Jangan Jauhkan Aku
dari Buku
Tidak menyesal rasanya memutuskan bergabung menjadi relawan
di taman baca Cinta Baca. Selain menjadi guru PAUD, banyak pengalaman lain yang
aku dapatkan; bertemu dan berkomunikasi dengan orang asing, menjadi pembawa
acara di sebuah acara besar, terlibat di
berbagai acara, mengikuti pelatihan, hingga menjadi salah satu story teller di
acara soft launching perpustakaan tersebut sewaktu selesai direnovasi.
Pada kesempatan lain, aku turut terlibat dalam pekerjaan automasi
buku-buku yang masuk ke perpustakaan. Sederhananya mengkategorikan buku-buku
sesuai genrenya. Sebut saja sebagai pustakawan. Aku dengar bidang ini ada
jurusannya di sebuah universitas ternama di Indonesia. Alhamdulillah, aku bisa
belajar dan mempraktikannya langsung secara cuma-cuma di Cinta Baca (kepada
Miss Clara, terima kasih atas bimbingannya selama ini).
Aku mulai menyukai buku sejak menulis Seni Seviyorum. Setumpuk lembar kertas yang dijilid tersebut punya
daya tarik tersendiri bagiku. Maka aku yang baru lulus kuliah pada Mei tahun 2018
lalu, mulai “berdoa” semoga mendapatkan pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari
buku.
Hingga suatu hari ada sebuah postingan di instagram mengenai
lowongan pekerjaan sebagai editor buku anak di sebuah penerbit di Jakarta.
Kriterianya kurang lebih seperti ini: guru PAUD/ punya pengalaman di bidang
tersebut, bisa bahasa inggris, bisa menulis, dan S1. Sesuai! Batinku. Tanpa ba-bi-bu segera kubuat lamaran. Selain
melamar di penerbit, aku juga melamar sebagai seorang CS di sebuah universitar
di Bogor.
Aku dinyatakan diterima kerja setelah melewati tes tulis dan wawancara di dua tempat yang
aku lamar. Namun setelah mendapat wejangan dari orang-orang terdekat serta mempertimbangkan
dua pekerjaan tersebut, aku mengambil pekerjaan sebagai editor. Allah
mengabulkan doaku; semoga aku mendapatkan
pekerjaan yang tidak jauh-jauh dari buku.
Bapak merestui. Sedangkan Ibu awalnya nampak kurang setuju
dengan keputusanku ini. Tapi, bukankah ini sebuah peluang emas?. Menjadi editor
buku berarti menghasilakan karya. Maksudnya ketika buku yang dikerjakan terbit,
maka ada nama seorang editor tertulis di dalam buku tersebut. Aku tidak peduli
soal harus berjejalan di kereta pada jam sibuk nantinya. Sebab jaraknya dari
Bogor pun tidak terlalu jauh. Kurang lebihnya memakan waktu 45 menit saja. Jadi
tidak masalah jika harus pulang-pergi. Dan lambat laun Ibu pasrah dengan
keputusanku. Ibu bilang, “Iyyaa, Ibu pasrah. Cuma bisa doain.” Aku tahu seorang
ibu selalu mendoakan anak-anaknya. Berharap anak-anaknya mendapatkan yang
terbaik dalam hidup. Terima kasih atas doanya, Bu. Te-ri-ma ka-sih.
Kabar Gembira
Setelah sekitar dua minggu bekerja, atasanku tiba-tiba
menghampiri dan memintaku untuk menulis sebuah buku anak yang modelnya begini
dan begitu. Dalam hati aku bilang,
seriussss? Ini seperti sebuah tantangan, sebuah kejutan, sebuah kabar
gembira. Buuum! Meletup di telingaku. Aku
bersemangat bukan main, meski awalnya tidak tahu harus bagaimana konsep
bukunya. Dengan senang hati kuterima tantangan tersebut.
Kupikir menjadi seorang editor tugasnya hanya mengedit
naskah dan menulis blurb/sinopsis di sampul belakang buku. Tapi ditempatku
bekerja, naskah sebanyak 30% disediakan oleh redaksi.
Sebuah Nama di Sampul
Depan Buku
Setelah seminggu lebih selalu menemukan jalan buntu soal
naskah yang harus ditulis. Atasanku
berbaik hati mengajak ke toko buku. Selain ada pekerjaan di sana, katanya barangkali
aku perlu mencari inspirasi soal buku yang akan ditulis. Kumulai menulis
naskahnya beberapa hari kemudian setelah mendapat ilham dari
pengalaman-pengalaman selama menjadi guru PAUD.
Proses panjang harus dilalui, dari menulis, edit, revisi, revisi,
revisi dan revisi, hingga proofreading. Alhamdulillah,
akhir Desember 2018 kemarin bukunya terbit dan ada di toko-toko buku. Tidak hanya
satu buku yang terbit. Tapi dua sekaligus! Dan ini aku persembahkan untuk Bapak
dan Ibu.
***
Sebenarnya aku tidak punya kata-kata untuk menggambarkan semua
ini. Tapi Dia Maha Sempurna.
Seni Seviyorum memang tidak terbit. Namun hasrat untuk
menerbitkan buku, paling tidak satu seumur hidup, masih kurawat dengan baik. Aku
yang menolak menjadi guru pada awalnya, malah seperti rela begitu saja ketika
ada tawaran masuk. Guru PAUD pula, yang murid-muridnya usia 4-6 tahun.
Allah, jalan hidupku sudah dirancang sedemikian rupa
oleh-Nya. Dengan baik dan rapi. Segala bahasa seolah menguap ke udara sewaktu
aku menyadari ini semua. Bahwa beginilah Allah memberikan jalan. Kata ibu untuk
menuju angka sepuluh, maka harus melewati angka satu, dua, tiga, hingga
seterusnya. Aku tidak pernah berencana
untuk menjadi seorang guru, tapi kenyataannya yang aku alami malah sebaliknya. Aku
tidak pernah berencana menerbitkan buku anak, tapi kenyataannya malah
sebaliknya. Aku berenca untuk menerbitkan sebuah buku pada mulanya, tapi Allah
memberiku bonus tambahan bahwa yang terbit sekaligus dua. Aku tidak pernah
berencana untuk menjadi seorang editor buku, tapi beginilah cara Allah
menuntunku untuk menggapai cita-cita pertama.
Bu, Pak... semoga ini menjadi kejutan yang menggugurkan luka
lama. Doakan anakmu selalu....
Bogor, 13 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar