Detak
jarum jam yang terus melangkah menggema ke seluruh ruangan bercat putih. Jam
sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima belas menit. Seorang Gadis masih
sibuk membenahi sebuah toko busana muslimah milik bibinya yang terletak di
jalan Istiklal Street, daerah Taksim,
Istanbul. Setelah selesai berbenah, Gadis berparas timur tengah itu bergegas
meraih mantel berwarna coklatnya, yang tak jauh dari meja kasir tempat yang ia
duduki sekarang. Tak lupa, ia juga melingkarkan syal tebal berwarna putih di
lehernya yang senada dengan warna hijabnya. Maklum, di luar sana, salju di
bulan Desember sedang turun dengan derasnya—hingga kota bak di selimuti dengan
mantel putih nan bersih namun beraura kaku. Gadis itu tak akan rela jika
tubuhnya diselimuti rasa dingin yang menusuk tulang dan membekukan persendian.
Setelah
menggembok rapi pintu pagar toko, segera ia melesat meniggalkan toko menuju
apartemen yang ditinggalinya bersama paman dan bibinya. Turunnya salju yang
disertai hembusan angin malam, menambah suasana semakin membeku saja.
Ujung-ujung jari tangannya terasa mati rasa walau sudah dibungkus dengan sarung
tangan berwarna hitam. Membeku kaku. Gadis itu menenggelamkan kedua tangannya
ke dalam saku yang terdapat di depan mantelnya. Tapi, tetap saja tak mampu
menghangatkan keduanya. Sambil melangkah cepat, ia sesekali menepuk, menggosok,
bahkan meniupi kedua tangannya agar tetap hangat. Namun, tetap saja, hawa
dingin masih mengalahkan pelbagai cara yang dilakukan Gadis itu.
Wajah
cantiknya yang terbungkus hijab, merah merona diterpa hawa dingin yang mengigil.
Sesekali ia berjalan menunduk. Memperhatikan jalanan yang tertutup terbungkus
oleh salju putih tebal. Gadis itu tak sengaja menendang sesuatu berukuran
persegi panjang. Sebuah buku. Ia berjongkok, lalu meraihnya. Ternyata itu
sebuah paspor. Sebuah paspor yang sampul depannya sudah rusak. Banyak goresan
di sampul depannya. Milik siapa? Untuk membunuh rasa penasarannya, Gadis itu
membuka halaman pertama. Tertera sebuah nama, Janine Hanschel. Ia membaca
satu-satu data yang tercetak. Rahangnya mengeras menunjukkan kemarahan seketika.
Kedua matanya menyipit menyimpan segudang cerita. Wajah cantiknya seolah terbakar
oleh amarahnya. Paspor itu milik seorang warga kenegaraan Israel. Secepat kilat
ia membanting paspor itu ke tanah.
Wajahnya
ia luruskan menatapa jalanan yang semakin sepi saja. Bahkan, di tempat ia
berdiri tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Tak jauh dari tempatnya berpijak,
sekitar tiga meter darinya, berserakan barang-barang seperti; tas, dompet,
handphone yang sudah hancur, kaca mata, dan sebagainya. Ia berjalan perlahan,
kemudian matanya tertohok menatap bercak-bercak darah yang berceceran. Darah
siapa? Ia melangkah lebih cepat, hingga menemukan sosok perempuan berambut
pirang yang sedang terluka parah di kening dan di kaki kanannya.
“Kau
Janine Hanschel dan kau seorang Israel?” Wajah Gadis itu tak menunjukkan
keramah-tamahannya.
“Iya...”
ucap wanita yang bernama Janine itu lirih. Suaranya terdengar serak seolah
kehabisan tenaga. “Tolong aku... aku ditabrak seseorang yang tidak bertanggung
jawab. Tolong... bawa aku ke rumah sakit....” Janine memohon. Darah segar terus
mengalir dari keningnya.
Gadis
itu menggeleng keras. Air matanya tumpah seketika. Memorinya melayang pada
kejadian lima tahun yang lalu. Tragedi yang sungguh tak kuasa ia lupakan.
Tragedi yang sungguh menyayat hatinya. Tragedi yang terjadi lima tahun yang
lalu yang telah merampas orang-orang tersayang dari pelukannya. Sebuah agresi
dua puluh dua hari yang dilancarkan Israel yang pecah pada tanggal 27 Desember
2008 sampai 17 Januari 2009, yang menelan korban sebanyak 1000 lebih. Bagaimana
mungkin Gadis itu menerimanya? Ayah, Ibu, dan kelima saudaranya tewas seketika
terkena bom yang dijatuhkan Israel dalam agresi itu. Ia juga kehilangan
teman-temannya. Semuanya terbunuh di hari pertama agresi lima tahun lalu itu.
Dan hanya dia satu-satunya yang selamat, hingga paman dan bibinya yang tinggal
di Istanbul, Turki, membawa dirinya keluar dari Gaza.
“Abi... Ummi...” Gadis itu menyeka air
matanya.
“Tolong
aku...” Janine masih memohon. Suaranya semakin menghilang.
Sekali
lagi, Gadis itu menggeleng keras, “Kalian telah membunuh keluargaku. Kalian
juga telah membunuh teman-temanku. Kalian juga telah membunuh orang-orang tak
berdosa itu!” Tanpa basa-basi Gadis itu meninggalkan Janine yang sudah seperti
seonggok daging yang membeku. Ia berlari di bawah derasnya salju yang turun. Oh Allah... Engkau tahu betapa sakitnya aku
saat itu. Aku kehilangan orang-orang yang sangat aku cintai. Air mata terus
mengiringi setiap derap langkahnya.
Tiba-tiba
Gadis itu menghentikan langkah kakinya. Ia menengadahkan wajahnya menatap
langit. Sesekali ia mengerjapkan kedua matanya. Ia seka air matanya. Gadis itu
menoleh kebelakang sekilas, menatap wanita Israel itu. Oh Allah, benarkah tindakan yang aku lakukan? Sedangkan RasulMu selalu
menolong sesama. Walaupun itu musuh Islam.Tapi sungguh aku tak rela Ya Allah...
Kemudian
pikirannya melayang pada utusan Allah, Muhammad saw. Cerita yang indah
mencerminkan akhlak Rasulullah. Kisah Rasulullah dan pengemis Yahudi buta yang
selalu mencaci maki Rasulullah setiap harinya. Namun, setiap pagi Rasul
mendatangi dirinya sambil membawakan makanan, kemudian menyuapi pengemis itu
tanpa berbicara sedikitpun pada pengemis Yahudi itu. Hingga kemudian pengemis
itu bersyahadat. Kemudian, kisah Rasulullah saw. yang dengan senang hati
mempersilahkan seorang pemuda Yahudi tinggal serumah dengannya tanpa ada
cacian, paksaan yang dilontarkan Rasul. Justru keramah-tamahan yang ada. Kemudian
pemuda Yahudi itu bersyahadat pula diujung hayatnya. Juga kisah antara
Rasulullah dengan pemuda Yahudi Zaid Bin Su’nah, yang ketika itu Zaid menagih
hutang pada Rasulullah dengan cara yang kasar. Namun, Rasul mampu menahan rasa
amarahnya terhadap Zaid dan tetap memberi keramahan pada pemuda yang telah
bersikap kasar padanya, hingga Zaid bersyahadat karena terpesona perangai Rasul
yang mahaindah. Duhai Rasulullah...
engkau memang rahmat bagi seluruh alam. Perangaimau merupakan contoh bagi umat
manusia sepanjang zaman.
“Setiap
hari adalah hari baru, maka berusahalah untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Lakukanlah
kebaikan hari ini walaupun hanya satu kali, karena belum tentu kau memiliki
hari esok untuk berbuat kebaikkan. Kita hanya makhluk Allah yang berusaha
menjadi seorang hambaNya untuk selalu bermuhasabah diri, juga memberikan
manfaat. Tak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk sesama makhluk Allah.”
Perkataan yang diucapkan ibunya kembali menggema dikedua telinganya. Ya Ummi...
Gadis
itu berlari kenjang menuju jalan raya. Ia memutar pandangan ke kiri dan ke
kanan berharap menemukan taksi untuk membawa raga Janine ke rumah sakit.
Beruntunglah, tak lama kemudian ia mendapati sebuah taksi berwarna kuning dari
kejauhan. Gadis itu melambaikan tangannya hingga membuat taksi yang ada di
hadapannya berhenti.
“Tolong...
tolong bantu aku!”
“Ada
apa?”
“Di
sana ada yang terkapar penuh darah. Kau harus menolongku!” Gadis itu
menunjukkan tempat Janine yang tengah terkapar, kemudian menaiki taksi itu.
“Oh
tentu, Nona.” Pengemudi taksi itu langsung menancapkan pedal gas menuju tempat
yang dituju.
Ketika
sampai, buru-buru Gadis dan supir taksi itu menghampiri Janine.
“Alhamdulillah, dia masih hidup. Dia
harus segera di bawa ke rumah sakit. Darahnya terlalu banyak keluar. Bisa mati
kehabisan darah dia. Selain itu, dia juga bisa mati kedinginan di sini,” kata
supir taksi itu, kemudian membopong tubuh Janine ke dalam taksi.
“Ayo
cepat!” singkat Gadis itu.
Taksi
itu melaju cepat menembus salju menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang
perjalanan, Gadis itu bertasbih sambil terus berdoa semoga Janine selamat. Ia
menitikan air mata.
Sesampainya di rumah sakit, Janine
langsung di bawa ke ruang unit gawat darurat.
“Semoga ia baik-baik saja. Terus
berdoa pada Allah, Nona. Insya Allah,
semua akan baik-baik saja,” tukas supir taksi itu kemudian mengucapkan salam
dan berlalu meninggalkan Gadis itu.
Jarum jam sudah menunjukkan hampir
pukul dua belas tengah malam. Gadis itu memutuskan untuk tidak meninggalkan
rumah sakit sampai Janine dalam keadaan baik-baik saja. Tak lama kemudian,
ponsel milik sang Gadis memekik.
“Assalamu’alaikum,
Bibi Wafa.”
“Wa’alaikum
salam, Mona. Kamu di mana? Bibi mengkhawatirkanmu. Sudah pukul dua belas
ini.”
Gadis yang bernama Mona itu meminta
maaf pada Bibinya, kemudian menceritakan kejadian sesungguhnya dengan detail
pada Bibinya.
“Innalillahi.
Kalau begitu, Bibi dan Paman Sami akan kesana sekarang.”
“Tak usah. Biar Mona saja yang
menjaga Janine. Bibi dan Paman istirahat saja. Lagi pula, salju di luar turun
sangat deras.”
“Tidak bisa, Mona. Kamu juga butuh
istirahat. Kami tidak apa-apa. Kami akan kesana, OK?”
“Tapi, Bi...” telpon terputus begitu
saja.
Mona
menghempaskan tubuhnya di atas kursi abu-abu di depan ruang UGD. Mona sudah tak
bisa mencegah Paman dan Bibinya untuk datang kemari. Mona menggenggam erat
paspor milik Janine yang tadi ia pungut lagi. Mata Mona sudah terlihat sayu.
Sesekali ia menguap. Rasa kantuk sudah mengetuk matanya kini, namun ia tahan.
Tiga
puluh menit kemudian, Paman dan Bibinya tiba di rumah sakit. Mereka berdua
berlari kecil menghampiri keponakannya, Mona.
“Mona!
Kamu baik-baik saja, Nak?” Bibi Wafa langsung memeluk Mona tanpa basa-basi.
“Mona
tidak apa-apa.” Mona melepaskan pelukan Bibinya.
“Apa
dia baik-baik saja?” timpal Paman Sami.
“Semoga
saja. Dokter belum keluar dari ruangan itu.” Mona menguap. Kali ini benar-benar
tak bisa ia tahan rasa kantuk yang telah merajai dirinya. Dia kelelahan.
“Ayo
duduk. Kamu butuh tidur,” ajak Bibi Wafa.
Mona
hanya tersenyum mengiyakan. Lalu mereka bertiga duduk di kursi yang berjejer di
depan ruang UGD. Mona tertidur.
Sudah
satu jam lebih Mona, Bibi Wafa, dan Paman Sami menunggu. Dokter belum keluar
juga. Yang ada hanya suster-suster yang bolak-balik masuk ruangan UGD sambil
membawa alat-alat medis. Namun, mereka tetap menunggu Janine yang tak memilki
hubungan darah setetes pun dengan mereka.
Jam
sudah menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit dini hari. Dari mereka
bertiga, hanya Paman Sami yang masih terjaga. Sementara Mona dan Bibi Wafa tidur
saling berpelukan. Selang beberapa menit, seorang Dokter yang memakai seragam
hijau berkumis tipis keluar. Paman Sami lekas berdiri menghampiri Dokter itu.
hingga membangunkan Bibi Wafa.
“Alhamdulillah, semua lancar. Untung saja
dia dibawa kemari tepat waktu. Jika tidak, mungkin semuanya akan terlambat.” kata
Dokter itu.
“Alhamdulillah,” lirih Paman Sami
mengucap kalimat syukur.
Mona
terbangun dari tidurnya, ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian keduanya menghampiri Paman Sami yang tengah berbincang dengan Dokter.
“Tapi...
dengan sangat terpaksa kami mengamputasi kaki kanannya. Kaki kanannya tak bisa
kami selamatkan. Kaki kanannya terluka parah, bahkan tulang keringnya remuk,” kata
Dokter itu dengan guratan wajah menyesal.
“Astaghfirullah, Ya Allah...” lirih Bibi
Wafa.
Mona
terkejut sambil membulatkan kedua bola matanya, “Tapi dia tidak apa-apa kan,
Dok? Tidak ada hal serius yang menimpanya?”
Dokter itu tersenyum tipis seraya
berkata, “Alhamdulillah, atas izin
Allah semuanya baik-baik saja. Hanya saja, ia harus kehilangan kaki kanannya.”
Bibi
Wafa mengelus-elus pundak Mona lembut—menenangkan Mona.
***
Sudah dua hari Mona tidak bekerja di
toko busana muslimah milik Bibi Wafa. Bibi Wafa yang menggantikan Mona untuk
sementara. Ini demi Janine. Kemarin Janine belum menunjukkan tanda-tanda akan
siuman. Matanya masih tertutup rapat dengan alat medis yang terpasang
disana-sini dibagian tubuhnya. Hari ini, Mona berharap wanita Israel itu akan
merekahkan matanya. Semoga.
Perlahan Mona membuka pintu ruang
tempat dimana Janine dirawat. Ia melihat seorang suster disana. Mona mengangkat
kedua sudut bibirnya sambil mengucap salam, “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alikum
salam,” kata suster berpakaian putih itu.
“Bagaimana kabar temanku?”
“Alhamdulillah,
ia membaik. Baru saja ia siuman.” Suster itu mengembangkan senyuman lebar
hingga sederet gigi putihnya terlihat.
“O ya? Syukur Alhamdulillah.” Mona tersenyum bahagia. Ia benar-benar bahagia
mendapati bahwa Janine siuman. Terima
kasih Allah...
“Kalau begitu, saya permisi keluar. Assalamu’alaikum.”
Mona membalas
salam sang suster, kemudian melangkah mendekati tubuh Janine. Ia tersenyum
melihat kedua mata Janine. Tatapan Mona jauh berbeda ketika ia menemukan Janine
yang sekarat di antara salju tebal tiga hari lalu. Seulas senyuman tulus yang
dilukiskan wajahnya. Tanpa rasa amarah di ruang hatinya. Janine tersenyum
kecil.
“Bagaimana
kabarmu?”
“Aku...
seperti yang kau lihat. Aku kehilangan kaki kananku.” ucap Janine parau.
“Bersyukurlah
karena diluar sana banyak yang tidak memiliki keduanya.” Mona mengelus kepala
Janine.
Janine
menangis terisak. Mona berusaha menenangkannya. Mona tahu bagaimana rasa
kehilangan itu. Itu seperti jarum yang tajam menusuk-nusuk hatinya tiada ampun,
bahkan lebih sakit dari itu.
“Kau
harus banyak istirahat, bukan? Tidurlah. Kau tidak boleh berbicara terlalu
banyak. Semoga kamu lekas sembuh.”
“Terima
kasih...” Janine merasa seperti dalam perisai keamanan. Mona seolah seperti
pelindung buatnya. Penghibur sejati memilik jiwa berperi.
“Maaf,
aku tidak bisa berlama-lama di sini untuk menemanimu. Aku harus pergi.”
“O
ya, namamu siapa?”
Mona menghelas
nafas seraya tersenyum ramah, “Namaku Mona al Asykar, dan aku seorang
Palestina.” Mona berlalu meninggalkan Janine.
Air mata dari sudut mata Janine
meluncur begitu saja. Ia menangis tersedu-sedu mendengar kalimat terakhir dari
Mona sebelum ia tenggelam di balik pintu. Mona seorang muslim Palestina yang
telah menyelamatkan dirinya dari genggaman malam yang kaku-beku.
***
Hari
berlalu begitu cepat. Keadaan Janine berangsur membaik. Perkembangannya jauh
lebih cepat dari yang diperkirakan Dokter. Pihak rumah sakit sudah membolehkan
Janine pulang sejak tiga hari yang lalu. Mona dengan setia menemani Janine. Dan
dengan senang hati Janine diterima Paman Sami, Bibi Wafa, juga Mona—tanpa
memandang latar belakang Janine.
Sore
itu Mona menemani Janine berjalan-jalan di pinggiran Selat Bosphorus yang
membeku terselimuti salju-salju dipinggirannya. Selat yang memisahkan benua
Asia dan Eropa. Dengan Setia Mona mendorong kursi roda yang diduduki Janine.
Mona memberhentikan langkah kakinya tepat menghadap Selat Bosphorus yang banyak
kapal feri yang tengah berlayar disana.
“Mona...
kenapa malam itu kau kembali dan menyelamatkanku?” tanya Janine.
“Aku
teringat ucapan Ibuku. Ibu selalu bilang kita harus senantiasa memperbaiki diri
sendiri setiap harinya. Juga menjadi orang yang bermanfaat untuk diri sendiri
juga orang lain. Jika aku tak menolongmu malam itu, sungguh aku orang yang
paling sombong di dunia ini. Karena aku tak memiliki hak secuil pun untuk
berbuat jahat pada orang lain. Allah selalu memerintahkan hambaNya agar selalu
berbuat baik pada sesama makhluk. Aku hanya berusaha untuk menjadi manusia yang
baik.” Mona menitikan air mata.
Janine
terenyuh mendengar kalimat-kalimat yang disabdakan Mona.
“Ibumu...?”
“Semua
keluargaku tewas terkena bom dihari pertama agresi Israel lima tahun lalu.
Termasuk ibuku. Aku satu-satunya selamat diantara mereka. Tapi aku bahagia,
karena mereka kembali kepada Allah dengan senyuman indah. Mereka tak perlu lagi
mendengar dentuman bom dan segala keributan yang meluluhlantakan Gaza.”
Janine
kembali menangis, “Maafkan aku... sungguh... Sekarang aku mengerti bagaimana
sakitnya kehilangan itu. Namun kau lebih tangguh dariku yang hanya kehilangan
kaki kananku,” Janine terisak.
“Aku
juga minta maaf padamu, Janine. Tak seharusnya malam itu aku mencaci maki
dirimu. Tolong maafkan aku...” Mona menutup kedua wajahnya.
