Langsung ke konten utama

SYAHADAT CINTA DI UJUNG SENJA oleh Fitri Nurul Aulia



Detak jarum jam yang terus melangkah menggema ke seluruh ruangan bercat putih. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Seorang Gadis masih sibuk membenahi sebuah toko busana muslimah milik bibinya yang terletak di jalan Istiklal Street, daerah Taksim, Istanbul. Setelah selesai berbenah, Gadis berparas timur tengah itu bergegas meraih mantel berwarna coklatnya, yang tak jauh dari meja kasir tempat yang ia duduki sekarang. Tak lupa, ia juga melingkarkan syal tebal berwarna putih di lehernya yang senada dengan warna hijabnya. Maklum, di luar sana, salju di bulan Desember sedang turun dengan derasnya—hingga kota bak di selimuti dengan mantel putih nan bersih namun beraura kaku. Gadis itu tak akan rela jika tubuhnya diselimuti rasa dingin yang menusuk tulang dan membekukan persendian.
Setelah menggembok rapi pintu pagar toko, segera ia melesat meniggalkan toko menuju apartemen yang ditinggalinya bersama paman dan bibinya. Turunnya salju yang disertai hembusan angin malam, menambah suasana semakin membeku saja. Ujung-ujung jari tangannya terasa mati rasa walau sudah dibungkus dengan sarung tangan berwarna hitam. Membeku kaku. Gadis itu menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku yang terdapat di depan mantelnya. Tapi, tetap saja tak mampu menghangatkan keduanya. Sambil melangkah cepat, ia sesekali menepuk, menggosok, bahkan meniupi kedua tangannya agar tetap hangat. Namun, tetap saja, hawa dingin masih mengalahkan pelbagai cara yang dilakukan Gadis itu.
Wajah cantiknya yang terbungkus hijab, merah merona diterpa hawa dingin yang mengigil. Sesekali ia berjalan menunduk. Memperhatikan jalanan yang tertutup terbungkus oleh salju putih tebal. Gadis itu tak sengaja menendang sesuatu berukuran persegi panjang. Sebuah buku. Ia berjongkok, lalu meraihnya. Ternyata itu sebuah paspor. Sebuah paspor yang sampul depannya sudah rusak. Banyak goresan di sampul depannya. Milik siapa? Untuk membunuh rasa penasarannya, Gadis itu membuka halaman pertama. Tertera sebuah nama, Janine Hanschel. Ia membaca satu-satu data yang tercetak. Rahangnya mengeras menunjukkan kemarahan seketika. Kedua matanya menyipit menyimpan segudang cerita. Wajah cantiknya seolah terbakar oleh amarahnya. Paspor itu milik seorang warga kenegaraan Israel. Secepat kilat ia membanting paspor itu ke tanah.
Wajahnya ia luruskan menatapa jalanan yang semakin sepi saja. Bahkan, di tempat ia berdiri tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Tak jauh dari tempatnya berpijak, sekitar tiga meter darinya, berserakan barang-barang seperti; tas, dompet, handphone yang sudah hancur, kaca mata, dan sebagainya. Ia berjalan perlahan, kemudian matanya tertohok menatap bercak-bercak darah yang berceceran. Darah siapa? Ia melangkah lebih cepat, hingga menemukan sosok perempuan berambut pirang yang sedang terluka parah di kening dan di kaki kanannya.
“Kau Janine Hanschel dan kau seorang Israel?” Wajah Gadis itu tak menunjukkan keramah-tamahannya.
“Iya...” ucap wanita yang bernama Janine itu lirih. Suaranya terdengar serak seolah kehabisan tenaga. “Tolong aku... aku ditabrak seseorang yang tidak bertanggung jawab. Tolong... bawa aku ke rumah sakit....” Janine memohon. Darah segar terus mengalir dari keningnya.
Gadis itu menggeleng keras. Air matanya tumpah seketika. Memorinya melayang pada kejadian lima tahun yang lalu. Tragedi yang sungguh tak kuasa ia lupakan. Tragedi yang sungguh menyayat hatinya. Tragedi yang terjadi lima tahun yang lalu yang telah merampas orang-orang tersayang dari pelukannya. Sebuah agresi dua puluh dua hari yang dilancarkan Israel yang pecah pada tanggal 27 Desember 2008 sampai 17 Januari 2009, yang menelan korban sebanyak 1000 lebih. Bagaimana mungkin Gadis itu menerimanya? Ayah, Ibu, dan kelima saudaranya tewas seketika terkena bom yang dijatuhkan Israel dalam agresi itu. Ia juga kehilangan teman-temannya. Semuanya terbunuh di hari pertama agresi lima tahun lalu itu. Dan hanya dia satu-satunya yang selamat, hingga paman dan bibinya yang tinggal di Istanbul, Turki, membawa dirinya keluar dari Gaza.
