Langsung ke konten utama

CATATAN MENUJU 23 (Bagian 4)



 Rencana Dia Begitu Ajaib : Jawaban (Perjalanan Menuju Sebuah Nama di Sampul Depan Buku)



Jangan Jauhkan Aku dari Buku

Tidak menyesal rasanya memutuskan bergabung menjadi relawan di taman baca Cinta Baca. Selain menjadi guru PAUD, banyak pengalaman lain yang aku dapatkan; bertemu dan berkomunikasi dengan orang asing, menjadi pembawa acara di sebuah acara besar,  terlibat di berbagai acara, mengikuti pelatihan, hingga menjadi salah satu story teller di acara soft launching perpustakaan tersebut sewaktu selesai direnovasi.

Pada kesempatan lain, aku turut terlibat dalam pekerjaan automasi buku-buku yang masuk ke perpustakaan. Sederhananya mengkategorikan buku-buku sesuai genrenya. Sebut saja sebagai pustakawan. Aku dengar bidang ini ada jurusannya di sebuah universitas ternama di Indonesia. Alhamdulillah, aku bisa belajar dan mempraktikannya langsung secara cuma-cuma di Cinta Baca (kepada Miss Clara, terima kasih atas bimbingannya selama ini).  

Aku mulai menyukai buku sejak menulis Seni Seviyorum. Setumpuk lembar kertas yang dijilid tersebut punya daya tarik tersendiri bagiku. Maka aku yang baru lulus kuliah pada Mei tahun 2018 lalu, mulai “berdoa” semoga mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari buku.
Hingga suatu hari ada sebuah postingan di instagram mengenai lowongan pekerjaan sebagai editor buku anak di sebuah penerbit di Jakarta. Kriterianya kurang lebih seperti ini: guru PAUD/ punya pengalaman di bidang tersebut, bisa bahasa inggris, bisa menulis, dan S1. Sesuai! Batinku. Tanpa ba-bi-bu segera kubuat lamaran. Selain melamar di penerbit, aku juga melamar sebagai seorang CS di sebuah universitar di Bogor.  

Aku dinyatakan diterima kerja setelah melewati  tes tulis dan wawancara di dua tempat yang aku lamar. Namun setelah mendapat wejangan dari orang-orang terdekat serta mempertimbangkan dua pekerjaan tersebut, aku mengambil pekerjaan sebagai editor. Allah mengabulkan doaku; semoga aku mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari buku.

Bapak merestui. Sedangkan Ibu awalnya nampak kurang setuju dengan keputusanku ini. Tapi, bukankah ini sebuah peluang emas?. Menjadi editor buku berarti menghasilakan karya. Maksudnya ketika buku yang dikerjakan terbit, maka ada nama seorang editor tertulis di dalam buku tersebut. Aku tidak peduli soal harus berjejalan di kereta pada jam sibuk nantinya. Sebab jaraknya dari Bogor pun tidak terlalu jauh. Kurang lebihnya memakan waktu 45 menit saja. Jadi tidak masalah jika harus pulang-pergi. Dan lambat laun Ibu pasrah dengan keputusanku. Ibu bilang, “Iyyaa, Ibu pasrah. Cuma bisa doain.” Aku tahu seorang ibu selalu mendoakan anak-anaknya. Berharap anak-anaknya mendapatkan yang terbaik dalam hidup. Terima kasih atas doanya, Bu. Te-ri-ma ka-sih.

Kabar Gembira

Setelah sekitar dua minggu bekerja, atasanku tiba-tiba menghampiri dan memintaku untuk menulis sebuah buku anak yang modelnya begini dan begitu. Dalam hati aku bilang, seriussss? Ini seperti sebuah tantangan, sebuah kejutan, sebuah kabar gembira.  Buuum! Meletup di telingaku. Aku bersemangat bukan main, meski awalnya tidak tahu harus bagaimana konsep bukunya.  Dengan senang hati kuterima tantangan tersebut.  

Kupikir menjadi seorang editor tugasnya hanya mengedit naskah dan menulis blurb/sinopsis di sampul belakang buku. Tapi ditempatku bekerja, naskah sebanyak 30% disediakan oleh redaksi.

Sebuah Nama di Sampul Depan Buku

Setelah seminggu lebih selalu menemukan jalan buntu soal naskah yang harus ditulis. Atasanku berbaik hati mengajak ke toko buku. Selain ada pekerjaan di sana, katanya barangkali aku perlu mencari inspirasi soal buku yang akan ditulis. Kumulai menulis naskahnya beberapa hari kemudian setelah mendapat ilham dari pengalaman-pengalaman selama menjadi guru PAUD.
Proses panjang harus dilalui, dari menulis, edit, revisi, revisi, revisi dan revisi, hingga proofreading. Alhamdulillah, akhir Desember 2018 kemarin bukunya terbit dan ada di toko-toko buku. Tidak hanya satu buku yang terbit. Tapi dua sekaligus! Dan ini aku persembahkan untuk Bapak dan Ibu.

***

Sebenarnya aku tidak punya kata-kata untuk menggambarkan semua ini. Tapi Dia Maha Sempurna.
Seni Seviyorum  memang tidak terbit. Namun hasrat untuk menerbitkan buku, paling tidak satu seumur hidup, masih kurawat dengan baik. Aku yang menolak menjadi guru pada awalnya, malah seperti rela begitu saja ketika ada tawaran masuk. Guru PAUD pula, yang murid-muridnya usia 4-6 tahun.

Allah, jalan hidupku sudah dirancang sedemikian rupa oleh-Nya. Dengan baik dan rapi. Segala bahasa seolah menguap ke udara sewaktu aku menyadari ini semua. Bahwa beginilah Allah memberikan jalan. Kata ibu untuk menuju angka sepuluh, maka harus melewati angka satu, dua, tiga, hingga seterusnya.  Aku tidak pernah berencana untuk menjadi seorang guru, tapi kenyataannya yang aku alami malah sebaliknya. Aku tidak pernah berencana menerbitkan buku anak, tapi kenyataannya malah sebaliknya. Aku berenca untuk menerbitkan sebuah buku pada mulanya, tapi Allah memberiku bonus tambahan bahwa yang terbit sekaligus dua. Aku tidak pernah berencana untuk menjadi seorang editor buku, tapi beginilah cara Allah menuntunku untuk menggapai cita-cita pertama.

Bu, Pak... semoga ini menjadi kejutan yang menggugurkan luka lama. Doakan anakmu selalu....

Bogor, 13 Februari 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...