“Kau
salah, Mona. Kau pantas berlaku demikian padaku, karena aku memang pantas
diperlakukan seperti itu. Aku seorang Yahudi yang paling membenci Islam. Tapi
entah kenapa aku merasa kehilangan Tuhan. Aku juga merasa terganggu dengan status
kewarganegaraanku. Setiap kali aku pergi keluar negeri, aku bertemu orang-orang
baru. Ketika aku menyebut dari mana asalku, mereka langsung meneriakiku
pembunuh tak berperi. Setiap hari aku selalu berusaha menjadi seorang hamba
Tuhan yang baik. Namun semua yang aku lakukan tak bekerja sama sekali. Hingga
aku sadar, pantaslah orang-orang menyebutku seorang pembunuh tak berperi yang
tak punya hati. Lihat saja apa yang dilakukan negaraku! Aku hanya berdiam diri
asyik menyaksikan bagaimana bom-bom itu meledak. Padahal aku bisa melakukan
protes keras pada negaraku atas tindakan kejam itu. Sungguh aku termasuk orang
yang tak punya hati!
“Hingga
akhirnya... aku memutuskan pergi dari negaraku dan berkelana mencari kedamaian
batin. Semuanya nihil. Kemudian kau temukan aku yang tengah sekarat di malam
yang hampir membunuhku. Mungkin itu hukuman dari Tuhan. Seharusnya kau tidak
menolongku malam itu, Mona... Kehidupanku hancur!” Air mata Janine meluncur
dengan derasnya dari kelopak matanya.
Jemari
mungil Mona dengan lembut menyeka air mata Janine, “Jika Nabi Muhammad saja
bisa bersikap baik dan ramah pada orang Yahudi yang selalu menyakitinya, kenapa
aku tidak? Aku hanya seorang hamba Allah biasa yang memegang ajaran tauhid
dengan kalimat syahadat cinta di hatiku. Aku hanya berusaha untuk menjalankan
amanah Allah agar terus berbuat baik dan memperbaiki diri.”
“Kau sungguh seorang muslim yang berperangai
indah, Mona. Kau menunjukkanku bagaimana Islam sesungguhnya. Agama yang damai,
indah, dan agung yang jauh dari perkataan orang-orang di luar sana. Mungkin ini
jalan yang diberikan Tuhan sehingga aku mulai merasa kehadiranNya ketika
bersamamu.”
Mentari
sudah mulai menenggelamkan dirinya—kembali ke tempat peraduan. Garis-garis
cahaya matahari melukiskan senja yang syahdu walau dibalut dengan hawa dingin
yang menusuk.
“Mona...
maukah kau memakaikan selendang ini sebagai hijab di atas kepalaku? Aku ingin
cantik sepertimu.” Janine memberikan selendang yang sedari tadi memeluk bahunya
dari sergapan hawa dingin.
“Tentu
saja, Janine. Kau juga cantik.” Mona tak kuasa membendung air mata harunya.
“Mona...
ajarkan aku bagaimana bunyi dari kalimat syahadat cinta itu. Kalimat yang
senantiasa mengiringi langkahmu sehingga menjadikanmu sebagai manusia sejati.
Aku ingin menjadi sepertimu yang senantiasa memperbaiki diri setiap harinya.”
Janine tersenyum. Wajahnya basah oleh air mata yang sedari tadi terus meluncur
dari bingkai matanya.
“Subhanallah... Kau sungguh-sungguh?”
Kedua tangan Mona menyentuh tangan kanan Janine.
Janine
mengangguk tanpa ragu, “Aku ingin menjadi sebaik-baiknya hamba Tuhan di muka
bumi ini. Aku telah menemukan Tuhan yang aku cari. Tolonglah lantunkan kalimat
syahadat cinta itu!”
“Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu
an-na Muhammadarrasulullah,” ucap Mona tanpa ragu. Air mata bahagianya
meleleh seketika, tak kuasa ia bendung. Ini terlalu indah, Ya Allah.
Kalimat
tauhid yang dikumandangkan Mona, merekah di kedua bibir Janine tanpa ragu.
Syahadat cinta itu yang mengiringi matahari di ujung senja. Kembali ke tempat
peraduan.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3] : 190)
Tuhan, aku
menemukanMu...
NICE AK
BalasHapusCERITA YANG INDAH
MEMBUAT TERHARU
MENYADARKAN KITA ARTI iSLAM YG SESUNGGUHNYA
IZIN SHARE YA KAK
BalasHapussilakan.... :)
BalasHapusbikin terharu:')
BalasHapusbikin terharu:')
BalasHapus:) :")
BalasHapus