Abi... Ummi...” Gadis itu menyeka air matanya.
“Tolong aku...” Janine masih memohon. Suaranya semakin menghilang.
Sekali lagi, Gadis itu menggeleng keras, “Kalian telah membunuh keluargaku. Kalian juga telah membunuh teman-temanku. Kalian juga telah membunuh orang-orang tak berdosa itu!” Tanpa basa-basi Gadis itu meninggalkan Janine yang sudah seperti seonggok daging yang membeku. Ia berlari di bawah derasnya salju yang turun. Oh Allah... Engkau tahu betapa sakitnya aku saat itu. Aku kehilangan orang-orang yang sangat aku cintai. Air mata terus mengiringi setiap derap langkahnya.
Tiba-tiba Gadis itu menghentikan langkah kakinya. Ia menengadahkan wajahnya menatap langit. Sesekali ia mengerjapkan kedua matanya. Ia seka air matanya. Gadis itu menoleh kebelakang sekilas, menatap wanita Israel itu. Oh Allah, benarkah tindakan yang aku lakukan? Sedangkan RasulMu selalu menolong sesama. Walaupun itu musuh Islam.Tapi sungguh aku tak rela Ya Allah...   
Kemudian pikirannya melayang pada utusan Allah, Muhammad saw. Cerita yang indah mencerminkan akhlak Rasulullah. Kisah Rasulullah dan pengemis Yahudi buta yang selalu mencaci maki Rasulullah setiap harinya. Namun, setiap pagi Rasul mendatangi dirinya sambil membawakan makanan, kemudian menyuapi pengemis itu tanpa berbicara sedikitpun pada pengemis Yahudi itu. Hingga kemudian pengemis itu bersyahadat. Kemudian, kisah Rasulullah saw. yang dengan senang hati mempersilahkan seorang pemuda Yahudi tinggal serumah dengannya tanpa ada cacian, paksaan yang dilontarkan Rasul. Justru keramah-tamahan yang ada. Kemudian pemuda Yahudi itu bersyahadat pula diujung hayatnya. Juga kisah antara Rasulullah dengan pemuda Yahudi Zaid Bin Su’nah, yang ketika itu Zaid menagih hutang pada Rasulullah dengan cara yang kasar. Namun, Rasul mampu menahan rasa amarahnya terhadap Zaid dan tetap memberi keramahan pada pemuda yang telah bersikap kasar padanya, hingga Zaid bersyahadat karena terpesona perangai Rasul yang mahaindah. Duhai Rasulullah... engkau memang rahmat bagi seluruh alam. Perangaimau merupakan contoh bagi umat manusia sepanjang zaman.
“Setiap hari adalah hari baru, maka berusahalah untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Lakukanlah kebaikan hari ini walaupun hanya satu kali, karena belum tentu kau memiliki hari esok untuk berbuat kebaikkan. Kita hanya makhluk Allah yang berusaha menjadi seorang hambaNya untuk selalu bermuhasabah diri, juga memberikan manfaat. Tak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk sesama makhluk Allah.” Perkataan yang diucapkan ibunya kembali menggema dikedua telinganya. Ya Ummi...
Gadis itu berlari kenjang menuju jalan raya. Ia memutar pandangan ke kiri dan ke kanan berharap menemukan taksi untuk membawa raga Janine ke rumah sakit. Beruntunglah, tak lama kemudian ia mendapati sebuah taksi berwarna kuning dari kejauhan. Gadis itu melambaikan tangannya hingga membuat taksi yang ada di hadapannya berhenti.
“Tolong... tolong bantu aku!”
“Ada apa?”
“Di sana ada yang terkapar penuh darah. Kau harus menolongku!” Gadis itu menunjukkan tempat Janine yang tengah terkapar, kemudian menaiki taksi itu.
“Oh tentu, Nona.” Pengemudi taksi itu langsung menancapkan pedal gas menuju tempat yang dituju.
Ketika sampai, buru-buru Gadis dan supir taksi itu menghampiri Janine.
Alhamdulillah, dia masih hidup. Dia harus segera di bawa ke rumah sakit. Darahnya terlalu banyak keluar. Bisa mati kehabisan darah dia. Selain itu, dia juga bisa mati kedinginan di sini,” kata supir taksi itu, kemudian membopong tubuh Janine ke dalam taksi.
“Ayo cepat!” singkat Gadis itu.
Taksi itu melaju cepat menembus salju menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Gadis itu bertasbih sambil terus berdoa semoga Janine selamat. Ia menitikan air mata.
            Sesampainya di rumah sakit, Janine langsung di bawa ke ruang unit gawat darurat.
            “Semoga ia baik-baik saja. Terus berdoa pada Allah, Nona. Insya Allah, semua akan baik-baik saja,” tukas supir taksi itu kemudian mengucapkan salam dan berlalu meninggalkan Gadis itu.
            Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Gadis itu memutuskan untuk tidak meninggalkan rumah sakit sampai Janine dalam keadaan baik-baik saja. Tak lama kemudian, ponsel milik sang Gadis memekik.
            Assalamu’alaikum, Bibi Wafa.”
            Wa’alaikum salam, Mona. Kamu di mana? Bibi mengkhawatirkanmu. Sudah pukul dua belas ini.”
            Gadis yang bernama Mona itu meminta maaf pada Bibinya, kemudian menceritakan kejadian sesungguhnya dengan detail pada Bibinya.
            Innalillahi. Kalau begitu, Bibi dan Paman Sami akan kesana sekarang.”
            “Tak usah. Biar Mona saja yang menjaga Janine. Bibi dan Paman istirahat saja. Lagi pula, salju di luar turun sangat deras.”
            “Tidak bisa, Mona. Kamu juga butuh istirahat. Kami tidak apa-apa. Kami akan kesana, OK?”
            “Tapi, Bi...” telpon terputus begitu saja.
Mona menghempaskan tubuhnya di atas kursi abu-abu di depan ruang UGD. Mona sudah tak bisa mencegah Paman dan Bibinya untuk datang kemari. Mona menggenggam erat paspor milik Janine yang tadi ia pungut lagi. Mata Mona sudah terlihat sayu. Sesekali ia menguap. Rasa kantuk sudah mengetuk matanya kini, namun ia tahan.
Tiga puluh menit kemudian, Paman dan Bibinya tiba di rumah sakit. Mereka berdua berlari kecil menghampiri keponakannya, Mona.
“Mona! Kamu baik-baik saja, Nak?” Bibi Wafa langsung memeluk Mona tanpa basa-basi.
“Mona tidak apa-apa.” Mona melepaskan pelukan Bibinya.
“Apa dia baik-baik saja?” timpal Paman Sami.
“Semoga saja. Dokter belum keluar dari ruangan itu.” Mona menguap. Kali ini benar-benar tak bisa ia tahan rasa kantuk yang telah merajai dirinya. Dia kelelahan.
“Ayo duduk. Kamu butuh tidur,” ajak Bibi Wafa.
Mona hanya tersenyum mengiyakan. Lalu mereka bertiga duduk di kursi yang berjejer di depan ruang UGD. Mona tertidur.
Sudah satu jam lebih Mona, Bibi Wafa, dan Paman Sami menunggu. Dokter belum keluar juga. Yang ada hanya suster-suster yang bolak-balik masuk ruangan UGD sambil membawa alat-alat medis. Namun, mereka tetap menunggu Janine yang tak memilki hubungan darah setetes pun dengan mereka.
Jam sudah menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit dini hari. Dari mereka bertiga, hanya Paman Sami yang masih terjaga. Sementara Mona dan Bibi Wafa tidur saling berpelukan. Selang beberapa menit, seorang Dokter yang memakai seragam hijau berkumis tipis keluar. Paman Sami lekas berdiri menghampiri Dokter itu. hingga membangunkan Bibi Wafa.
Alhamdulillah, semua lancar. Untung saja dia dibawa kemari tepat waktu. Jika tidak, mungkin semuanya akan terlambat.” kata Dokter itu.
Alhamdulillah,” lirih Paman Sami mengucap kalimat syukur.
Mona terbangun dari tidurnya, ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian keduanya menghampiri Paman Sami yang tengah berbincang dengan Dokter.
“Tapi... dengan sangat terpaksa kami mengamputasi kaki kanannya. Kaki kanannya tak bisa kami selamatkan. Kaki kanannya terluka parah, bahkan tulang keringnya remuk,” kata Dokter itu dengan guratan wajah menyesal.
Astaghfirullah, Ya Allah...” lirih Bibi Wafa.
Mona terkejut sambil membulatkan kedua bola matanya, “Tapi dia tidak apa-apa kan, Dok? Tidak ada hal serius yang menimpanya?”
            Dokter itu tersenyum tipis seraya berkata, “Alhamdulillah, atas izin Allah semuanya baik-baik saja. Hanya saja, ia harus kehilangan kaki kanannya.”
Bibi Wafa mengelus-elus pundak Mona lembut—menenangkan Mona.
***
            Sudah dua hari Mona tidak bekerja di toko busana muslimah milik Bibi Wafa. Bibi Wafa yang menggantikan Mona untuk sementara. Ini demi Janine. Kemarin Janine belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Matanya masih tertutup rapat dengan alat medis yang terpasang disana-sini dibagian tubuhnya. Hari ini, Mona berharap wanita Israel itu akan merekahkan matanya. Semoga.
            Perlahan Mona membuka pintu ruang tempat dimana Janine dirawat. Ia melihat seorang suster disana. Mona mengangkat kedua sudut bibirnya sambil mengucap salam, “Assalamu’alaikum.”
            Wa’alikum salam,” kata suster berpakaian putih itu.
            “Bagaimana kabar temanku?”
            Alhamdulillah, ia membaik. Baru saja ia siuman.” Suster itu mengembangkan senyuman lebar hingga sederet gigi putihnya terlihat.
            “O ya? Syukur Alhamdulillah.” Mona tersenyum bahagia. Ia benar-benar bahagia mendapati bahwa Janine siuman. Terima kasih Allah...
            “Kalau begitu, saya permisi keluar. Assalamu’alaikum.”
  Mona membalas salam sang suster, kemudian melangkah mendekati tubuh Janine. Ia tersenyum melihat kedua mata Janine. Tatapan Mona jauh berbeda ketika ia menemukan Janine yang sekarat di antara salju tebal tiga hari lalu. Seulas senyuman tulus yang dilukiskan wajahnya. Tanpa rasa amarah di ruang hatinya. Janine tersenyum kecil.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku... seperti yang kau lihat. Aku kehilangan kaki kananku.” ucap Janine parau.
“Bersyukurlah karena diluar sana banyak yang tidak memiliki keduanya.” Mona mengelus kepala Janine.
Janine menangis terisak. Mona berusaha menenangkannya. Mona tahu bagaimana rasa kehilangan itu. Itu seperti jarum yang tajam menusuk-nusuk hatinya tiada ampun, bahkan lebih sakit dari itu.
“Kau harus banyak istirahat, bukan? Tidurlah. Kau tidak boleh berbicara terlalu banyak. Semoga kamu lekas sembuh.”
“Terima kasih...” Janine merasa seperti dalam perisai keamanan. Mona seolah seperti pelindung buatnya. Penghibur sejati memilik jiwa berperi.
“Maaf, aku tidak bisa berlama-lama di sini untuk menemanimu. Aku harus pergi.”
“O ya, namamu siapa?”
Mona menghelas nafas seraya tersenyum ramah, “Namaku Mona al Asykar, dan aku seorang Palestina.” Mona berlalu meninggalkan Janine.
            Air mata dari sudut mata Janine meluncur begitu saja. Ia menangis tersedu-sedu mendengar kalimat terakhir dari Mona sebelum ia tenggelam di balik pintu. Mona seorang muslim Palestina yang telah menyelamatkan dirinya dari genggaman malam yang kaku-beku.
***
Hari berlalu begitu cepat. Keadaan Janine berangsur membaik. Perkembangannya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan Dokter. Pihak rumah sakit sudah membolehkan Janine pulang sejak tiga hari yang lalu. Mona dengan setia menemani Janine. Dan dengan senang hati Janine diterima Paman Sami, Bibi Wafa, juga Mona—tanpa memandang latar belakang Janine.
Sore itu Mona menemani Janine berjalan-jalan di pinggiran Selat Bosphorus yang membeku terselimuti salju-salju dipinggirannya. Selat yang memisahkan benua Asia dan Eropa. Dengan Setia Mona mendorong kursi roda yang diduduki Janine. Mona memberhentikan langkah kakinya tepat menghadap Selat Bosphorus yang banyak kapal feri yang tengah berlayar disana.
“Mona... kenapa malam itu kau kembali dan menyelamatkanku?” tanya Janine.
“Aku teringat ucapan Ibuku. Ibu selalu bilang kita harus senantiasa memperbaiki diri sendiri setiap harinya. Juga menjadi orang yang bermanfaat untuk diri sendiri juga orang lain. Jika aku tak menolongmu malam itu, sungguh aku orang yang paling sombong di dunia ini. Karena aku tak memiliki hak secuil pun untuk berbuat jahat pada orang lain. Allah selalu memerintahkan hambaNya agar selalu berbuat baik pada sesama makhluk. Aku hanya berusaha untuk menjadi manusia yang baik.” Mona menitikan air mata.
Janine terenyuh mendengar kalimat-kalimat yang disabdakan Mona.
“Ibumu...?”
“Semua keluargaku tewas terkena bom dihari pertama agresi Israel lima tahun lalu. Termasuk ibuku. Aku satu-satunya selamat diantara mereka. Tapi aku bahagia, karena mereka kembali kepada Allah dengan senyuman indah. Mereka tak perlu lagi mendengar dentuman bom dan segala keributan yang meluluhlantakan Gaza.”
Janine kembali menangis, “Maafkan aku... sungguh... Sekarang aku mengerti bagaimana sakitnya kehilangan itu. Namun kau lebih tangguh dariku yang hanya kehilangan kaki kananku,” Janine terisak.
“Aku juga minta maaf padamu, Janine. Tak seharusnya malam itu aku mencaci maki dirimu. Tolong maafkan aku...” Mona menutup kedua wajahnya.
“Kau salah, Mona. Kau pantas berlaku demikian padaku, karena aku memang pantas diperlakukan seperti itu. Aku seorang Yahudi yang paling membenci Islam. Tapi entah kenapa aku merasa kehilangan Tuhan. Aku juga merasa terganggu dengan status kewarganegaraanku. Setiap kali aku pergi keluar negeri, aku bertemu orang-orang baru. Ketika aku menyebut dari mana asalku, mereka langsung meneriakiku pembunuh tak berperi. Setiap hari aku selalu berusaha menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Namun semua yang aku lakukan tak bekerja sama sekali. Hingga aku sadar, pantaslah orang-orang menyebutku seorang pembunuh tak berperi yang tak punya hati. Lihat saja apa yang dilakukan negaraku! Aku hanya berdiam diri asyik menyaksikan bagaimana bom-bom itu meledak. Padahal aku bisa melakukan protes keras pada negaraku atas tindakan kejam itu. Sungguh aku termasuk orang yang tak punya hati!
“Hingga akhirnya... aku memutuskan pergi dari negaraku dan berkelana mencari kedamaian batin. Semuanya nihil. Kemudian kau temukan aku yang tengah sekarat di malam yang hampir membunuhku. Mungkin itu hukuman dari Tuhan. Seharusnya kau tidak menolongku malam itu, Mona... Kehidupanku hancur!” Air mata Janine meluncur dengan derasnya dari kelopak matanya.
Jemari mungil Mona dengan lembut menyeka air mata Janine, “Jika Nabi Muhammad saja bisa bersikap baik dan ramah pada orang Yahudi yang selalu menyakitinya, kenapa aku tidak? Aku hanya seorang hamba Allah biasa yang memegang ajaran tauhid dengan kalimat syahadat cinta di hatiku. Aku hanya berusaha untuk menjalankan amanah Allah agar terus berbuat baik dan memperbaiki diri.”
 “Kau sungguh seorang muslim yang berperangai indah, Mona. Kau menunjukkanku bagaimana Islam sesungguhnya. Agama yang damai, indah, dan agung yang jauh dari perkataan orang-orang di luar sana. Mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan sehingga aku mulai merasa kehadiranNya ketika bersamamu.”
Mentari sudah mulai menenggelamkan dirinya—kembali ke tempat peraduan. Garis-garis cahaya matahari melukiskan senja yang syahdu walau dibalut dengan hawa dingin yang menusuk.
“Mona... maukah kau memakaikan selendang ini sebagai hijab di atas kepalaku? Aku ingin cantik sepertimu.” Janine memberikan selendang yang sedari tadi memeluk bahunya dari sergapan hawa dingin.
“Tentu saja, Janine. Kau juga cantik.” Mona tak kuasa membendung air mata harunya.
