuah pintu
keluar, berdiri di sana,bersiap pamit lalu melambaikan tangan. Barangkali dia
akan bilang, “selamat tinggal, dan selamat datang di kehidupan yang baru, di
usia 23.”
Saat ini pikiran sedang berkelana. Memahami semua yang telah
terjadi tentang cerita hidupku. Jatuh dan bangun. Tangis dan tawa, lalu tawa
dan tangis. Kecewa dan terluka. Kalah dan menang. Dulu, aku sempat protes,
kenapa harus begini, kenapa harus begitu, kenapa semuanya rumit, dan kenapa
tidak bisa disederhanakan saja. Lalu aku sadar, aku sedang menjalani kehidupan.
Aku sedang menjalani kenyataan. Tak ubahnya main game, bukan? Banyak rintangan
yang harus ditakhlukkan agar bisa mencapai garis finish.
Kepada yang Akan
Berlalu
Kepada engkau 22, angka yang tak akan kembali lagi, semoga
aku berkesan bagimu. Sejarah hebat telah aku ciptakan dengan bantuan Allah dan
doa-doa yang melangit. Dua buku anak itu adalah buktinya. Sebuah bukti bahwa
aku hidup. Dua puluh dua, dirimu bukan akhir. Kau sebagai pengantarku menuju awal. Masih banyak
pintu-pintu yang harus kuketuk. Tidak akan mudah memang, tapi aku akan mencoba.
Semoga aku selalu bisa menakhlukkan diriku. Sebab satu-satunya yang seharusnya
bekerja atas mimpiku adalah diriku sendiri, kemudian biarkan Semesta mengiya.
Diriku, aku mencintaimu.
Bogor, 15 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar