Langsung ke konten utama

NYATANYA INI SEMUA BUKAN FIKSI

 
Perjalan menuju Jogja

Bagian 1 : Tentang Rindu Sama Kamu
Rabu, 29 Maret 2017. H+3 Kampus Fiksi Angkatan 20

Pukul setengah sebelas aku masih duduk manis dalam angkot menuju kampus. Aku merasa tenang, setenang hembusan angin Kota Hujan kala itu. Sebab kupikir kelas dimulai pukul sebelas. Tidak akan terlambat, begitu pikirku.

Pukul 10:56 (aku tidak tahu tepatnya menit keberapa mungkin menit 56/57/atau 58. Sumpah, bagian ini tidak penting) akhirnya tibalah raga ini di kelas. Tapi ada yang aneh: kelas sudah dimulai. Dosen sedang menjelaskan materi tentang iklan. Aku masuk kelas dengan tenang, setenang anggapanku bahwa aku tak bersalah. Tidak terlambat. Dosen hanya melirik sekilas kemudian sibuk kembali mengajar. Tapi ada tatapan ganjil di mata dosenku itu. What happen? Aya naon? Ono opo toh?

Sementara beberapa mahasiswa menatapku sekilas. Mungkin satu-dua orang merasa shock melihat kedatanganku.
Hey! Ada masalah apa? Aku tepat waktu!
Kutahu kalian sudah rindukan aku! İya, kan?

Sebab kelas sudah penuh, dan tidak ada lagi tempat duduk, mau tak mau aku harus menyeret bangku kosong di kelas sebelah. Dengan perasaan yang tenang, setenang suasana kelas kala itu, aku sempurna duduk. (Sudah berapa kali aku menyebutkan kata "tenang", gaes?)
“Tumben telat?” Vero tiba-tiba bertanya (sambil berbisik tentunya). Dia duduk disebelahku.
“Telat? Aku enggak telat kali. Lihat ini jam 10:59. Masuk jam sebelas, kan?” aku percaya diri.
Kemudian Vero menjawab dengan tatapan wajah yang sulit sekali digambarkan. Kira-kira dia bilang begini, “Kamu telat tiga puluh menit!”
“APA?!!!! Tiga puluh menit?!” aku shock, gaesss, mataku melotot, “bukannya kelas Analisis Wacana masuk jam sebelas?”

Kamu tahu? Butuh beberapa detik aku menyadari bahwa aku gagal fokus. Bukankan tadi di rumah (sebelum mandi) aku bilang sama ibu bahwa ada kelas pukul 10:30? Lantas, kenapa jadi begini? Bersyukur sekali dosen tak mengusirku dari kelas. Kalau ya, sia-sia lah aku datang ke kampus hari itu. Maaf ya bu Tami ( (pesan ini teruntuk dosenku tercinta).

Cukup sudah! Ternyata bukan hanya tentang rindu yang kubawa pulang ke Bogor, tapi juga KEMICINAN! Cukup di Jogja saja aku micin. Tak perlu kemicinan ini dibawa sampai ke dalam kehidupanku. (Mungkin kalau dijadikan judul cerita begini “MICIN YANG TAK DIRINDUKAN” halahhh.....!)

Semicin itukah diriku?

Sayangnya ini bukan hanya tentang micin. Lebih dari itu...

Pagi di tanggal 29 Maret 2017 mendadak buatku melankolis. Hati menjadi gundah tak menentu. Duduk selonjoran sambil menikmati drama Bollywood rupanya tak membuat jiwa dan pikiranku tenang bak di surga. Sempurna masih tertuju pada kisah-kisah di Jogjakarta. Padahal jelas-jelasa ku sudah di Bogor, dan harus segera move on dari Kota Istimewa. Aduh, kenapa pula kata-kata move on jadi bagian catatan absurd ini? Nanti-nanti kamu juga tahu bahwa kata-kata itu akan menjadi salah satu bagian penting dari catatan ini.

Rindu. Satu kata itu berhasil mengoyak dada. Membuatnya sesak. Nyeri bagai ditikam pedang. Rasanya tidak ada kata terbaik lain untuk menjelaskan tentang apa yang menggelayuti hati dan pikiranku. Kampus Fiksi jelas-jelas sudah berakhir di hari Minggu malam. Tiga hari yang lalu. Namun, rindu sukses membuatku seperti patah hati. Menyeretku pada lorong waktu yang tak sudi kubuang di tong masa lalu.
Aku mulai menerka-nerka; jangan-jangan ini bukan hanya tentang Kampus Fiksi yang kurindukan. Bagaimana jika ada tokoh-tokoh di dalamnya, yang begitu spesial sehingga bagai memetik bintang di angkasa, mustahil dilupakan?

Faktanya, Rindu itu sungguhan. Bukan fiksi.

Maka pagi itu juga takdir membuat jemari ini menuliskan sebuah puisi:

Boleh tidak aku mengakui sesuatu?
Perihal kau mau percaya atau tidak, aku tak peduli.
Aku sedang rindu. Dan ini bukan rindu murahan yang hanya lewat sehembusan angin.
Aku tidak tahu kalau rindu juga rasanya bisa seperti patah hati.
Menyesakkan sekali seperti ditusuk duri atau buluh bambu.
Di hujam ke dasar dengan sempurna.
Bogor, 29 Maret 2017

BERSAMBUNG...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...