“Mona... ajarkan aku bagaimana bunyi dari kalimat syahadat cinta itu. Kalimat yang senantiasa mengiringi langkahmu sehingga menjadikanmu sebagai manusia sejati. Aku ingin menjadi sepertimu yang senantiasa memperbaiki diri setiap harinya.” Janine tersenyum. Wajahnya basah oleh air mata yang sedari tadi terus meluncur dari bingkai matanya.
Subhanallah... Kau sungguh-sungguh?” Kedua tangan Mona menyentuh tangan kanan Janine.
Janine mengangguk tanpa ragu, “Aku ingin menjadi sebaik-baiknya hamba Tuhan di muka bumi ini. Aku telah menemukan Tuhan yang aku cari. Tolonglah lantunkan kalimat syahadat cinta itu!”

Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-na Muhammadarrasulullah,” ucap Mona tanpa ragu. Air mata bahagianya meleleh seketika, tak kuasa ia bendung. Ini terlalu indah, Ya Allah.
Kalimat tauhid yang dikumandangkan Mona, merekah di kedua bibir Janine tanpa ragu. Syahadat cinta itu yang mengiringi matahari di ujung senja. Kembali ke tempat peraduan.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3] : 190)
Tuhan, aku menemukanMu...


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebahagiaan Bertumpu pada Sate Ayam Madura

Perbedaan adalah keniscayaan. Setiap orang punya definisi tentang sesuatu yang berbeda. Contohnya, bagi si A sukses itu bisa bangun di pagi hari tanpa mematikan alarm lagi. Menurut si B, sukses itu ketika dia bisa punya gaji dua digit. Definisi sukses menurut si A dan si B itu tidak salah. Dua-duanya valid menurut pendapat masing-masing. Pada suatu hari, aku bersama lima temanku terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang laki-laki dari generasi boomers. Laki-laki itu mulanya bertanya satu per satu tentang pekerjaan kami. Oh ya, kebetulan aku dan empat temanku (kecuali satunya), belum menikah, kebetulan juga kami masih single. Laki-laki tua itu seolah mengasihani kami. Pertama karena gaji kami belum mentereng (padahal salah satu dari kami itu ada yang sudah punya usaha sendiri dan mampu beli mobil). Kedua, tentu saja karena kami masih single. Status single seolah-olah adalah sebuah petaka bagi si generasi boomers itu. Dan aku rasa, banyak juga generasi boomers berpikir hal yang sam...

Big Why

Punya "why" dalam hidup itu penting, gw rasa. Sebab ketika lu sudah tahu jawaban dari why yang lu punya, itu berarti lu sudah tahu tujuan lu. Oh, ya, "why" atau "big why" ini adalah oleh-oleh dari sebuah live instagram yang gw lakukan saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2023 lalu. Dalam live itu, gw bersama dua narasumber ngobrolin seputar sampah yang kian hari makin mengerikan. Kalau gw simpulkan, kita perlu tahu big why kita ketika hendak melakukan sesuatu.  Meski konteks ini sedang membicarakan sampah, tapi gw rasa bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Ini menjadi hentakan spesial buat gw. Selama ini gw kerap memulai melakukan sesuatu, tapi kandas di tengah jalan. Entah gw belum menemukan alasan yang jelas terkait dengan tujuan dari apa yang gw lakuin atau memang mental dan motivasi gw masih lembek, alias masih ogah-ogahan. Omong kosong belakang. Contoh sederhananya, gw kerap ditanya ketika ngobrol random deng...

KOLAK PISANG NAIRA oleh Fitri Nurul Aulia

Waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh sore ketika aku dan kelima temanku baru saja keluar dari kantor. Artinya, sekitar tiga puluh menit lagi menuju adzan maghrib untuk berbuka puasa. Sambil berjalan cepat, sesekali aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. “Sepertinya kita akan buka di jalan nih.” Kataku pada teman-teman. “Iya juga ya,” kata Raihan, salah satu temanku. Kami berhenti di sebuah taman kota, kemudian kami duduk di sebuah bangku kayu panjang. Aku sapu pandanganku mencari santapan untuk berbuka. Aku menyeringai senang, “Di sana ada bazar ramadhan tuh! Bagaimana kalau aku kesana?” Aku menatap sebuah tenda putih memanjang di seberang jalan. Teman-teman mengiyakan tawaranku. Aku segera melesat menuju bazar ramadhan di seberang jalan sana. Ketika sampai, aku celingak-celinguk, semua makanan sudah habis terjual. Sedikit kecewa. Aku putar pandanganku menatap teman-teman yang sedang menunggu di seberang jalan sana, berharap aku kembali ...